Reformasi NKRI, 19
Cak Nun bercerita: “Malam hari setelah paginya Pak Harto lengser, saya hadir ke pertemuan para tokoh kelas satu NKRI. Mereka para jagoan, pemimpin-pemimpin. Sebagian dikenal independen, sebagian lain sejumlah orang yang barusan mengundurkan diri dari jabatan Menteri. Kalau ada istilah Kabinet Sejarah, mereka yang berkumpul di ruang itulah anggota Kabinet Sejarah Reformasi Indonesia. Merekalah senior-senior Bangsa Indonesia. Merekalah cendekiawan elit dan aktivis Reformasi utama. Ketika bareng naik lift tadi, tiga orang berdebat tentang kira-kira berapa bulan mereka andaikan jadi Menteri baru besok, dan berapa uang pensiunnya. Tatkala sampai ke ruangan tempat pertemuan itu, saya terhenti dalam posisi berdiri di bawah bingkai pintu masuk. Saya tidak sanggup melangkahkan kaki untuk memasuki ruangan. Terbentur oleh pandangan mata mereka semua. Sorot mripat beliau-beliau itu, serta aura wajah dan nuansa urat saraf ekspresi mereka–merupakan tembok beton tebal yang membentur dan membuntu badan saya. Saya memasuki semacam wilayah makrifat gelapnya hati manusia, oleh kedengkian dan kemunafikan. Saya mendengar suara masing-masing dari balik sorot mereka. Sangat jelas dan terang benderang. Tetapi itu tidak bisa direkam oleh ilmu maupun teknologi apapun. Bahasa akademisnya: itu bukan fakta objektif, itu hanya asumsi subjektif. Bahasa gaulnya: Ah, itu hanya perasaan Adik saja… Saya tidak jadi masuk ruangan untuk ikut pertemuan. Saya balik badan dan ngeloyor pulang. Novia istri saya kaget kok saya pulang cepat. Saya bilang: Hati para penghuni Negeri ini, terutama para elit dan menengahnya, terlalu sempit untuk kita masuki dan memuat kita. Maka kita yang harus memperluas ruang jiwa dan semesta hidup kita, agar bisa memasukkan mereka semua ke dalam mulut kita sebagai camilan sejarah. Mulai hari ini kita harus latihan sliliten kepalsuan Reformasi“