Sepotong dari Kitab yang Akan Melegenda
Melihat Dari Panggung, Berdamai Dengan Pagar
Mas Helmi naik ke panggung memberi pengantar secukupnya. Tak berapa lama Cak Kandar sebagai moderator pun menempati posisi. Tampuk panggung dan mikrofon berganti ke tangan Cak Kandar yang langsung mempersilakan tiga pembahas malam itu untuk naik panggung. Yakni Mas Latief S Nugraha, Pak Aprinus dan eng..ing..eng… “the stand-up comedian you have to sit through before Pink Floyd comes out”.
Itu kutipan jokesnya Chandler dalam serial Friends, akhirnya keluar juga. Bayangkan saja pembaca yang budiman pergi ke konser Pink Floyd. Tapi sebelum Pink Floyd naik panggung, rupanya ada penampilan dari seorang stand up comedian. Persoalannya bukan stand up comedy-nya bagus apa jelek. Hanya kan pasti bukan itu yang ditunggu. Untuk spesifik malam itu, sayalah si stand up comedian yang tampil sebelum dewa legenda sastra rock n roll naik panggung. Beban berat kan? Grogi. Cuma kali ini bukan Pink Floyd. Tapi saya akan berbicara bersama akademisi-akademisi macam Pak Aprinus dan Mas Latief. Dan diakhir nanti akan ada pembahasan dari Mbah Nun sendiri. Lebih legend dan lebih rock n roll daripada Pink Floyd bukan?
Pak Aprinus membuka bahasan setelah dipersilakan oleh Cak Kandar. Bahwa buku ini mengambil dasar teori Pierre Bourdieu. Beberapa teori dasar Bourdieu pun diungkap. Apa itu “modal” akumulasi modal atau habitus, agen dan lain sebagainya. Cak Kandar mempersilakan saya berbicara menyambung Pak Aprinus, maka keluarlah jokes yang tadi saya ungkapkan.
Di situ, saya sebenarnya (dan memang saya katakan juga) sedang menegaskan modal kultural saya. Yakni, saya punya pengetahuan tentang suatu hal—dengan menyampaikan jokes itu, tersampaikan bahwa saya adalah penonton Friends dan penikmat Pink Floyd—itu akan menentukan legitimasi saya dalam hierarki sosial. Walaupun pada bahasan selanjutnya, tidak satupun bahasan akan menyinggung mengenai serial Friends dan Pink Floyd. Dalam teori Bourdieu, begitulah legitimasi berdasar akumulasi modal terbentuk. Buku karya Mas Latief ini, membedah sosok Emha dari akumulasi modalnya hingga mencapai taraf legitimasi seperti sekarang.
Saya katakan, ini buku yang menarik karena juga mewakili satu sudut pandang dalam melihat Mbah Nun. Dan ini sudut yang asik. Dikulik beda dengan beberapa sudut pandang lain yang bagi saya membosankan. Sayangnya, penyampaian saya yang grogi dan terburu-buru tampaknya membuat Mas Latief salah tangkap. Jadinya seolah saya berkata ini adalah buku dengan sudut pandang yang membosankan. Di situ saya mendapat guilty feeling attack dan parah. Jadi saya terpaksa memotong pembicaraan Mas Latief sebentar untuk mengkonfirmasi maksud kata-kata saya. Sambil dalam hati masih mengutuk bibir saya yang grogian.
Mas Latief sendiri sangat baik menjelaskan latar belakang penelitiannya. Dan menambahi sedikit-sedikit data yang sempat dia temukan. Tentu tidak semua data dikemukakan. Saya pikir itu juga baik. Membatasi spoiler supaya orang juga tidak malas membaca sendiri.
Keluasan Yang Menampung
Tibalah saat yang dinantikan. Yakni ketika Mbah Nun naik ke panggung. Sebelumnya memang ada sesi tanya-jawab. Tapi karena posisi saya sendiri di panggung, saya luput mencatat detail-detail pertanyaan dan siapa-siapa yang bertanya. Sempat saya berniat akan pinjam catatan Cak Kandar. Karena moderator pasti punya catatan sendiri. Eh waktu di akhir acara malah saya lupa minta. Namun kalau boleh saya ungkapkan sedikit kesan, nampaknya beberapa dari kita ini masih bermasalah dalam membatasi pikiran ketika berada dalam nuansa diskusi akademis.
Saya sempat memperhatikan, beberapa pertanyaan terasa luput dari konteks, teks dan teori dalam buku. Padahal ini buku yang berdasar penelitian akademis. Mas Latief dan Pak Aprinus juga adalah akademisi-akademisi yang kaya akan data dan teori. Kita mestinya bisa memaksimalkan kesempatan untuk berjenak-jenak dalam pagar akademis-ilmiah. Keliaran-keliaran ala Maiyah bisa kita puasai dulu sebenarnya. Dan menurut saya, kemampuan berpuasa begini juga adalah hal yang terus kita latih di Maiyah. Singkatnya, berdamai dengan pola akademis pada saat panggonan konteks dan timingnya sedang tepat, itu juga Maiyah banget.
Itu berbeda, ketika Mbah Nun telah berada di atas panggung. Karena Mbah Nun sepembacaan saya, sangat luas untuk menampung keliaran-keliaran. Walaupun ternyata, Mbah Nun juga tetap menyapa dan memesrai pola pikir akademis. Semoga penyampaian saya ini tidak kerasa mbundet ya.
Buku karya Mas Latief ini memang menyajikan data-data penggalan perjalanan hidup Mbah Nun dalam ranah sastra. Mbah Nun pun melengkapi data dalam buku ini dengan detail-detail kisah hidup beliau. Yang saya sendiri baru malam itu mendengarnya langsung. Poin-poin soal membagi kebenaran, kebaikan dan keindahan, juga tak luput kembali disegarkan dalam ingatan kita. Sebagai tambahan stamina untuk mempuasai kebenaran, mengolah jadi kebaikan dan memuncaki segalanya dengan keindahan.