Shadaqah Kultur Gembira di Tengah Kultur Birokrasi
Baru kali ini saya bisa menyaksikan sajian Kenduri Cinta langsung. Setiap majelis Maiyah semua menyenangkan dan membahagiakan. Di Kenduri Cinta, saya meresapi atmosfer yang berbeda.
Jalan Cikini Raya menderu-deru di seberang, sedang di sini jalan sunyi ditegakkan. Gedung-gedung mengepung, bank, apartemen dan perhotelan menjulang. Sedang di sini, di halaman Taman Ismail Marzuki, setiap bulannya orang-orang ini berkumpul menyusun batu bata kegembiraan. Menyicil amal peradaban.
Saya biarkan diri saya beromantis sebentar, sajian keilmuan mungkin akan lebih lengkap dan komplit disajikan dalam reportase Mas Fahmi. Ini entah liputan atau sekadar peresapan suasana, sudah hampir sepuluh tahun saya tidak menginjakkan kaki ke kota ini. Masyarakat paling pertama yang merasakan efek kultur birokrasi sejak kota pusat perdagangan dipindahkan oleh VOC dari Amboina ke kota ini, Batavia. Celotehan mpok-mpok, sikap nyeleneh dan wibawa para jawara yang dikepung modernitas. Masyarakat urban yang mengangkat dagu pada ketidakberdayaaan ekonomi dan politik, pride of the poor begitu istilahnya kalau saya tidak salah ingat.
Di pelosok-pelosok, di perkampungan, juga di pemukiman pinggir kali tempat sepuluh tahun lalu saya ngekos beberapa bulan. Banyak sebenarnya majelis-majelis pengajian, Batavia tidak pernah sepi dari beginian. Majelis-majelis seperti ini biasanya dijadikan semacam penggodokan, untuk para kiai atau habaib yang sedang menapak “karier keulamaan”. Usaha menyeimbangi modernitas selalu ada, tapi masyarakat tetap yatim sejarah. Karena begitu legitimasi sebagai pemuka agama didapatkan dengan jumlah massa, pelosok segera ditinggalkan. Ini masyarakat hasil kultur birokrasi, narasi agama pun tampak seperti kerier. Tapi di Kenduri Cinta, di Maiyah, kita beristirahat, kita berkesempatan untuk menjadi manusia kembali.
“Siapkah anda untuk bergembira malam ini?” Suara Mbah Nun lantang membelah deru perkotaan dan cahaya-cahaya beku Cikini. Ragam manusia sudah berkumpul sejak bakda isya tadi. Setelah pembacaan wirid Wabal oleh beberapa pegiat KC dan oh, ternyata Mas Bukhori yang saya biasanya ngobrol di medsos juga ada, beliau ikut membimbing pembacaan wirid wabal. Beliau duluan mengenal dan menyapa saya.
Materi mengenai lambaran tema dibawakan oleh Pak Adi dkk, “Waras-Atul Anbiya”, tajuk KC bulan malam ini. Bicara kewarasan di tengah masyarakat hasil hibrida antara lokalitas bawaan, urbanisasi, industri-kapitalistik dan kultur birokrasi? Saya senyum-senyum sendiri. Mengajak waras masyarakat yang komunalitasnya tercerabut jam kerja dan tuntutan hidup? Apa yang lebih tidak waras dari ini? Paling mudah cekokin ajaran baku, ideologi, tafsir dan mazhab atau apa saja yang bisa dianut tanpa banyak pikir. Orang-orang Maiyah ini membangun sunyinya gembira di sini.
Ada sajian dari band bernama Semberengan. Gitar akustik, banjo dan seruling Sunda berjodoh dengan tempo musik balada. Ada warna Bob Dylan tapi terasa etnik, suara parau menggugat dunia yang semakin monokultur. Tempo khas musik balad, tempo yang didapatkan oleh orang Afrika di Amerika. Tempo yang disuarakan dari derap roda kereta dan langkah kuda, mereka disatukan keretanya dengan hewan-hewan jualan pada masa itu. Lahirlah musik jenis ini. Masih baru sebentar manusia belajar memanusiakan manusia, belum lama.
Sejak awal Mbah Nun mengajak untuk latihan berani, tidak malu untuk hal-hal yang tidak berdosa. Mbah Nun melemparkan tanya, sebutkan misalnya apa yang semestinya membuat orang malu. Eladalah kok ada yang berseru lantang “Nyapres!” Tapi Mbah Nun meminta hal yang agak fundamental, nyapres jelas bukan hal mendasar dalam hidup. Presiden juga bukan kebutuhan manusia, pun negara. Semua itu mubah-mubah dan mudah saja.
Workshop, semi workshop teater mungkin, di mana hadirin yang bersedia maju ke panggung dan diajak oleh Pak Jokam untuk menirukan ekspresi, gerak dan suara. “Untuk bisa bergembira, anda tidak merasa lebih tinggi satu sama lain”.
Kultur birokrasi itu sebenarnya yang menghasilkan feodalisme-feodalisme dalam masyarakat, bungkusnya bisa beda-beda entah itu ningratisme, elitis aktivisme, kemapanan Agamawan dan lainnya.
“Fix You” mengalun, khas KiaiKanjeng. Ritme britpop dibalut dan dijangkepi denting Nusantara. Ini bukan Jawa sentris, ditegaskan oleh Mbah Nun. “Karena saya orang Indonesia, saya menyumbangkan Jawa pada Indonesia. Anda yang suku-suku Bugis, Madura, Dayak dan lainnya silakan sumbangkan yang anda punya”.
Mbah Nun tegaskan bahwa apa yang dilakukan di sini, di Kenduri Cinta, di Maiyah adalah “membantu fixing persoalan-persoalan”. Banyak persoalan, karena kita lahir terlanjur sudah pada atmosfer kultur birokrasi. Kultur dan peradaban gembira, ini ada yang disumbangkan Maiyah. (caknun.com-mzf)