Seni Meracik di Dapur Peradaban Islam Indonesia
Banyak kata-kata lain yang “dikecewakan” oleh manusia modern: Jihad, radikal, khilafah, negara, republik, bidadari, surga-jannah, penistaan, kemajuan, terorisme, kafir, moderat. Bahkan Nusantara, dipahami dengan cara pandang yang tidak berasal dari jiwa Nusantara. Sehingga jadi seperti ideologi yang haus pemeluk. Apa iya Nusantara sekesepian itu jadi minta dipeluk terus? Pun Islam. Pun gabungan keduanya, dengan kesalahkaprahan masing-masing.
Khususon soal ini, saya jadi teringat salah satu adegan di serial Friends, season 6 episode 9. (Semoga tidak salah ingat) Joey menikmati makanan yang rasanya (bagi orang normal) amburadul. Kawan-kawannya heran dan Joey hanya menjelaskan sambil menyantap tanpa meracik dan mengolah, “I mean, what’s not to like? Custard, good. Jam, good. Meat, good!”. Semua penggemar Friends mafhum sajalah dengan kemampuan intelektual Joey yang di bawah rata-rata. Berapa kalipun saya nonton adegan ini saya kok tetap terbahak-bahak.
Sepertinya kesadaran yang sama belakangan muncul jadi:
”What’s not to like? Islam, good. Nusantara, good”
Terus dicampur, kayak Joey yang kemampuan berpikirnya… Yah begitulah.
Maka kita memang perlu waspada, taqwa. Dan bersedia mengalah dulu dari kelemahan penggunaan bahasa dan kekurangan data sejarah di sekeliling kita. Di situlah kemampuan menjadi ruang, seperti yang dibangun di Maiyah menjadi kontekstual pada masa ini. Waspada juga, jangan sampai di masa hadapan Maiyah juga mengalami kesalahkaprahan sejenis.
“Kita tidak sedang menjawab Barat atau menentang stigma politik”, papar Mbah Nun. Saya sangat sepakat. Ummat Islam, pasca kehilangan kiblat politiknya (pasca Turki Utsmani, pra nasionalisme, ada jeda singkat yang membentuk hal ini), secara psikologis menyimpan diam-diam rasa insecure dan rendah diri (bukannya saling rendah hati). Seabad belakangan di negeri ini, apa-apa yang lahir dari rahim kaum muslimin selalu adalah aksi, organisasi atau label yang berdasar “narasi kekalahan”. Dan ini juga bisa dua bentuknya: Pertama, menolak tanpa tawar segala yang mambu budaya dominan. Dalam hal ini modernitas yang disimbolkan Eropa dan US, sehingga lahirlah gerakan yang tanpa banyak kata dicap garis keras, puritan, Wahabi.
Dan kedua, berusaha menggapai modernitas (dan termasuk proyek pasca, post-modern) dengan membuat apapun yang intinya meminta pengakuan dari nilai modernitas. Islam liberal, Islam moderat, Islam marxis, Islam nasionalis, Islam pluralis, termasuk pada satu sisi pandang Islam Berkemajuan juga bisa jadi, tergantung “maju”-nya siapa yang dianut.
Misal, saya menggemari film-film Hollywood, apakah saya termasuk di Islam moderat? Sutradara kesukaan saya adalah Mohsen Mokhmalbaft dari Iran, apakah saya Syiah? Saya tahlilan kalau sempat, apa saya NU? Kalau lagi malas saya kabur dari kenduren di kampung, apa saya puritan Wahabi?
“Islam yang kita terima sekarang ini, Islam hoax produk kekuasaan politik daulah-daulah”, Mbah Nun menegaskan. Ibu-ibu berjilbab di sebelah saya terhenyak, geleng-geleng pelan dan kemudian mengangguk-angguk kencang.
Politik, hati-hati juga kita pahami. Produk Islam semacam ini melahirkan kontestasi, persaingan salah benar, dan legitimasi di kalangan kaum muslim sendiri. Tawaran tadabbur “fastabiqul khairat, bukan fastabiqul haq” dikemukakan lantang oleh Mbah Nun ketemu konteksnya. Jangan bersaing benar, berlombalah membuat kebaikan. Because, al haqqu min robbikum.
Dalam satu sudut pandang seorang sejarawan (Michael Laffan) bahkan pembentukan Komite Hijaz pun adalah hasil dari persaingan legitimasi antara ‘Kaoem Toea’ dan ‘Kaoem Moeda’. Kepanikan melanda Kaum Tua, tatkala undangan konferensi ulama internasional dialamatkan pada HOS Tjokroaminoto yang dikenal (secara peta diskursus) lebih dekat pada Kaum Muda. Kaum Muslim sedang meraba-raba kiblat Khilafah politik pasca amburadulnya Turki Utsmani, Mekkah adalah salah satu opsi walau tidak populer secara kebijakan (meratakan makam, melarang praktik thoriqot dll). Rasyid Ridha menawarkan Mesir, tapi juga sedang gonjang-ganjing.
Kontestasi posisi Ulama sebagai legitimasi kebenaran agama tetap awet. Sejarah berkata lain, di antara pilihan Turki, Mesir maupun Haramain (Mekkah-Madinah), Jepang melihat peluang dan justru berhasil pada tempo singkat tampil mencitrakan diri sebagai pusat peradaban Islam baru dengan common enemy-nya dengan kaum muslim adalah renaisance Eropa dan modernitas US. Itu yang menyebabkan masuknya Nippon tidak menemukan halangan dan perlawanan berarti di negeri ini (di samping lemahnya pertahanan Belanda akibat serbuan Nazi).
Nah, kita memang dibentuk oleh perjalanan panjang sejarah yang bisa kita lihat dari berbagai sudut, sisi, dan jarak pandang.
Jadi pada pembacaan itu (harap selau diingat bahwa ini adalah satu sisi pembacaan data sejarah di antara banyak cara pembacaan lainnya) bukan penting betul pesan apa yang disampaikan pada penguasa Haramain saat itu. Tapi siapa yang ke sana itulah yang menentukan gengsi legitimasi.
History repeat itself. Ketika sekarang juga bukan penting betul bicara Islam Rahmah di Israel, tapi siapa yang dipanggil itulah yang membuat orang ribut (pro maupun kontra). In fact, semua penjajah tahu wacana agama cinta kasih. Setiap penjajah tidak mau perang. Yang mau perang itu pasti (yang merasa) terjajah. Begitulah, kita mengulang hal yang sama terus.
Terlalu banyak peta diskursus yang menjebak dan mempersempit alam pikir kita sekarang ini. Kita memang butuh kemampuan meracik bahan mentah di dapur. Dapur bahasa maupun dapur sejarah. Para akademisi yang kadang terjebak pada kesadaran sebagai “penuntun para awam”, wajarlah sangat membutuhkan pandangan racikan ala Mbah Nun.
Di manakah letak martabat “laa yu’la alaih” di masa ini? Mari, bismillah kita cicil nandur sedikit demi sedikit.