CakNun.com

Ruang Publik, Sinau Bareng, dan Cak Nun

Helmi Mustofa
Waktu baca ± 4 menit

Saya mulai mengenal istilah ruang publik ini pada sekitar 1996, dan sependek pengetahuan saya, sejak awal 1990-an, terminologi ‘ruang publik’ pelan-pelan mulai masuk dalam kosakata politik kita berbarengan dengan terminologi lain seperti civil society (masyarakat sipil) dan citizenship (kewargaan), dan setelah itu kosakata-kosakata tersebut makin berterima dan menjamak mewarnai berbagai diskusi dalam membicarakan rakyat sebagai subjek dalam suatu pelaksanaan kepolitikan (polity). Bersamaan dengan itu, secara positif banyak hal lalu diimbuhi kata ‘publik’. Keseluruhan gejala ini menandai perkembangan ilmu politik kita yang mulai tak hanya mengarahkan perhatian kepada negara saja tetapi juga kepada rakyat, kepada publik, kepada warga, secara bersamaan dan simultan.

Saya yakin sebagian di antara Anda pun yang rutin hadir dalam Sinau Bareng, dengan menggunakan perspektif ruang publik ini, barangkali telah menemukan wujud dan suasana serta pembacaan bahwa Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng itu merupakan satu bentuk keberlangsungan atau aktivitas ke-ruangpublik-an, dan temuan itu saya kira tidaklah mengherankan. Bahkan boleh jadi, dengan melihat sejumlah dimensi pada Sinau Bareng, Anda menemukan contoh unik mengenai ruang publik itu pada Sinau Bareng.

Dengan mengambil sedikitnya dua indikator publik pada Sinau Bareng kita dapat menemukan bahwa, pertama, Sinau Bareng diselenggarakan di tempat umum dan, kedua, jumlah hadirinnya sangat banyak. Dari sini kita mulai bisa membaca Sinau Bareng dalam perspektif ruang publik dengan sedikit merujuk pada pembahasan ilmu sosial dari mana istilah ini diambil.

Dalam ‘pensyarahan’ Fransiskus Budi Hardiman atas pikiran-pikiran filosof Jerman Jurgen Habermas dalam buku Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik & Posmodernisme Menurut Jürgen Habermas (1993), public sphere itu pertama-pertama bertumpu pengertiannya pada kata publik yang tak lain adalah rakyat. Siapakah rakyat? Ya yang bukan negara. Artinya orang-orang yang merepresentasi negara hanya akan menjadi punya sifat public dikarenakan faktor tugasnya sebagai penyelenggara pemenuhan kesejahteraan rakyat. Dia sendiri bukan rakyat karena telah berfungsi sebagai representasi negara. Adapun rakyat sebagai publik pada dasarnya orang-orang privat yang karena berkumpul dan membahas kepentingan bersama, bukan kepentingan individual, lantas dengan sendirinya terbentuk sebagai publik, dan dari situlah lahir opini publik.

Public sphere yang oleh F. Budi Hardiman diterjemahkan sebagai ‘dunia publik’ sementara kebanyakan ilmuwan lain lebih suka mengartikannya sebagai ‘ruang publik’, termasuk kita-kita juga, pada mulanya adalah fenomena yang menyangkut rakyat, sama seperti demokrasi pada asal-mulanya adalah juga peristiwa rakyat, yaitu rakyat yang omong-omong atau berdiskusi, memikirkan apa yang terbaik buat mereka sebagai suatu community atau masyarakat.

Barangkali bayangannya kemudian adalah seperti ini: sejumlah orang atau rakyat melakukan kegiatan ngobrolin politik misalnya di warung, pos ronda, kafe, dan lain-lain tempat, dan lantas pada gilirannya tempat-tempat itu terkena efek sifat publik yang melekat pada orang-orang itu sehingga secara ‘natural’ sosiologis lalu muncul terminologi ‘ruang publik’ yang mengasosiasikan adanya suatu tempat (space) buat publik berdiskusi atau berbicara. Lalu pada tahap berikunya ada diciptakan tempat-tempat yang memang disediakan sebagai tempat umum, sehingga akan disebut pula sebagai ruang publik. Yakni, ruangnya rakyat, ruang masyarakat, ruang bersama.

