Sepotong dari Kitab yang Akan Melegenda
Lompat waktu sedikit. Ketika sampai di rumah, istri saya sangat terkesan pada hal ini sampai berkata bahwa poin ini adalah jawaban dari hampir segala macam persoalan di dunia. Istri saya yang ini (karena memang tidak ada yang lain), suka sekali nonton kegiatan keluarga istana Inggris via YouTube. Terutama tentu yang baru saja royal wedding antara Pangeran (-nya orang sono) Harry dengan Megan Markle. Sementara saya kebalikan, jengah betul dengan ningrat-ningrat macam itu. Mau di Britania maupun cabang-cabangnya di Keraton Jawa. Malas. Mungkin saya akan lebih berpihak pada pemberontakan IRA. Biar dicap teroris juga. Beberapa dekade lalu kata “terorisme” masih lebih terkesan ke arah IRA dan Red Army. Baru-baru ini saja kemudian Islam yang dilekatkan dengan wajah terorisme.
Saya lebih senang kekacauan-kekacauan Viking, budaya tarung ala prajurit Valhalla (sebelum Valhalla jadi kota masa depan dalam komik Thor, Marvel sucks!). Kultur Irish itu rasanya Bugis banget. Kenapa malah bahas soal beginian ini reportase? Mungkin tukang reportasenya kurang bahan jadi melantur. Lihat saja itu dalam foto, waktu saya ngomong ada mas-mas yang berjaya menguap selebar Goa Kiskendo.
Nah, supaya lanturan saya ada manfaatnya sedikit, bisalah penyampaian terakhir ini dimanfaatkan oleh pembaca yang budiman sebagai latihan soal: Pada bagian mana dalam diksi-diksi di atas, saya sedang membangun dan menabung modal? Baik modal kultural/budaya (cultural capital) maupun modal sosial (social cultural). Jawaban silakan ditulis di oret-oretan sendiri. Sesekali bikin reportase yang ada latihan soalnya, asik juga.
Sangat banyak poin dan intisari keilmuan yang disampaikan oleh Mbah Nun. Dan tentu saja sesi tanya-jawab kembali digelar. Pada saat seperti ini yang saya rasa wajar kalau pertanyaan-pertanyaan yang muncul sangat beragam dan bisa meloncat-loncat keluar dari pagar akademisi.
Karena saya tipe yang kurang nasionalis bila diukur dengan term “NKRI Harga Mati”, maka cukup wajar dong kalau poin yang nempel dalam kepala saya semisal ketika Mbah Nun menyampaikan bahwa konsep negara yang sedang ada sekarang sudah tidak akan bertahan lebih lama. Ini akan menjelaskan kenapa diksi pertama dalam reportase ini dimulai dengan pesan yang kurang nasionalis. Teknik kembali ke set up, untuk membuat punch line kembali, dalam seni stand up comedy disebut “call back”.
Tapi ini reportase, bukan stand up comedy. Tapi juga, salah satu hal yang disampaikan oleh Mbah Nun memang adalah soal bagaimana kita tidak begitu terjebak pada term-term. Juga kalimat-kalimat yang dilahirkan oleh dunia dan zaman dan peradaban ini. Kalau tidak salah ingat, Mbah Nun berkata bahwa: “Semua itu hanya pendapat yang dilegitimasi. Sama posisinya pendapat ahli di kampus dengan tukang becak, dengan kaum ulama, mursyid, pimpinan mazhab maupun siapapun. Bahwa ada pendapat yang punya kedalaman. Ada yang kurang bermutu. Atau ada yang kurang tepat konteks ya itu wajar. Tapi jangan lupa bahwa semua itu hanya pendapat. Bagi kita yang penting jangan bersikap anti ini-itu dulu. Agak sebal atau kurang cocok mungkin wajar. Tapi jangan anti.”
Saya juga menambahi dalam pikiran. Bahwa sikap terlalu keras menolak sampai anti terhadap sesuatu, akan membatasi diri kita dari penyerapan terhadap ragam jenis data.
Itu poin yang paling nyantol dalam otak saya. Teman-teman, sedulur-sedulur, hadirin-hadirot lain tentu boleh punya titik fokus berbeda. Sebab seperti kata Mas Latief, Mbah Nun adalah sosok yang tidak bisa cukup dicatat hanya oleh satu orang. Sebaiknya lebih banyak orang yang ikut menabung catatan mengenai sosok Mbah Nun. Dan tentu juga tentang Maiyah.
Mas Latief sudah ikut membuktikan kalimatnya dengan menerbitkan buku ini. Buku yang menurut saya, selain pada era ini pun sudah sangat istimewa. Namun lebih dari itu. Kelak pada masanya nanti, buku ini akan jadi bekal dokumen sejarah. Bagi pembelajar Maiyah hingga zaman-zaman depan.
Buku karya Mas Latief ini, kitab ini, akan jadi legenda nyata. Tanpa perlu menunggu ketika hubungan antar komunitas manusia, lebih murni dan mesra dari sekadar batas beku negara. Ketika negara seperti yang kita kenal sekarang ini, sudah hilang berganti cahaya.