CakNun.com

Shankara

Mukadimah Suluk Surakartan Desember 2018
Suluk Surakartan
Waktu baca ± 3 menit

Ketika fajar menyingsing, mulai terdengar suara kicau burung yang bersahut-sahutan di pepohonan. Bunyi hewan-hewan malam telah menghilang perlahan bersama hadirnya terang. Lalu kita keluar rumah menghirup udara yang segar. Embun masih tampak membasahi daun-daun. Kita menikmati pagi di hamparan sawah yang hijau. Bulir-bulir padinya baru mulai keluar dan akan berisi. Ia menerbitkan harapan dalam hati kita.

Gambaran di atas mungkin sebuah de javu bagi sebagian kita yang pernah merasakan hidup di desa yang asri ketika masih kecil. Sebuah gambaran kehidupan desa masih alami dengan tradisi kolektivitas masyarakatnya. Desa-desa semacam itu barangkali masih dapat dijumpai hingga penghujung milenium kedua. Tradisi kolektivitas desa semacam itu bukan saja menjadi gambaran tentang kebersamaan, tetapi sebuah tanda kemakmuran bersama yang ukurannya berbeda dengan apa yang ditawarkan oleh dunia modern.

Berbicara tentang kemakmuran hari ini, rasanya tidak mungkin kita terpisah dengan yang namanya uang dan kekayaan. Ukuran kemakmuran hari ini ditentukan adalah seberapa besar uang di dompet kita dan seberapa besar kekayaan yang telah kita miliki. Dengan uang yang banyak kita bisa membeli apa yang kita inginkan. Dengan kekayaan yang tampak, kita bisa banggakan kepada orang lain betapa makmurnya kita. Demikianlah kira-kira ukuran umum kemakmuran hari ini. Jadi, jika kita tidak punya uang banyak dan tidak punya kekayaan apa-apa, kita disimpulkan oleh orang lain sebagai manusia yang belum makmur.

Pertanyaan mulai muncul ketika kita percaya bahwa dulu leluhur kita sangat kaya dan makmur, lalu mengapa kita sekarang tidak makmur? Apa yang sesungguhnya menjadi penyebab kemakmuran leluhur kita dahulu? Apakah semata-mata karena mereka berlimpah kepingan emas? Atau sesungguhnya mereka memiliki cara hidup kolektif dan mandiri yang membuat mereka mampu mencukupi kebutuhannya secara maksimal hingga menjadi sebuah kebahagiaan bersama? Apa yang dilakukan leluhur kita pada alam yang pernah begitu indah ini?

Di antara kita barangkali ada yang berhasil menemukan jawabannya setelah menjalani proses hidup yang berliku. Ada seseorang yang mula-mula memasuki dunia gemerlap yang menjanjikan banyak uang. Syaratnya satu saja, mengikuti kehendak pasar. Misalnya dengan menjadi seorang musisi. Ia memproduksi karya musiknya yang sesuai kehendak pasar. Berkali-kali hati nuraninya ditutupi untuk memenuhi kehendak produser. Ia dielu-elukan oleh para penggemarnya di luar sana, tapi ia tak bisa mendekat dengan apa adanya.

Secara materi ia makmur sebagai dirinya sendiri dengan pencapaian namanya yang mentereng dan penghasilannya yang bukan hanya lumayan, melainkan berkelimpahan. Tapi ia tidak bisa merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Sebab ia tidak bisa berbagi secara utuh melalui karya musiknya, sebab selalu disortir produser. Ia tidak bisa benar-benar hangat menyapa para penggemarnya sebagai teman, sebab dibatasi oleh sekat dirinya sebagai artis dengan segala protokolernya. Akhirnya ia merasakan kehampaan akibat kemakmuran semu semacam itu. Ia makmur menurut cara pandang modern, tetapi ia mengalami kekeringan dalam jiwanya.

Dalam suasana galau itulah, ia menemukan kesadaran tentang bagaimana membangun kemakmuran yang sebenarnya. Kemakmuran yang tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi menjadi sebuah gerakan bersama untuk bersinergi dan menjaga kelangsungan hidup bersama. Bukan sekedar kemakmuran yang melekat pada salah satu pihak sementara mengorbankan pihak yang lain. Ia tetap bermusik, tetapi tidak lagi mengikuti kemauan industri. Ia bermusik untuk menyuarakan apa yang ia lihat dari kehidupan. Ia ajak semua pihak bersinergi melalui pertunjukannya agar memberikan dampak secara ekonomi, sosial, dan kemasyarakatan. Melalui perubahan ini, ia menemukan jalan kemakmuran yang sejati.

Ia merasakan bahwa itulah Shankara yang seharusnya dihadirkan dalam kehidupan kita bersama. Apalagi negeri ini telah menghamparkan segalanya. Shankara adalah sebuah kata dalam bahasa Sanskerta yang berarti pembawa keberuntungan dan kebahagiaan. Desa yang hijau seperti dulu mungkin kini telah langka sebab telah didominasi pabrik, kehidupan petani dan pedagang yang berjalan gembira membawa hasil bumi pun telah lenyap dari pandangan digantikan produk-produk instan yang membanjiri toko-toko modern. Tapi kita masih punya kesadaran untuk bersaudara dan berkolaborasi, agar shankara hadir kembali di tengah-tengah kita, menjelmakan kemakmuran bersama. (YAP)

Lainnya

Masyarakat Lebah Memadu

Masyarakat Lebah Memadu

Semua orang memiliki keinginan untuk tinggal dan hidup dalam sebuah negeri yang menentramkan, menyamankan, menggembirakan, makmur, indah, penuh kreatifitas, saling berlomba menyuguhkan kebaikan.

Majelis Gugur Gunung
Gugur Gunung
Jamparing Asih
Jamparing Asih

Bakiak

Bakiak