CakNun.com

Sambang Penanggungan

Mukadimah Sulthon Penanggungan Juli 2018
Sulthon Penganggungan
Waktu baca ± 3 menit

Tanggal 14 September 2011, saat mengisi sebuah acara di Lapangan Desa Sumbersuko, Mbah Nun memberikan nama Sulthon Penanggungan untuk simpul Maiyah yang berada di area Gunung Penanggungan.

Kata Sulthon diambil dari ayat Al-Qur`an yang berbunyi: “Hai jamaah Jin dan Manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan sulthon (kekuatan/kekuasaan).” (QS. Ar-Rahman :33)

Kekuatan atau kekuasaan dalam ayat tersebut mempunyai arti yang sangat luas. Ia dapat dimaknai sebagai daya kemampuan atau juga ilmu pengetahuan, energi atau cahaya.

Kemudian, menurut kepercayaan Jawa kuno, Gunung Penanggungan merupakan salah satu bagian puncak Mahameru yang dipindahkan oleh penguasa alam. Penanggungan merupakan salah satu gunung suci dari sembilan gunung suci di Jawa.

Gunung Pawitran yang sekarang dikenal sebagai Gunung Penanggungan menurut kitab Tantu Pagelaran adalah wilayah yang amat disucikan. Di sana diceritakan ketika Nusa Jawi belum stabil, maka para dewa diminta memindahkan gunung Mahameru dari India. Ketika diangkat beramai-ramai, gunung tersebut berceceran di sepanjang Sumatera dan Jawa (Pegunungan Bukit Barisan, Pegunungan Kendeng) dan puncaknya runtuh menjadi gunung Pawitran. Lalu badannya diletakkan sebagai penyeimbang tanah Jawa menjadi gunung Mahameru (Semeru saat ini yang merupakan gunung tertinggi di Jawa). Karena posisi gunung Pawitran sebagai puncak, tentunya dalam legenda itu sangat dihormati.

Atas beberapa alasan itu, sejak ribuan tahun lalu, Pawitran telah digunakan sebagai area suci bagi kaum pertapa dan pendidikan bagi ksatria (khususnya calon raja di Jawa Timur). Mereka inilah yang membangun situs-situs yang tersebar di keempat gunung perwara (pengawal) dari Pawitran.

Berdasarkan itu, nama Sulthon Penanggungan dapat diartikan sebagai “Kuasa Penanggungan”. Kekuatan yang berasal dari Penanggungan. Atau, bisa juga diartikan sebagai Kekuatan untuk Penanggungan. Dari Penanggungan untuk Penanggungan, tempat orang orang menjauhkan diri dari hiruk pikuk dunia, tempat untuk mencari ketenangan jiwa, tempat mensucikan diri.

Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Hadid: 1)

Para Pegiat simpul Maiyah Sulthon Penanggungan, yang secara resmi mendapat amanah dari Mbah Nun untuk “bersulthon” di daerah Penanggungan, yang artinya menggali kearifan, mengupayakan kebaikan, mengantarkan keindahan, sudah lama menahan rindu untuk berselaras, bertasbih bersama alam Penanggungan.

Dalam kesempatan kali ini, dengan tema Sambang Penanggungan, kami mencoba menghayati penciptaan untuk menemukan Sulthon atau kekuatan dan kemampuan untuk bisa lebih dekat pada sang Pencipta.

Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.” (QS. Ali-‘Imran: 190-191)

Kata Sambang dalam bahasa Jawa memiliki arti umum berkunjung. Namun arti sebenarnya adalah kegiatan Ronda, yang mencakup proses atau kegiatan mengunjungi, mengamati, menjaga, dan mengamankan.

Sesuai dengan Surat Al-Anbiya ayat 107, Allah SWT berfirman, “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam“.

Rahmatan lil alamin bukanlah sekedar motto Islam, tapi merupakan tujuan dari Islam itu sendiri. Sesuai dengan tujuan tersebut, maka sudah sewajarnya apabila Islam menjadi pelopor bagi pengelolaan alam dan lingkungan sebagai manifestasi dari rasa kasih bagi alam semesta tersebut. Selain melarang membuat kerusakan di muka bumi, Islam juga mempunyai kewajiban untuk menjaga lingkungan dan menghormati alam semesta yang mencakup jagat raya yang di dalamya termasuk manusia, tumbuhan, hewan, makhluk hidup lainnya, serta makhluk tidak hidup.

Hormat terhadap alam merupakan suatu prinsip dasar bagi manusia sebagai bagian dari alam semesta seluruhnya. Dalam Surat Al-A’raf disebutkan, “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan. Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa kabar gembira, mendahului kedatangan rahmat-Nya (hujan), sehingga apabila angin itu membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu. Kemudian kami tumbuhkan dengan hujan itu berbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran. Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan izin Tuhan, dan tanah yang buruk, tanaman-tanamannya tumbuh merana. Demikianlah Kami menjelaskan berulang-ulang tanda-tanda (kebesaran Kami) bagi orang-orang yang bersyukur.” (QS. Al-A’raf: 56-58)

Sesuai arti Al-A’raf yaitu tempat yang tertinggi di batas surga dan neraka, kami mendaki menuju Puncak Pawitra untuk Sambang Penanggungan.

Katakanlah (Muhammad), ‘Bepergianlah di bumi lalu lihatlah bagaimana kesudahan orang-orang dahulu. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)’“. (QS. Ar-Rum : 42)

Dengan lebih mendalam, mempersekutukan Allah dapat dipahami sebagai menduakan Allah dengan ego, hasrat, dan nafsu kesenangan.

Dan kepada Allah sajalah bersujud segala apa yang berada di langit dan semua makhluk yang melata di bumi dan (juga) para malaikat, sedang mereka (malaikat) tidak menyombongkan diri.” (QS. An-Nahl: 49)

Dengan menyelaraskan diri pada alam, kita dapat memperoleh kesadaran bahwa Allah menjadikan alam semesta yang tanpa emosi, menerima apapun yang ditakdirkan-Nya dengan rela, selalu berbaik sangka pada-Nya hingga tiada kesedihan. Yang diinginkannya hanyalah mematuhi Allah.

Dengan kesadaran itu kita bisa memperoleh sulthon ketenangan jiwa yang membuahkan sulthon untuk menjalani hidup secara indah.

Lainnya

Mosok Dijajah Terus Ker?

Mosok Dijajah Terus Ker?

21 April 2015, dinginnya kota Malang tak mengurungkan niat dulur-dulur Maiyah Rebo legi untuk tetap berkumpul di beranda masjid An-Nur Politeknik Negeri Malang.

Nafisatul Wakhidah
Nafisatul W.
Exit mobile version