Dalam pemahaman lebih lanjut, ruang publik bukan hanya space geografis, melainkan sarana-sarana lain yang sifatnya terbuka, termasuk internet dan media sosial. Di ruang-ruang spasial dan ruang maya/virtual, publik bisa bertemu dan membahas politik atau kepentingan bersama. Kendatipun, bila dikaji lebih jauh dengan melihat bagaimana orang menggunakan media sosial, komunikasi atau praktik di dalam ruang spasial (muwajjahah/tatap muka) maupun ruang maya ternyata memiliki sejumlah perbedaan mendasar dalam hal sifat dan karakter interaksinya.

Walaupun terdapat pemilahan analitis agak subtil atas rakyat dan negara dalam konteks ruang publik ini seperti disinggung di atas, dalam praktiknya yang berlangsung dalam ruang publik adalah mixing antara dua entitas tersebut, dan Sinau Bareng adalah contoh dari ternyata menjadi wadah bagi bertemunya dua komponen itu. Dalam Sinau Bareng, yang hadir tak hanya rakyat, tetapi juga representasi negara: camat, bupati, ketua DPR, Dandim, Polres, dll.

Yang dibincang mayoritas memang persoalan publik baik yang diinisiasi oleh rakyat maupun oleh pemerintah. Tema-tema itu menjadi concern bersama. Sebagaimana yang barusan, program-program BKKBN dalam Sinau Bareng yang digelar oleh BKKBN dapat secara smooth menjadi tema yang dibincang bersama, ya rakyat, ya semua elemen pemerintahan yang ada. Tidak terjadi benturan atau jeglekan misalnya dari rakyat yang bilang, “Ya itu kan program pemerintah atau BKKBN…”

Itu hanya satu contoh dari deretan tema dan keperluan yang menyertai Sinau Bareng-Sinau Bareng Cak Nun. Tetapi intinya, dalam konteks diskursus mengenai ruang publik ini, Sinau Bareng telah memberikan satu example tentang bagaimana ruang publik direspons dan dimanfaatkan secara baik, dengan terutama mempertemukan dua entitas yakni publik dan state/government, yang dengan sejumlah metode yang dipraktikkan Cak Nun membawa mereka pada satu kebersamaan. Bahwa mereka nggak melulu rakyat atau pemerintah, mereka juga “manusia”.

Yang menggelitik mungkin adalah dua fenomena ini: banyaknya orang yang hadir dalam Sinau Bareng entah itu di alun-alun, lapangan, halaman kantor, apapun, selalu membludak rakyat atau publik; kedua, cukup banyak hingga saat ini pemda, pemkab, atau instansi pemerintahan lain terutama pada level pemerintah daerah yang mengundang Cak Nun dan KiaiKanjeng. Untuk dua hal ini, saya rasa tidak terlalu sulit buat kita mengatakan bahwa kapasitas dan kapabilitas komprehensif Cak Nun sebagai tokoh memang ya, maaf, baru Cak Nun yang ada. Kapasitas dan kapabilitas itulah yang mampu menghadirkan rakyat atau publik duduk di depan Cak Nun untuk Sinau Bareng.

Tentu sangat banyak dimensi Sinau Bareng yang bisa dikaji dalam kaitannya dengan ruang publik. Tetapi dengan melihat integralitas Cak Nun dengan publik melalui Sinau Bareng di mana saja, ada satu yang bisa kita lihat bahwa sebenarnya dalam diri Cak Nun sudah melekat sifat publik. Dengan volume rakyat yang turut hadir dalam Sinau Bareng, dan dengan mengalirnya permohonan acara dari lingkungan pemerintahan, khususnya pemda, Cak Nun telah menjelma sebagai ruang publik itu sendiri, ada alun-alun dan lapangan maupun tidak. Buktinya, sampai pun di kediamannya, di ruang privat, orang-orang masih sering datang kepada Cak Nun di antaranya untuk mengajak berbicara tentang yang public dan yang negara. Karenanya, kita bisa berempati jika dulu semasa di rumah Patangpuluhan, wartawan bertanya, dengan banyaknya tamu kala itu, bagaimana Cak Nun menjaga atau punya ruang privasi. Cak Nun menjawab, “Privasi saya ya seluas badan saya ini…”

Lainnya

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Setelah Wirid Wabal yang dipandu Hendra dan Ibrahim, Kenduri Cinta edisi Maret 2016 yang mengangkat “Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit” kemudian dimulai dengan sesi prolog.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Hilwin Nisa
Hilwin Nisa

Tidak

Topik