Saling Memantulkan Cinta antara Jawa dan Mandar
Sejarah persambungan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dengan Mandar tidak bisa kita lepaskan dari seorang sosok asli Mandar. Yaitu Ali Sjahbana (Alm.), lelaki yang berasal dari Kecamatan Tinambung yang pada tahun 80-an merantau di Jawa untuk kuliah di salah satu Perguruan Tinggi di kota pendidikan Yogyakarta. Persaudaraan serantau itu kelak membawa Cak Nun atas ajakan Ali Sjahbana menginjakkan kakinya di tanah Mandar pada tahun 1987 untuk pertama kalinya.
Kedatangan Cak Nun saat itu memang sudah lama dinanti-nanti oleh para pemuda Teater Flamboyant yang terbentuk alami di bawah bimbingan Ali Syahbana kala itu. Dari diskusi demi diskusi yang digiatkan oleh Ali Syahbana termasuk mendiskusikan tulisan-tulisan Cak Nun yang tersebar di media nasional kala itu, seperti majalah Panjimas dan Tempo. Para pemuda Teater Flamboyant yang kebanyakan dari mereka dulunya adalah “preman kampung” dan anak jalanan mulai mengenal sosok Cak Nun dibalut rasa penasaran. Sampai saat Cak Nun tiba di Tinambung Mandar mengendarai bus dari Makassar setelah diterbangkan dari Jawa lewat kerja urunan mengumpulkan dana dari beberapa tokoh masyarakat di Tinambung.
Hubungan dan persaudaraan pun terus dijalin mulai saat itu. Sampai-sampai gerakan sosial budaya dan keagamaan yang digerakkan oleh Cak Nun di pulau Jawa–sambungan frekuensi dan getarannya sampai ke Mandar. Seperti ketika di Menturo Jombang tempat kelahiran Cak Nun digelar pengajian Padhangmbulan.
Sepulang para pemuda Teater Flamboyant mengikuti dan menghadiri pengajian Padhangmbulan di Jombang tahun 1997, mereka pun membentuk pengajian Papperandang Ate di Tinambung. Dan juga ketika gerakan HAMAS (Himpunan Masyarakat Shalawat) yang digiatkan oleh Cak Nun bersama KiaiKanjeng–setelah Cak Nun ikut berjuang dalam Reformasi dan melihat hal yang mengecewakan terjad akhirnya Cak Nun memilih keliling shalawatan di masyarakat arus bawah–para pemuda di Tinambung pun membentuk HAMAS BADAR (Himpunan Masyarakat Shalawat Balanipa Mandar). Seperti sudah ditakdirkan oleh Alah untuk berjodoh dan saling memantulkan cinta antara Jawa dan Mandar.
Risalah Cinta dari Orang Mandar yang Lahir di Jombang
Risalah cinta demi risalah cinta yang ditulis dan ditorehkan Cak Nun untuk anak cucu Beliau di Mandar, saat ini terus mengalir dan memunculkan banyak pengakuan dan rasa syukur, utamanya dari generasi pertama Teater Flamboyant. Bahwa setelah mengenal Cak Nun pikiran mereka terbuka, wawasan meluas, bahkan pekerjaan dan rezeki mereka mengalir tidak begitu sulit.
Hubungan yang unik memang, karena meskipun Cak Nun memosisikan diri sebagai saudara atau orang tua, tapi ketakdhiman masyarakat terlihat lebih dari itu. Cak Nun tak jarang dimintai nama bagi anak-anak yang baru dilahirkan. Botol-botol air putih dari masyarakat yang diberkahi dan didoakan oleh Cak Nun setiap kali menginjakkan kaki di Tinambung Mandar, sehingga saya meyakini bahwa tugas Cak Nun dari Allah yang kita lihat saat ini bisa saja lebih dari apa yang kita ketahui tentang sosok Cak Nun.
Kehadiran Cak Nun di Mandar kali ini memberi makna tersendiri di tengah cuaca yang tak menentu bahkan suhu politik menjelang tahun politik 2019 yang mulai memanas, di mana kita menyaksikan para politikus nasional saling beradu meraih simpati tapi kadangkala saling menyerang lawan politik masing-masing. Dan dampaknya mau tidak mau rakyatlah yang ujung-ujungnya menjadi korban dan mengalami kebingungan. Sehingga pada situasi tersebut kita sebagai rakyat membutuhkan sosok orangtua tempat kita berbagi masalah dan berkeluh kesah.
Dan nyatanya selama puluhan tahun ini di mana-mana yang dilakukan Cak Nun keliling Indonesia membesarkan hati masyarakat, mencarikan solusi-solusi atas permasalahan mereka sambil membuka pori-pori berpikir masyarakat agar lebih tahan banting menghadapi kehidupan. Cak Nun kepada anak cucunya di Maiyah mengungkapkan bahwa di sekolah Anda belajar pengetahuan akademis, di masjid atau di pondok Anda belajar pengetahuan agama, tetapi hanya di Maiyah Anda semua belajar tentang (ilmu) hidup dan kehidupan.
Bagi yang pertama kali mengikuti langsung pengajian Cak Nun atau lebih populer dengan istilah Maiyahan mungkin akan bertanya, kok model pengajiannya beda dengan yang diikuti di tempat yang lain? Pertama kita akan melihat posisi panggung yang maksimal 40 cm saja tingginya, substansi pengajian yang mendasar dan lain daripada yang lain. Shalawatan yang menguatkan, adanya dialog antara jamaah dan pembicara, sehingga pengajian berlangsung tidak hanya ceramah satu arah.
Di panggung bisa saja ada permainan anak yang ditampilkan sebagai ilmu untuk menghidupkan kearifan masyarakat kita dulu. Yang jelas, apapun yang kita dapatkan di pengajian Maiyahan Cak Nun dan masuk dalam memori kepala kita, simpan baik-baik semoga bisa menjadi kunci bagi masalah yang bisa saja kita hadapi ke depan.
Bersyukurlah kita hingga saat ini, silaturrahmi antara Cak Nun dengan masyarakat Mandar tetap terjaga. Kalau kita menonton tayangan Maiyahan di YouTube atau di medsos, seringkali Cak Nun menyebut dirinya orang Mandar yang dilahirkan di Jombang. Tidak hanya ketika Maiyahan di Jawa, namun juga saat di luar negeri.
Cak Nun selalu bangga dengan Mandar sampai ketika kita ingin membentuk provinsi tersendiri, yakni Sul-Bar memekarkan diri dari Sul-Sel, Cak Nun pun ikut memperjuangkan ke para pejabat negara di Jakarta termasuk ke Gus Dur, Presiden RI saat itu. Ketulusan perjuangan Beliau sungguh terlihat nyata. Kita bisa saksikan siapakah di antara tokoh reformasi yang tidak memetik buah dari hasil perjuangannya sampai detik ini kalau bukan Emha Ainun Nadjib?
Sebagai lanjutan program kegiatan Risalah Cinta Cak Nun & KiaiKanjeng pada tahun 2016 lalu, catatan ini dibuat sebagai pengantar kegiatan Silaturrahmi Kebudayaan Risalah Cinta Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) & KiaiKanjeng yang kembali akan digelar oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat bekerjasama dengan Pemkab Mamuju dan Pemkab Majene serta EO Banawa Sekar.
Acara gratis dan terbuka untuk umum di dua titik di Provinsi Sul-Bar ini, yakni di Kabupaten Mamuju, pada hari senin tanggal 9 April 2018 bertempat di Anjungan Manakarra dan di Kabupaten Majene. Kemudian pada hari selasa tanggal 10 April 2018 bertempat di Stadion Prasamya Mandar Majene.
Semoga kita bisa meluangkan waktu untuk mengasyiki keindahan Islam, silaturrahmi, ngaji bareng dan mudah-mudahan bisa menjadi hiburan yang mencerahkan bagi saudara kita yang dilanda kesusahan, keterasingan dan problematika dalam kehidupan yang kian kompleks. Dan kita berdoa ini menjadi Manaraturrahmah (menara kasih sayang) untuk kita semua sesuai dengan judul perjalanan kali ini dari Yogya ke Mandar.
Tinambung, 31 Maret 2018