Seni Meracik di Dapur Peradaban Islam Indonesia
“Kalau PUSKIINDO ini ibarat warung, saya ke dapurnya saja dulu”. Mbah Nun menyatakan demikian di hadapan beberapa pakar dan akademisi berbagai bidang keilmuan di PP Muhammadiyah pada pagi hari Senin 2 Juli 2018 M.
Acara Sinau Bareng di Taman Siswa Nanggulan, Kulon Progo pada malam sebelumnya baru selesai sekitar mendekati pukul 02.30 WIB dan Mbah Nun masih menyediakan diri untuk bersalaman dengan jamaah. Saya sudah pulang duluan karena istri saya kurang enak badan. Tapi estimasi kasar, ritual bersalaman biasanya berlangsung sekitar 45 menit sampai satu jam. Kemungkinan Mbah Nun baru dapat beristirahat menjelang subuh. Sedang paginya sekitar pukul 09.00 WIB, Mbah Nun sudah membersamai para ilmuwan Islam Muhammadiyah pada Focus Group Discussion (FGD) Pendirian Pusat Kebudayaan Islam Indonesia (PUSKIINDO).
Stamina nandur dan kekuatan merangkul bebagai dimensi, kelas dan golongan. Itu hal yang perlu kita pelajari betul dari Mbah Nun menurut saya.
Mbah Nun diberi waktu setelah semua narasumber telah memaparkan pemikirannya masing-masing. Drs M. Sukriyanto AR, M. Hum sebelumnya juga telah memberi sambutan yang tangkas, singkat, padat, dan jelas. Pak Sukriyanto, pembaca yang budiman mungkin ingat, pada satu kali pernah menjadi narasumber juga di Mocopat Syafaat. Status sebagai putra (alm) Pak AR Fachruddin, bukan hal yang menjadi prestasi dan ditonjol-tonjolkan. Tapi kita sebagai generasi penerus perlu tahu ini. Kiprah beliau di PP Muhammadiyahlah yang membawa kepada posisi sekarang.
Hal semacam ini yang saya kagumi di kultur Muhammadiyah. Bahkan anak-cucu KH Ahmad Dahlan sang pendiri pun tidak mendapat priviles struktural. Dalam kondisi sosiokultural negeri yang senang dengan “pengkastaan”, hal semacam begini bagi saya mengagumkan. Ini juga tentu tidak mengurangi kekaguman yang berbeda dari kultur NU. Semua ada kebaikan nilainya masing-masing. Maiyah melatih dan menajamkan kacamata pandang seperti ini.
Adapun narasumber yang tercantum adalah Prof. Dr Siti Chamamah-Soeratno dan Prof Heddy Shri Ahimsa Putra dari Fakuktas Ilmu Budaya UGM. Prof. Dr. Amin Abdullah dari UIN Sunan Kalijaga dan Prof. Dr. Musa Asy’ari dari IAIN Surakarta. Rata-rata nama-nama ini tentu tidak asing bagi mereka yang bergelut di wilayah akademis. Mbah Nun sendiri juga tercantum sebagai narasumber. Daftar nama ini masih dilengkapi dengan list peserta yang diundang diantaranya ada Drs Habib Chirzin, Drs Ahmad Charis Zubair S.U, Prof Dr Suminto A. Suyuthi, Prof Dr Abdul Munir Mulkhan (sayang saya tidak bawa koleksi buku saya untuk beliau tanda tangani), Drs Jabrohim, dan masih banyak lagi. Tidak semua daftar nama itu hadir tentu, pada list pertama sebelum acara yang saya terima ada nama Prof Abdul Hadi WM, sayangnya beliau berhalangan hadir.
Akademisi sejati, semestinya punya dua kemampuan dasar dalam mengolah dan menyampaikan data. Yakni: mengkongkretkan dan mengabstraksi. Pilihan untuk memberi Mbah Nun waktu ketika seluruh narasumber dari berbagai bidang telah menyampaikan paparannya, rasanya sangat tepat. Karena Mbah Nun kemudian mengajak setiap yang hadir untuk pulang-balik antara langit diskurus wacana dengan bumi realitas.
Konkret dan abstrak, abstrak dan konkret. Keduanya, dan segala yang berada di antaranya, ditampung dan diolah, diaduk, dikebur, diudak, dipanas-panasin, dihangatkan, ditiriskan, didinginkan jadi sajian: kebaikan dan keindahan. Tidak salah kalimat Mbah Nun di awal soal mengurusi dapurnya dulu.
Mbah Nun juga mengajak segenap yang hadir untuk mau dan bersedia mengakui keterbatasan ruangan dapur kita sendiri. Ada dua kelemahan kita sebagai ummat Islam di negri ini menurut Mbah Nun. Yakni: kelemahan bahasa dan kelemahan sejarah.
Andai bisa membahasnya satu per satu dengan runtut, mungkin akan lebih baik. Tapi itu akan membuat tulisan ini mungkin sepanjang satu kitab sendiri. Jadi saya coba aduk dalam satu adonan penjelasan. Bahwa, bahasa Indonesia masih sangat muda. Pengalaman kulturalnya masih kurang. Candaan tentang “Bahasa Indonesianya kunduran truk” tentu pembaca yang budiman sudah akrab. Walau terasa lucu, ini semestinya membuat kita waspada bahwa karena keterbatasan bahasa dan (data) sejarah (yang melahirkannya), ini kadang kita lantas mengambil istilah-istilah tanpa kita pahami betul makna fundementalnya.
Kemudian lahirlah istilah-istilah yang terlanjur dianut tapi menyimpan kesalahkaprahan dan luput memperhatikan kepentingan di balik penggunaannya. Kita lantas terlalu cinta pada istilah tertentu atau terlalu benci pada kata tertentu. Jadi kriminalisasi kata-kata.
Syariat misalnya, oleh Mbah Nun dibabarkan bahwa adalah suatu hukum-hukum pasti di alam semesta. Seperti gravitasi, air mengalir, hembusan angin dllsb, namun disempitkan (bukan salah, hanya dipreteli) jadi sekadar hukum legal-formal (negara, bank syariat dllsb). Akhirnya ada yang memperjuangkan syariat dengan begitu dan ada yang anti pada syariat juga sebegitunya.