CakNun.com

Semesta Raya Cinta di Bumi Pasundan

Catatan Ngaji Bareng Cak Nun di UIN SGD Bandung, 3 November 2018
Fahmi Agustian
Waktu baca ± 7 menit

Syeikh Kamba menyampaikan bahwa hari ini Agama tidak diposisikan sebagaimana mestinya. Terlalu banyak tafsir, terlalu banyak paham, terlampau banyak madzhab, belum lagi begitu banyak tokoh-tokoh yang ingin pendapat dan pandangan diterima oleh ummat yang pada akhirnya justru melahirkan perselisihan antar ummat sendiri. Syeikh Kamba benar-benar tidak menemukan hakikat Agama yang dibawa oleh Rasulullah Saw pada kehidupan hari ini.

Allah berfirman pada Surat Ali Imron ayat 31; Qul inkuntum tuhibbunallah fattabi’uunii yuhbibkumullah, wa yaghfir lakum dzunuubakum, wallahu ghofurun rohiimun. Melalui ayat tersebut, Allah memerintahkan kepada Rasulullah Saw untuk menyampaikan kepada ummat manusia bahwa untuk mengungkapkan cinta kepada Allah, syarat utamanya adalah meneladani perilaku Rasulullah Saw dan juga mengikuti ajaran yang disampaikan oleh Rasulullah Saw.

Ditekankan oleh Syeikh Kamba, bahwa ada 5 prinsip kepribadian dalam diri Muhammad sejak sebelum diangkat secara resmi menjadi Rasul. 5 prinsip itu adalah kemandirian (berdaulat atas diri sendiri), membersihkan jiwa dari berbagai penyakit hati, menanamkan sifat terpuji dalam hati, amanah dan cinta ilahi. Menurut Syeikh Kamba, cinta kepada Allah dan Rasululllah Saw adalah solusi kongkrit untuk menyelesaikan perselisihan, pertengkaran, pertikaian, permusuhan, dan perpecahan yang terjadi hari-hari ini.

Dengan dibersihkan hati dan jiwa dari berbagai penyakit hati, Muhammad bin Abdullah memiliki fleksibilitas hati yang begitu lapang, luwes, sehingga di setiap kehadirannya menciptakan suasana yang membahagiakan dan penuh cinta. Dijelaskan oleh Syeikh Kamba, siapapun saja yang mampu melaksanakan 5 prinsip kepribadian itu. Maka dia akan mampu menjadi transformator nilai-nilai ketuhanan. Dan sebenarnya, segala syariat Islam yang ada merupakan sebuah fasilitas yang sudah dipersiapkan oleh Allah untuk mewujudkan Islam yang rahamatan lil ‘alamiin.

“Jika nanti kalian menikah, apakah kalian harus memiliki bekal pengalaman tentang pernikahan?”, Mbah Nun memancing sebuah pertanyaan awal yang disambut gemuruh suara para mahasiswa. Anak-anak muda milenial ini memang sangat senang jika pembahasan diskusi tentang pernikahan. Mungkin yang ada di pikiran mereka adalah bahwa pernikahan itu 100% membahagiakan, padahal belum tentu. Layaknya hidup, pernikahan yang juga menjadi bagian dari kehidupan pun tetap ada saja problematika yang dihadapi.

“Kalau Anda ingin memasuki semesta raya cinta, apakah Anda harus menguasai pemahaman intelektual mengenai semesta raya itu?”, Mbah Nun melemparkan pertanyaan lanjutan, tampak beberapa mahasiswi mengenyitkan dahi mereka. Wajah-wajah mereka tampak begitu serius, setelah sebelumnya Syeikh Kamba mengajak mereka berfikir dengan bahasan yang berat. Mbah Nun memang sangat piawai mencairkan kembali suasana forum, seperti yang terjadi tadi malam, para mahasiswi di barisan terdepan sangat antusias, bahkan ada yang sibuk mencatat poin demi poin paparan yang disampaikan oleh Mbah Nun. Sesekali, Mbah Nun pun berkelakar, humor-humor ringan penuh hikmah beberapa kali terlontar, tawa para mahasiswa dan mahasiswi pun membahana. Seperti sebelumnya diungkapkan oleh Mbah Nun, bahwa untuk memasuki gerbang pernikahan, kita tidak perlu memiliki pengalaman tentang pernikahan, begitulah sebaiknya.

Rimba gelap di depanmu, loncat, masuk!

“Saya akan mengajak Anda menemukan cinta, sambal nanti di tengah diskusi kita menemukan bersama caranya”, Mbah Nun melanjutkan. Mbah Nun pernah menulis; Rimba gelap di depanmu, loncat, masuk. Kalimat ini tidak akan relevan dengan konsep akademis modern hari ini, bahwa untuk menguasai sebuah permasalahan, kita dituntut untuk memahami seluk beluk persoalan yang akan kita hadapi. Konsep ini dijelaskan oleh Mbah Nun, jika kita gunakan dalam wilayah dan skala tertentu, itu baik. Seperti misalnya untuk mengelola perusahaan, mengelola Negara dan lain-lain. Tetapi, untuk menjalani kehidupan, justru dengan tanpa pengetahuan tentang persoalan kehidupan itu sendiri, kita kemudian akan menemukan ilmu baru yang lebih bernilai ketika menyelesaikan persoalan yang kita hadapi.

Betapa asyiknya Maiyahan, karena Mbah Nun selalu saja memancing kita untuk terus berpikir melalui pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendasar, namun hakikatnya justru sangat mendalam jika kita mampu menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Tidak semua dari kita menemukan jawaban yang sama atas sebuah pertanyaan, bisa saja setiap dari kita menemukan jawaban yang berbeda. “Rahman dan Rahim itu apakah dua gelembung bersama 97 gelembung yang lain, yang kemudian terangkum dalam Asmaul Husna, ataukah justru Rahman dan Rahim itu adalah gelembung besar yang mencakup 97 Asmaul Husna lainnya?”, Mbah Nun kembali melempar pertanyaan.

Lainnya

Kegembiraan Bersedekah Maiyah Kepada Indonesia

Kegembiraan Bersedekah Maiyah Kepada Indonesia

Musim penghujan baru menyapa menjelang bulan November, langit hari itu diselimuti mendung, para penggiat Kenduri Cinta menyiapkan pelaksanaan forum bulanan Kenduri Cinta di Pelataran Taman Ismail Marzuki (TIM) sejak siang hari.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta