Refleksi “Takbir Akbar” (2)
Sudah tak tahu lagi mana yang asli. Kita tersesat di rimba zaman. Kita adalah generasi yang berkunjung ke Borobudur, membaca literatur tentangnya dari sudut pandang budaya asing, percaya kebesarannya dengan ukuran besar-kecil ala pendatang.
Kita memandang budaya kita sendiri dengan pandangan eksotisme Eropa kepada Asia. Diam-diam kita percaya, Borobudur masih menyimpan sesuatu di kedalamannya. Namun kita terlanjur berdiri pada tanah kesadaran di atasnya. Kita mengaku kagum pada Borobudur, budaya dan peradaban kita sendiri, sambil juga tidak siap manakala kebesaran utuh itu harus mencuat dari kedalaman ibu bumi. Selain tersesat, kita takut maqom berpijak kita tergoncang apalagi terputar balik. Kita, penganut agama kepercayaan dan ideologi bernama kemapanan. Kita, adalah turis pada kebudayaan kita sendiri.
Hampir setiap nabi dan rasul turun untuk menggoncang kemapanan. Sebab setiap putaran waktu, sesuatu yang dulunya lahir sebagai penggoncang tatanan akan kemudian bermenetap menjadi kemapanan baru. Betapa mengerikannya, menjadi ummat akhir di mana tak akan ada lagi nabi dan rasul yang turun, tak ada lagi revisi penyempurnaan kitab suci, tak ada lagi gelegar suara dari langit yang merontokkan kebodohan manusia. Betapa mengerikannya.
Dan ketika suara dari langit telah dihentikan, mungkin itu berarti saatnya manusia berinisiatif menggali bumi, mencari ayat terpendam dalam dirinya. Bukan malah mengeruk kedangkalan, karena kerasukan kerakusan terhadap sumber daya alam.
Mungkin memang, Muhammad Saw diputuskan secara puitis sebagai nabi dan rasul terakhir, disebabkan setelah kepergian raga Muhammad Saw yang mulia, manusia kemudian memulai peradaban beku. Kesadaran membaku. Dan kita mesti siap membongkar, menggoncang diri dan kesadaran kita sendiri. Menemukan kelalaian, kesilapan, kekurangjangkepan pandang, kekonyolan yang mapan yang ada dalam diri kita sendiri.
Takbir Akbar itu benar-benar menggelegar rasanya. Air mata bercucuran setiap kali ingin menuliskan penggalian atasnya. Rasa ketidakpantasan, seperti kosong yang memenuhi dada. Tapi harus menggali, harus entah siapa yang mengharuskan. Sesuatu telah tertimbun begitu lama. Sesuatu yang punya kehendaknya sendiri untuk mencuat, muncul setelah berabad-abad terpendam. Setelah lebih dari seribu tahun tertimbun jauh di dasar kesadaran, perut nafsu angkara dan rasa puas pada tangkai pucuk cabang yang memesona. Tapi yang inti ingin juga lahir.
Tapi, tapi… Siapa yang mengarahkan bambu runcing permusuhan itu? Siapa yang memandang remeh pada pengetahuan sejati itu? Siapa yang mencari kebenaran hanya atas dasar selera dan kepentingan itu? Siapa yang menembakkan syak wasangka itu? Siapa yang terbang di kegelapan itu? Siapa yang memandang cinta dengan sinisme dan skeptisisme itu? Siapa? Siapa kalau bukan diri ini sendiri. Saya. Aku.
Untuk melegakan hati, ingin rasanya mengarahkan segala kalimat-kalimat yang indah dan mengerikan itu pada kelompok-kelompok politik, korporasi-korporasi dagang, masyarakat berkelas rahasia kegelapan, kaum agamawan sok suci, aktivisme sedangkal satu babak kesadaran kalah-menang dan banyak lagi spesies sejenisnya di luar sana. Tapi pointer-nya malah menuju kesini, ke aku. Gemetar.
Bagaimana bila tudingan ancaman mengerikan itu justru mengelupas diri sendiri? Bukan kepada onggokan-onggokan politisi seperti yang aku kehendaki, bukan teruntuk secuil jokowi atau prabowo, bukan pada sepotong ahok atau anies, bukan pada si ini dan sang nganu. Tapi ke aku? Sepenuhnya, seutuh-utuhnya ke aku? Mengerikan. Rasanya seperti telanjang saja.
