Sejarah Kebebasan dan Posisi Maiyah
Tahun ini, tutur Pak Ian, untuk kedua kalinya Ia diundang bicara di Cranfield University, Inggris dalam simposium tentang Kontra-Kekerasaan dan Ekstemisme. “Jelas, saya bicara tentang sejarah, kegiatan dan nilai Maiyah dalam forum tersebut di depan kumpulan akadamik, aktivis, dan tokoh-tokoh dari seluruh dunia. Slides-nya hanya gambar dari Maiyahan. Saya mulai dengan sedikit tentang sejarah Walisongo, Islam dan Jawa, tentang Indonesia sebelum 1998 dan sesudahnya, tentang otentitas Islam di gerakan Maiyah yang berasal dari al-Quran, tentang otentitas dan informalitas, tentang kontroversi dan kontradiksi.”
Dalam kesempatan itu, Pak Ian bicara tentang kharisma, tentang Cak Nun dan akar-akar Maiyah, Padhangmbulan, dan Jalan Sunyi, sebagai puisi dan sebagai path – walking the path while constructing it – yang dalam bahasa Pak Ian, “Kita di Maiyah menjalankan sama-sama dengan Cak Nun setiap hari, setiap minggu dan setiap bulan hingga bertahun-tahun, dan semoga selanjutunya bahkan selamanya.”
Pak Ian juga bicara tentang perjalanan Cak Nun, Kiai Kanjeng, Ibu Novia Kolopaking, dan Sabrang di mana Pak Ian juga turut serta ke Belanda sepuluh tahun lalu pada 2008 untuk membantu pemerintah atas respons politik dan sosial terhadap film oleh Geert Wilders, “Fitna”. Selama dua minggu Cak Nun dan KiaiKanjeng menjalani konser di kedutaan, geraja, masjid dan teater. Selain itu, Cak Nun bertemu dengan salah satu tokoh kaum Yahudi di sinagog untuk membahas iktikad baik antar faith communities (kaum agama) di Belanda.
Kepada audiens akademik dan internasional itu, Pak Ian bercerita tentang Jombang, Padhangmbulan, karya-karya Cak Nun, Cak Fuad dan KiaiKanjeng, dan akar-akar Maiyah sampai prinsip penaburan–semua dibahas dengan konteks engagement, influence and action (titik temu antar kelompok, pengaruh, and aksi). Dalam hal ini Pak Ian melihat telah ada berberarpa jamaah Maiyah yang juga mulai aktif menulis dalam perspektif ini tangkapan ini untuk keperluan skripsi dan tesis di berberapa universitas di UK dan Eropa. “Mereka adalah masa depan dalam pikiran Maiyah dan kontribusi meraka sangat penting dan otentik,” kata Pak Ian.
Pak Ian menyampaikan bahwa pemaparannya diterima dengan sangat baik dan juga ada peluang untuk menunjukan berberapa video dari pengalaman Cak Nun dan Kiai Kanjeng di luar negeri.
Bagi Pak Ian, apa yang berlangsung di Maiyah bukan hanya teori atau akademis. Ini sangat actual dan nyata. Dalam minggu-minggu ini, di sosmed dan di www.caknun.com, terdapat beberapa artikel dan refleksi mengenai kehadiran Cak Nun yang diangkat dari sebuah forum di Surabaya dalam rangka Conflict Reduction. Ini peran yang penting untuk Maiyah dan sesuatu yang bisa membantu rakyat di Indonesia dan juga kelompok-kelompok orang yang menjadi korban dari konflik di luar negeri.
“Kita sendiri juga punya negara, dan Anda semua adalah warganya. Itulah negara Maiyah. Selama ini negaranya bisa ketemu di sini (KC), di sini (head) dan di sini (heart), in our hearts and minds. Tetapi kagiatan kita, Cak Nun dan KiaiKanjeng sudah membuktikan bahwa kita bisa memengaruhi keadaan rakyat. Jamaah Maiyah, Selamat! Karena Anda tetap membawa obor ilahi di tangan Anda, di hati dan di pikiran. Cak Nun pernah menulis tentang Seribu Masjid Satu Jumlahnya. Kita adalah sejuta jemaah satu Maiyah,” kata Pak Ian.
Pak Ian teringat akan serial film James Bond, dan ada satu seri pada 1967 berjudul You only Live Twice – Kita Hanya Hidup Dua Kali – dengan Sean Connery. Dengan film ini, Pak Ian merasa dan tahu bahwa kita semua manusia hanya bisa hidup satu kali, tetapi Pak Ian merasa bahwa dirinya sudah berhidup dua kali.
Bulan depan, Januar 2019, adalah dua puluh lima tahun sejak Ia masuk Islam, dua puluh lima tahun sejak Ia memeluk, mencintai, dan memakai nilai dan prinsip Islam sebagai rangkaian spiritual, moral, dan sosial. “Untuk saya, rangkaian itu tidak bisa dipisah dari komitmen saya terhadap Maiyah,” tutur Pak Ian.
Satu hal lagi, tentang tentang kegiatan kontra-ekstremisme dan kontra radikalisme yang telah dibicarakan di atas. Bagi Pak Ian, itu tidak berarti kita harus menjadi “moderat”. Kita juga radikal dalam rangka membela pluralisme, dan ekstrem dalam rangka toleran. Dan, menurut Pak Ian, kita berjihad terus dengan niat perdamaian dan cinta terhadap semua, dan tidak ada force (daya) yang lebih kuat dari cinta. Itulah Kenduri Cinta.