Saciduh Metu Saucap Nyata
Ratusan bahkan puluh ribuan terselenggara Majelis Ilmu Maiyah di mana-mana. Dari sekian triliun ilmu para Marja’ Maiyah yang diamalkan dan diajarkan kepada anak cucu dan jm di seluruh majelisan itu, berapa miliar kah yang telah menjadi produk untuk dilakukan? Atau berapa ratus juta? Atau berapa juta? Atau berapa ratus ribu?Aatau berapa puluh ribu? Atau jangan-jangan hanya seratus saja? Bahkan ternyata hanya satu?
“Saciduh metu saucap nyata” adalah istilah Bangsa Sunda yang digunakan untuk menggambarkan kemampuan manusia-manusia pilihan (Nabi, Rasul, para Sahabat, Wali dan Orang Saleh) yang Allah berikan mu’jizat atau karamah berupa ucapan yang ‘manjur’. Jadi jika Nabi Isa katakan “mati” maka matilah, “hidup” maka hiduplah. Di level para sahabat nabi dan wali bahkan manusia yang dianggap biasa-biasa saja oleh sesamanya pun tidak sedikit yang mampu melakukan itu. Lebih ngerinya, bahwa leluhur dan sesepuh-sesepuh kita di Nusantara hingga detik ini masih ada yang mampu melakukan itu. Wallahu a’lam. Karena kita bukan Nabi, Rasul dan Wali maka sangat “pikaseurieun” jika kita membahas di wilayah itu.
“Kun fayakun” seperti yang pernah dijelaskan oleh Mbah Nun, bahwa itu adalah proses terjadinya sesuatu yang terus-menerus, bukan langsung jadi, melainkan seperti tahapan terciptanya langit dan bumi “fi sittati ayyamin“. Jadi, “saciduh metu saucap nyata” akan coba kita tadabburi sebagai proses terus-menerus menjadikan “nyata” terhadap apa saja yang telah kita katakan.
Dalam falsafah Jawa disebutkan “ilmu lakune kanti laku“, halusnya kita pahami sebagai tolok ukur orang yang berilmu adalah perilaku dan akhlaknya. Kasarnya, bahwa jika kita di Priangan Timur telah 19 kali bermajelis di LDMalaya–majlis yang hampir 100 persen diisi anak-anak muda, Budak Ngora–“Manggih bungah kupanggih”, ngopi bareng, ngaji bareng, dengan apa dan siapapun. Kita bersama-sama membersamakan kebersamaan, kita berusaha menebar keindahan dengan mengubur kebencian. Kita mencoba untuk mencicil kesejatian hidup. Maka seharusnya tak ada lagi di antara kita, atau bahkan yang ada di sekitar kita yang merasa hidupnya sendiri, yang tak tersapa, yang hidupnya hanya untuk dirinya sendiri, dan idealnya, diskusi bukan untuk diskusi, tapi bagaimana me-“metu” dan “nyata”-kan apa yang sudah didiskusikan.
“Saciduh metu saucap nyata” adalah proses menuju ilmu lakune kanti laku. Sepertinya memang terlihat berat dan susah dalam mengamalkannya, seakan semua ilmu yang kita ketahui dari lahir hingga ‘buluan’ seperti saat sekarang ini harus mampu diamalkan semuanya. Sejatinya memang seperti itu, apalagi anak-anak muda alias Budak Ngora. Apalagi dalam konteks yang belum menikah, memiliki lebih banyak kesempatan untuk bereksperimen tentang hal itu.
Ngora itu semua pernah mengalaminya, tapi Ngora Sajati hanya beberapa saja yang pernah mencicipinya. Apa itu Ngora Sajati? Yakni sejenis satu sikap berapi-api dalam memanfaatkan nafsu yang belum terlalu ‘dikhalifahi’ untuk dijadikan landasan kebermanfaatan bagi orang lain. Sederhananya, Ngora Sajati adalah mereka yang hidupnya penuh penderitaan demi memperjuangkan kebersamaan. Salah satu modal perjuangan itu adalah selalu berani melakukan apa saja berdasarkan ilmu yang telah dimilikinya. Karena pantang bagi Ngora Sajati untuk menjilat ludah sendiri, karena Ngora Sajati tidak berat di eksistensi, karena Ngora Sajati harus berpatokan kepada Al-Qur`an dan Hadits titik tanpa koma.
Akhirnya, “Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, mereka seakan-akan seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (Ash-Shaff: 2-4).
Sebelum perang jadilah Ngora Sajati yang berusaha ekstra mengamalkan “Saciduh Metu Saucap Nyata” agar mampu menjadikan “Ilmu Lakune Kanti Laku” dan akhirnya mengejawantahkan apa yang terdapat dalam teks, sehingga tidak “lima taquluna ma la taf’alun” atau “kabura maqtan“. Jadi dapat ditadabburi sementara bahwa kerangka berpikirnya adalah: Ngora sajati → saciduh metu saucap nyata → ilmu lakune kanti laku → tidak “kabura maqtan”. (Ash-Shaff: 1-2)
Lalu bagaimana dengan triliun ilmu para Marja’ Maiyah tadi? Adakah satu saja yang telah kita amalkan? Atau ternyata kita hanya puas satu dan tidak mau nambah lagi? Matsna, tsulatsa, ruba’ misalnya? Mari “poligami”, maksudnya, diskusi itu kurang asyik jika dengan “satu” saja, perlu banyak kepala, bermacam sumber, berbagai inspirasi untuk me-“metu”-kan “ciduh” dan me-“nyata”-kan “ucap”.