Terbanting, terantuk, terpelanting, dihajar, disodok, ditendang. Rasanya diri ini babak belur oleh hantaman dan hujaman. Tapi harus menggali, sesuatu ingin mencuat dari kedalaman. Sesuatu yang tertimbun itu memiliki kehendaknya sendiri, lepas dari khazanah peradaban-peradaban yang telah lampau, yang ingin mereguk keindahannya namun juga berposisi menimbun kesejatiannya.
Itukah Islam? Yang sejati-jatinya Islam itu? Jangan-jangan dia bukan hanya agama saja, yang apalagi definisi agama pula telah berada pada tanah kesadaran zaman tertentu. Jangan-jangan din al-Islam, tidak sepasif yang kita kira. Jangan-jangan, dia juga adalah makhluk yang berkehendak dan telah ratusan tahun kita kecewakan.
Karena selama beraba-abad di atasnya telah kita bangun tata arsitektural yang sungguh hina dari semen curiga, batu bata perpecahan, dinding dingin mengancam, atap merendahkan, jendela kekonyolan yang dungu serta pintu ketertutupan.
Allah. Rasanya memang tak ada lagi pilihan jalan selain bertakbir. Telah sampai mana ketersesatan kita ini? Allah. Tak ada kata mampu terucap. Tudingan ke sana-sini, kalimat tuduhan pada si itu dan si ini. Allah. Apakah diri ini turut andil dalam pendangkalan peradaban ini?
Namun segala kepanikan itu, segala rasa sakit dirundung keterkelupasan demi keterkelupasan yang menyakitkan itu perlahan menemukan jalur kelegaannya. Jauh dari rasional sejauh rasio yang bisa saya aktfikan. Dentam alunan ayat, liukan takbir itu membalur luka dan air mata dengan cahaya. Saya tidak faham, ayat apa dan surah apa yang Mbah Nun bacakan pada Takbir Akbar itu. Pembacaan agama saya kurang, saya awam seawam-awamnya soal ini.
Selang-seling emosi teraduk-aduk menyimak rekaman Takbir Akbar yang diadakan pada tahun 2001 Masehi itu. Deras, seperti arus bawah. Seperti gejolak yang selalu ada pada kedalaman sanubari manusia Nusantara namun tenang-tenang Pasifik raut ekspresi wajahnya. Arus bawah yang mengerikan itu, akan menjelma badai?
Hati saya mulai tenang, kalimat-kalimat suci, shalawat, ayat-ayat yang otak saya belum tahu artinya, adzan dan entah apalagi semuanya itu meredakan deru-deru dalam hati menerbitkan getar yang menentramkan.
Pipi ini masih sembab oleh air mata. Ketika saya menengok ke sekeliling mendapati gemuruh arus bawah Takbir Akbar, sebenar-benar menjelma menjadi badai takdir kenyataan. Sungguh samudera Pasifik tidak dinamakan pasif, karena dia selalu tenang saja. Ada arus bawah yang selalu membadai dan sesekali menghajarkan ombak ke permukaan ketika tak tertahankan. Samudera pasifik yang tenang mentertawakan dengan petir dan gemuruh halilintar, melihat di sekeliling takdir menjadi nyata:
“Ya Allah… Sudah cukuplah kesabaranmu kepada para penyelingkuh cinta… “
Pernikahan mereka, pernikahan politik maupun asmara berahi habis diberangus perselingkuhan kepentingan. Anak-anak ideologis dan biologis, pewaris kesadaran penerus mereka kebingunan hilang arah tujuan.
“Paduka, buyarkanlah perkumpulan-perkumpulan mereka”
Buyar! Bubar! Segala bentuk beku yang selama ini mereka pertahankan mati-matian. Ideologi yang mereka sangka membebaskan padahal memenjarakan.
Aktifis kedangkalan salah terkam, merasa pendekar tapi salah pilih lawan tanding, salah baca peta perjuangan dan terpecah-pecah dihantam ketololan sendiri.
“Paduka, bikin cemas hati mereka”
Kecemasan pada kaum terhormat dimana-mana, aser-aset diamankan namun diantara mereka saling mengancam. Tiang listrik ditabrak. Yang diam dihajar. Darah dan air mata dijual. Antar kawan saling mengancam. Dorang cemas.
“Paduka, bikin mereka tertipu, terjebak, terpeleset oleh ilmu mereka sendiri!”
Dan ilmu yang warisan peradaban lampau yang mereka bangga-banggakan. Ilmu yang sejatinya berharga namun karena kesadaran mitologisasi mengalami stagnansi, pengkotak-kotakan kemeja madzhabisme, tanpa daya juang jihad ijtihad demi penyesuaian resonansi dan gelombang justru membawa malapetaka. Ketertipuan oleh kelokan kepentingan zaman, tokoh-tokoh keramat bertubrukan dengan presiden kesederhanaan yang sepele disangka berpelukan, padahal benjol. Kehancuran dianggap pembangunan.
Mereka terjebak pada idiom-idiom sendiri, definisi-definisi membingungkan. Menjembatani pemodal dengan rakyat dianggap memihak infrastruktrisme karena duduk semajlis. Muhammad saw kapan-kapan akan mereka tuduh pro Iblis karena pernah meminta iblis mengajarkan tauhid pada sahabat-sahabatnya.
Tertawa dan menari ombak zaman, badai yang pasifik itu, dimusiki oleh genderang tetabuhan halilintar, kentongan petir memperingatkan dungunya manusia, permukaan samudera menggelegak memecah kesadaran beku semu diatasnya. Meraung badai. Badai zaman.
Hingga tawa itu berangsur reda. Tak layak mensyukuri adzab, walau manusia zaman now kerap menyangka adzab itu adalah kenikmatan dan anugerah. Wajah samudera yang terdongak terbahak-bahak, merunduk. Memejam. Gerimis. Air mata leleh, hampir tak tampak.
Dan wajah merunduk mencari. Apa yang sesungguh-sungguhnya telah terpendam jauh itu. Hati-hati. Lirih, sertai dengan tauhid. Karena selain di dasar sana ada pondasi borobudur, juga ada jasad Dasamuka. Terpeleset tanpa kesadaran tauhid bisa tertipu lagi.
Merunduk semakin dalam. Lirih tahlil makin membenamkan wajah.
“laaa ilaaha illalaah… laa ilaaha illallah…”
Kemudian
“Huu… Yaa Huu…”
Wahai Dia. Wahai Engkau yang Dia. Wahai Hu. Wahai Dia Yang Engkau. Di mana wajah menghadap, di situ wajah-Mu.
“Yaa Huu…”
Kiri-kanan, di wajah manusia-manusia yang terlemahkan; mustadl’afin peradaban ada wajah-Mu. Mereka lemah tapi mereka kira mereka berkuasa. Mereka lemah maka mereka mencari-cari ideologi asing yang seolah melakukan pembelaan biar tampak heroik tapi justru melestarikan kegelapan, mereka butuh wacana abad lampau yang dimitoskan, merasa butuh kekayaan koorporasi, mereka butuh negara, butuh pemerintah, butuh jabatan, butuh ini-itu supaya tidak merasa lemah.
Padahal mereka butuh Dia.
“Yaa Huu…”
Padahal kita, kami, saya, kamu, kita, mereka butuh Dia Yang Sejati.
“Yaa Huu…”
Rupanya bukan ke sana atau ke situ. Bukan timur atau barat, bukan kiri atau kanan. Yang di Atas, ayat langit telah membatasi suara firman-Nya. Maka tengoklah ke bawah. Wajah menghadap ke bawah. Sujud. Wajah mencium kening ibu bumi; “ibumu, ibumu, ibumu”.
Resonan dari berbagai getar capaian peradaban telah saling bertemu. Angin perubahan mulai tak sabar. Hembusan “Huu..” Nafas peradaban. Tidak ada sesungguhnya nama samudera Pasifik, manusia pelaut, yang konon menamakan dan memberi batas-batasnya. Sebagaimana tidak ada nasion atau benua. Semua batas itu ilusi. Manusia memberi nama untuk mempermudah banyak hal namun kemudian terjebak sendiri pada penamaan.
Apalagi ketika lempeng kesadaran bumi mulai bergeser sedikit demi sedikit.
Hembuskan lah pada Ibu Bumi.
“Huu…”
Dan bersiaplah akan getarnya. Karena tidak sekali ini saja, getar kelembutan menjelma menjadi goncangan kenyataan.