Semutkah Bangsa Kita Ini?
Bagaimana masyarakat terbentuk, berjalan, dan apa-apa yang ada di dalamnya berkaitan, berfungsi, membentuk pola, karakter, kecenderungan, atau sistem, merupakan fokus kajian ilmu-ilmu sosial sejak dahulu kala. Telah lahir teori-teori yang beragam, dari yang paling klasik hingga yang kontemporer.
Tetapi di luar ranah akademis, masyarakat sebenarnya telah mengembangkan konsep dan bayangannya sendiri mengenai manusia dan masyarakat, dan itu bisa diambil dari mana saja, karena belajar bisa dari apa saja pula. Nyatanya, paradigma positivisme sendiri dalam semesta ilmu sosial terilhami oleh pembacaan atas fenomena-fenomena kealaman.
Dalam menapaki keluasan ilmu tentang masyarakat itulah, teman-teman BBW semalam belajar dari semut. Mas Sabrang punya saham dalam hal ini. Dialah yang dalam beberapa Sinau Bareng mengajak teman-teman melihat binatang bernama semut dan berusaha mempelajarinya. Jadilah salah satunya lahir tema Urip Sesemutan pada BBW tadi malam, di pelataran Gedung Cak Durasim Surabaya.
Teman-teman mendapatkan kesempatan buat menyampaikan pandangannya tentang semut, dengan maksud seluruh hadirin juga mengetahui keragaman pembacaan atas semut. Masih ingat sut? Satu metode untuk menentukan siapa memulai atau mendapatkan urutan dalam permainan dengan menggunakan jari tangan dari kedua belah pihak.
Ada tiga jari yang dipakai. Jempol (disebut gajah), telunjuk, dan kelingking (disebut semut). Masing-masing pada saat bersamaan mengeluarkan salah satu dari ketiganya. Maka, akan ada peluang terjadi jari jempol ketemu jari kelingking. Dan seperti sama-sama kita tahu, kalau dilihat secara parsial, gajah yang gede itu kalah sama semut yang sangat kecil dan tak layak diperhadapkan dengan gajah. Tapi bayangkan bila semut merayap dan masuk ke telinga gajah. Bisakah gajah ngukrek-ngukrek telinganya buat mengusir semut? Itu salah satu tafsir semut dalam dunia permainan kita.
Atau dari view yang lain lagi seperti yang digambarkan sahabat kita, Mas Karim. Jari jempol sebagai gajah, jari telunjuk menggambarkan manusia, dan kelingking sebagai semut. Dalam permainan ini, semut kalah dari manusia. Lalu, manusia kalah oleh gajah. Tetapi anehnya, kalau ketemu semut, gajah yang mengalahkan manusia tadi malah kalah sama semut.
Jadi, seperti gerakan yang memutar. Tidak ada yang selalu menang. Pun tak ada yang selalu kalah. Permainan ini mengajarkan kita untuk berpikir siklikal sejak dari kanak-kanak. Mas Karim yang sedang studi doktoral di Belanda dan tengah melakukan riset tentang rasa aman di Indonesia dengan meneliti forum-forum Maiyah jadi malah bicara tentang semut alias sejenak rehat dari teori-teori sosial yang digelutinya. Hehe.
Bagaimana dengan pandangan Mbah Nun? Di sinilah, teman-teman diingatkan oleh Mbah Nun untuk menemukan gambaran atau wujud semut itu sendiri. “Kalau belajar, kita perlu atau harus menggambar wujud. Dalam wujud ada unsur perspektif, spektrum, dan masih banyak lagi unsur-unsur lainnya.” Mbah Nun mentransformasikan bahwa kita mesti punya gambaran akan masa depan itu seperti apa, ke mana kaki melangkah, ke titik mana kita menuju. Walaupun semua itu sifatnya ijtihadiyah, tetapi kita harus punya gambaran seperti itu.
Ihwal semut ini saja sudah membawa kita untuk belajar banyak hal terkait: fenomena Nabi Sulaiman yang sangat tidak tega menyakiti semut, tentang teknologi Nabi Sulaiman, dan tentang meneladani kebiasaan semut. Dan, ada satu hal menarik dari fenomena semut yang disampaikan Mbah Nun yakni bahwa di dunia ini tidak ada peternakan semut. Semut tidak menjadi budak oleh yang lainnya. “Sedangkan kita, bangsa Indonesia ini bagaimana? Semutkah? Atau sapi yang diternakkan dan dibudakkan oleh bangsa lainnya.” Mari berpikir!
Semalam Mbah Nun tidak sendirian, melainkan bersama Ibu Novia Kolopaking. Bahkan Bu Via mengajak Ayahandanya, satu kesempatan bagi Beliau buat menyaksikan anak-anak muda BBW belajar dalam kebersamaan Maiyah yang telah disemaikan benih-benihnya oleh Mbah Nun. Beliau berkesempatan merasakan suasana dan warna-warna yang menghias forum Bangbang Wetan. Melihat bagaimana anak-anak muda itu berlatih mengembangkan imajinasi sosial buat menciptakan masyarakat dan perilaku kolektif yang baik, kali ini melalui fenomena semut. Semut sendiri, menurut Mas Sabrang, adalah contoh emergence society, dan kita jadi sedikit punya pengertian mengapa semut oleh Allah dijadikan sebagai nama salah satu surat di dalam Al-Qur’an: an-Naml.
Demikian serba sedikit catatan singkat dari Majelis Ilmu Bangbang Wetan Surabaya, 27 Juli 2018. (Helmi Mustofa)