CakNun.com
Wédang Uwuh (69)

Sembunyikanlah Kebenaran

Kedaulatan Rakyat, 13 Maret 2018
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 3 menit

Rupanya Simbah merasa perlu menyela pemaparan Beruk dengan mengingatkan kembali perlunya menerapkan piweling para leluhur: empan papan. Proporsi. Ketepatan koordinat dalam peta bebrayan. Tidak ada manfaatnya kebenaran kalau produknya bukan kemashlahatan. Sia-sia kebaikan, kalau output-nya bukan keselamatan bersama.

Semua orang sudah pernah mendengar anjuran dari wacana Agama “katakan yang benar, meskipun pahit, atau sepahit apapun”. Menurut ngelmu titèn kawicaksanan Jawa, itu bener, tapi belum tentu pener. Kalimat “qulil haqqa walau kana murran” itu perlu dipelajari fakta atau situasi sosial yang melahirkannya, konteks yang melatarbelakanginya, atau kasus yang membuat seruan itu direkomendasikan.

Sejarah manusia diolah dengan pendayagunaan akal dan nurani. Zaman berlangsung dengan upaya manusia untuk ber-ijtihad secara dinamis, belajar dari pengalaman dan kejadian-kejadian. Dinamika pembelajaran itu membuat ummat manusia, mestinya, menjadi lebih dewasa, lebih matang, lebih menep, dan punya ilmu keseimbangan dalam dirinya serta penyeimbangan secara sosial.

Ada suatu keadaan antar manusia dan masyarakat di mana terapan yang tepat adalah “nyatakan kebenaran, meskipun pahit”. Tetapi ada peta dan konteks sosial lain yang metodenya bergeser menjadi “simpan dan sembunyikan kebenaran, demi kemashlahatan bersama”. Ada kasus “menyembunyikan kebenaran” yang menghasilkan kebaikan, misalnya teman yang (maaf) “mrongos” tidak kita sapa dengan “Arep nyang ngendi, Ngos?”. Atau seorang Ibu tidak membuka jarit atau kain penutup auratnya serta membuka celana dalamnya, demi menjawab pertanyaan anak balitanya yang bertanya: “Mbok, dulu saya keluar dari perut Simbok lewat mana?”

Menyembunyikan kebenaran terkadang merupakan kebenaran budaya, meskipun di dalam proses peradilan hukum itu merupakan pelanggaran dan pemalsuan. Menyatakan kebenaran bisa merupakan tindakan kepahlawanan dan kemuliaan, tetapi bisa memicu keburukan sosial apabila dilakukan tidak pada irama dan momentum yang tepat dalam konteks tata kelola sosial.

Ada keadaan di mana yang tepat adalah “men sana in corpore sano”, jiwa yang sehat terletak dalam badan yang sehat. Ada keadaan lain di mana yang harus diterapkan justru sebaliknya: “men sano in corpore sana”, badan yang sehat merupakan hasil dari jiwa yang sehat. Ada pernyataan cinta yang merupakan ungkapan ketulusan hati, ada yang diungkapkan sebagai sindiran atau ejekan. Ada ujaran kasih sayang, sikap dan tindakan cinta, yang merupakan pelanggaran pager ayu, karena subjek dan objeknya tidak berproporsi hukum dan moral yang seharusnya.

Sayidina Ali putra Pak Abu Thalib yang menjadi menantunya Kanjeng Nabi Muhammad sangat termasyhur ucapannya: “Undzur ma qala wa la tandzur man qala”. Dengarkan apa yang diucapkan, jangan lihat siapa yang mengucapkan. Tetapi ada situasi lain di mana yang tepat adalah sebaliknya: “Undzur man qala wala tandzur ma qala”. Lihat siapa yang mengucapkan, jangan terjebak oleh apa yang diucapkan.

Kalau Nabi Muhammad, karena terbukti seluruh hidupnya berperilaku “shiddiq amanah tabligh fathonah” menyatakan “ummati, ummati”, yang memenuhi hatiku adalah cintaku kepada ummatku – berbeda dengan paparan yang sama di baliho-baliho Pilkada “dari rakyat, bersama rakyat, untuk rakyat”. Kalau kita-kita ini bilang cinta kita murni dan bukan alat untuk meraih kekuasaan, tidaklah sama dengan Nabi Muhammad yang terbukti menolak ditawari oleh Tuhan untuk menjadi “Mulkan-nabiyya”, Nabi yang Raja, dengan dibekali gunung emas antara Mekah Madinah, 312 milyar tahun pancaran Air Zamzam serta kandungan tambang-tambang minyak dan energi.

Putra Pak Abdullah yang sejak sebelum menjadi Nabi sudah dijuluki oleh masyarakat sebagai “yang terpercaya”, Al-Amin, memilih menjadi “Abdan-nabiyya”: Nabi yang rakyat jelata. Tidak pernah berkuasa di Mekah maupun Madinah. Ditaati karena pengayomannya. Dicintai karena kemuliaan dan kewibawaannya.

Manusia Zaman Now ini menunjukkan watak utamanya adalah “Mulkan-malika”. Ingin jadi raja, penguasa, politik maupun ekonomi. Sangat sedikit yang “Abdan-abdiyya”, hamba yang menghamba, pelayan yang melayani. Yang karena ia hamba dan pelayan, maka ia menghamba dan melayani. Yang karena ia menghamba dan melayani, maka ia hamba dan pelayan.

Ada orang sekarang yang seperti itu, tetapi tak seorang pun mempercayainya. Sampai ketika akhirnya mereka terpojok dan terpaksa berlindung kepada “hamba” itu.

Lainnya

Dimensi Keadilan dalam Perspektif Pembangunan Sosial Budaya

Dimensi Keadilan dalam Perspektif Pembangunan Sosial Budaya

Adil

Kata “adil” tidak bisa dijumpai dalam khasanah tradisi kebudayaan masyarakat kita, sekurang-kurangnya masyarakat Jawa tradisional yang “asli”; meskipun itu tidak otomatis berarti tak ada pula sebagai (fakta) nilai.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib