Semoga Kita Tetap dan Selalu Manusia
Pada situasi desa, komunalitas terjaga. Manusia saling mendukung saling nyengkuyung, srawung dan guyub rukun terjaga. Setiap “KELAHIRAN” dirayakan dan menjadi jembatan baru bagi terciptanya jalinan silaturrohim. Setiap manusia sama istimewanya. Sama bukan sekadar massa ideologi. Sama bukan followers agamawan. Bukan angka dalam statistik tata pemerintahan negara. Manusia, ya manusia. Individu dengan otentisitas perjalanan dan pencariannya sendiri.
“KELAHIRAN” bagi warga desa, adalah hadirnya jasad putra-putri semua. Orang tua kandung adalah darah daging yang mengarahkan, sedang lingkungan kasat mata maupun tak kasat mata adalah orang tua secara hawa-nuansa yang membimbing. Wajar. Ada saatnya manusia butuh arahan, ada kalanya butuh bimbingan. Tidak boleh timpang. Manusia tidak hanya dididik oleh kata-kata dan tutur-tinutur. Guru sejati adalah yang paling sunyi dari riuhnya ajaran.
Sesosok berambut panjang di atas panggung membelakangi, suara hembus. Denting. Sorot. Ungu dan hijau pendaran. Berputar, mencambuk, melayang, bertopeng. Tata gerak yang lincah dibuat minim tafsir budaya. Angin. Ada suara anak menangis. Bukan dari panggung, ternyata anak sepasang penonton. Saya tersenyum, sejak mula “KELAHIRAN” telah berkesan dan sampai.
Hembus. Ibu berdendang, “Ta lelo lelo lelo ledung…Anakku…”. Hawa meniup pada Rahim yang merawat atas izin Sang Maha Rahim. Kita semua pernah mengalaminya. “KELAHIRAN” adalah pengalaman kita ketika dalam alam sunyi. Sampai di dunia yang ramai hiruk-pikuk, kita menempuh jalan sunyi demi menyambut kepengasuhan Sang Maha Rahim.
“KELAHIRAN” lahir, alam menjadi nyata. Kentongan persaudaraan, lighting normal sedang, set panggung bagian belakang sengaja dimatikan, kostum Jawa kelas bawah, jenis kelamin beragam, karakter berbhinneka, kemesraan tunggal ika. Warga berkumpul menyambut Ponang jabang bayi. Candaan-candaan, gojek kere, saling ejek bukan saling hina. Di desa kemesraan seperti ini masih hadir. Semoga selalu. Semoga selalu manusia.
Harapan dikumandangkan pada Ponang jabang bayi. Doa-doa terbaik dengan pilihan kata yang presisi dan nada yang serasi. Kalimat dengan aroma budaya yang khas daerahnya. Manusia selalu punya harapan. Harapan berkaitan dan dituangkan dengan cara berbudaya. Setiap budaya yang murni begitu.
Tak jarang harapan menjelma tuntutan. Namun pertarungan sesungguhnya terjadi di dalam alam diri manusia sendiri. Pertarungan maha dahsyat.
Nafsu Putih yang kalem menjebak, Nafsu Kuning yang menderu-deru hembusnya, Nafsu Merah yang menggelegar pada kebesaran, Nafsu Hitam yang jenaka merayu pada keapaadaan yang malas. Ponang Jabang Bayi, pertarungan dimulai.
Sedulur papat, nafsu “lawamah, amarah, sufiah, muthmainnah“. Pon, Wage, Kliwon, Pahing. Empat jenderal pewaris kekuasaan Alexander Agung. Papat kembar limo pancer, empat sehat lima sempurna atau apapun namanya. Sengaja saya sebutkan Alexander untuk menyampaikan, Jawa di sini berbalut keteraturan khas Yunani Appolo. Klasik.
Saling sengkarut Empat Nafsu membelit-belit diri. Berebut pengaruhnya pada Ponang Jabang Bayi yang berjuang menunaikan janji. Janji yang diucapkan dalam kata-kata paling sunyi. Ponang Jabang Bayi mesti berpegang, pada Pancernya. Pancer yang kuda-kudanya kokoh, mengalun-alun, mengayun meliuk sedikit pada arah tarikan jerat empat nafsu, tapi selalu lolos dari jebakan.
Kita sudah akrab dengan terminologi empat nafsu seperti ini, yang mana yang harus dimenangkan di antaranya? Setiap salah satunya, menyimpan nilai kebaikannya masing-masing juga jebakannya sendiri-sendiri. Memandang satu buruk berarti juga meniadakan ciptaan Yang Maha Rahim. Ciptaaan yang lahir bersama kita, bersama Ponang yang kosong.
“Janji…Janjii…” Ponang menjerit, memeluk Pancer namun Pancer kadang pergi lagi. Satu sudut pandang yang menarik adalah ketika empat nafsu saling mengomentari sesama mereka. Ini jarang digali baik dalam wacana sufistik maupun kejawen. Bagaimana Nafsu Kuning memandang Nafsu Putih? Dan sebaliknya. Juga bagaimana Nafsu Hitam memandang Nafsu Merah? Pun juga kebalikannya. Menarik sekali. Seperti juga adegan pembuka. Empat warna nafsu, Pancer dan jiwa Ponang dibuat dengan kostum yang sebisa mungkin minim tafsir budaya. Karena urusannya ada di dunia “yang bukan di sini”.
Saya harus mengaku, tersedot agak jauh dalam pentas yang disajikan pada 22 April 2018 pada pukul 19.00 WIB di Gedung Societet Militaire TBY ini. Pewarnaan lighting, asap, set minimal, musik yang cenderung bernada trance dengan tempo ajeg memang pengkondisian batin yang sempurna untuk yang hadir masuk, berenang dan menyelam dalam diri sendiri. Tapi, saya juga punya janji yang harus ditunaikan. Janji untuk membuat reportase pementasan “KELAHIRAN” ini.
Menyelam terlalu dalam akan membuat saya kesulitan menyusun tulisan nantinya. Maka saya keluar secara pikiran, rasio saya bangun kembali. Saya amati penonton lain di sebelah-sebelah saya. Mereka seperti tidak ada di situ. Ponang mereka sedang menyelam ke dalam, ke dalam dan terus mendalam. Mereka tidak di gedung ini, mereka sedang berada di alam lain, mencari Pancernya masing-masing.
Setiap pemain kali ini bekerja sangat optimal. Dengan sutradaraPak Jujuk, olah gerak tubuh sangat diperlukan. Setiap pemain memaksimalkan otot, syaraf, otak hingga batin mereka. Usaha yang maksimal dan jauh dari kata sia-sia.
Tanpa mengurangi rasa hormat, sambil mengucap selamat pada pemain lain. Namun Pak Joko Kamto yang berperan sebagai Pancer benar-benar membuat saya tercengang, lagi. Bukan pertama kali saya menyaksikan permainan akting Pak Jokam, dan saya selalu terperangah dengan kualitas permainan beliau.
Naskah “KELAHIRAN”dibuat oleh Pak Tertib Suratmo. Naskah yang pernah menang dalam sayembara teater pada dekade 70-an itu, rupanya sempat hilang hingga diketahui ternyata ada satu kopian yang dipegang oleh Pak Jujuk. Naskah ini kemudian disapukan kuas,pewarnaan dan penyesuaian oleh Mbah Nun. Pak Tertib Suratmo mengaku, tidak menyangka naskahnya bisa dibikin seperti ini.
Perang di dalam batin yang sengit dan hanya bisa diantisipasi dengan berpegang pada kemurnian dan otentisitas Pancer rupanya juga terjadi di dunia luar batin. Harapan-harapan segera menjelma tuntutan. Kalau dalam batin manusia berpegang pada Pancer, dalam tataran alam wadag, manusia mesti digembleng oleh sesepuh. Itulah “Mikul Dhuwur”.
“Jangan berguru pada setan, nanti kamu jadi pejabat. Jangan berguru pada iblis, nanti hanya jadi politisi”, pungkas Sang Sepuh. Aneh, almarhum Mbahnya istri saya juga dulu bilang begitu, walau pilihan kata-katanya beda.