Refleksi “Takbir Akbar” (1)
Pada zaman kita hidup sekarang ini, manusia kebanyakan hanya mampu berjuang dengan instrumen perjuangan yang terlanjur ada di dunia. Manusia zaman ini sulit membayangkan misalnya, memperjuangkan hak-hak hidup manusia tanpa declaration of human rights, atau tanpa ideologi-ideologi baku; sosialisme, feminisme, anarkisme,demokrasi, dlsb.
Bila urusannya sudah soal politik dan kekuasaan, jarang ada yang mampu menembus cakrawala kebaruan, paling maksimal cuma bisa bikin partai politik baru dan untuk kemudian bertarung lagi, berdarah-darah kembali menumbangkan atau ditumbangkan lagi dan lagi di dalam arena pertarungan yang itu-itu saja. Pertarungan yang dangkal, bukan kependekaran.
Bahkan kacamata pandang sejarah kita mulai buram, kita menyepakati pandangan sejarawan luar bahwa yang disebut era kebangkitan negeri ini adalah era di mana manusia-manusia Nusantara sudah mulai meresapi bentuk perkumpulan, organisasi seperti bentuk organisasi-organisasinya orang Eropa yang disusul kemudian mulai menanjak pada kelas-kelas intelektual seperti laiknya kaum Eropa juga. Mulai bersedia menjadi jurnalis hebat, organisatoris ulung, ideolog kharismatik dan sejenisnya.
Cita rasa Eropa yang selalu selama ratusan tahun gagal menancap kuku di tanah pertiwi ini, ketika itu justru makin total. Sampai kemudian berujung pada cita rasa kemerdekaan dan bayang-bayang impian negara pun terkonstruksi sebagaimana bayangan negara dalam konsep Eropa. Konsekuensi logisnya, kemudian tata pembangunan di atasnya pun mengadopsi tata pembangunan asing dengan segala ketertataan, kemegahan dan infratrukturismenya.
Maka sekali lagi, sebagian besar kita hanya mampu berjuang dengan instrumen yang telah disediakan dunia.
Padahal Tuhan, Puang Allah ta’ala, Gusti Allah Swt dengan segala kebesaran-Nya, menyediakan diri sebagai kawan seperjuangan para pejuang, para mujahidin fi sabilillah dan tentu juga menyiapkan berbagai bentuk akomodasi, konsumsi, persenjataan, stamina, daya energi serta luapan ghiroh, asal manusia mau beriman. Tapi iman, memang asing bagi produk kelahiran pasca renaissance-nya Eropa.
***
Bertakbirlah, bertakbirlah. Pekikkan takbir dan serulah sekalian manusia untuk menghayati kebesaran yang tiada batasnya itu, kebesaran yang menjangkau lampaui ruang dan waktu. Tiada zaman di mana iman benar-benar diuji sebagaimana saat ini. Inilah ujiannya, bisakah kita benar-benar mengandalkan hanya, dan hanya, Gusti Allah beserta instrumen perjuangan yang disediakan-Nya dan bukannya mengambil instrumen perjuangan yang terlanjur tidak suci mensucikan?
Orang beriman, bergetar-getar hatinya bila dilantunkan ayat suci, begitu kita meyakini. Namun getar, bisa dua hal juga. Bisa karena hati itu sendiri memang mudah bergetar, dan bisa juga karena yang melantunkan ayat suci itu memang mengirimkan gelombang getar yang dahsyat sehingga menghasilkan deretan getar yang menjalar.
Takbir Akbar, konser Kenduri Cinta di tahun 2001 kala itu, masih menggetarkan saja rasanya. Walau saya juga hanya mampu menyaksikannya melalui rekaman video di YouTube, tapi getarnya mengalir, terasa.
Tajuknya memang Takbir Akbar. Akbar, Allah itu Akbar. Dalam kaidah bahasa Arab, sedikit saja saya tahu soal ini, kata ‘Akbar’ semestinya adalah kata pembanding, bila miturut logika bahasa semestinya dilanjut dengan kata “min” semestinya Allahu akbaru min… (Allah lebih besar dari…). Tapi dalam seruan pekik takbir, kaidah itu ditabrak menghasilkan pengartian dan pemahaman baru, Allah besar, dan lebih besar, lebih besar lebih besar berkuadrat-kuadrat, kebesarannya melampaui ukuran kebesaran itu sendiri, melampaui pemahaman, melampaui cakrawala, malampaui dimensi ruang dan waktu. Akbar. Bukan Allah Kabir tapi benar-benar Allah Akbar.
Dan Takbir Akbar. Seringnya kita mendengar seruan takbir dengan teriakan, pekik, jerit, sorak seru. Seolah untuk menyampaikan keakbaran Allah, manusia mesti meninggi membahana suaranya. Namun apa yang Mbah Nun lakukan, sejak detik awal nada lembut memulai dengan “Sayang”.
Entah disengaja atau tidak, namun cara pengucapan Mbah Nun pada kata “sayang” juga membuat pengartiannya menjadi bercabang; apakah itu sayang sebagai sapaan mesra, atau “sayang” yang menyayangkan.
Sayang, kalau ke mana-mana engkau menabur api kenapa kamu kaget kalau terjadi kebakaran?
Kalau ke mana-mana engkau menebarkan provokasi kenapa marah kepada kerusuhan?
Kalau ke mana-mana engkau menyebarkan dusta kenapa kaget menyaksikan pertengkaran?
dan kalau ke mana-mana engkau memadamkan cahaya kenapa marah melihat orang bertabrakan?
Kalau ke mana-mana engkau memasarkan disinformasi kenapa kaget jika orang saling melukai?
Dan aduh sayang, Takbir Akbar ini dilantunkan di tahun 2001 M dan betapa pada tahun-tahun sekarang belakangan ini, justru kalimat-kalimat itu terasa makin nyata. Orang menebar api kebencian namun tidak siap menghadapi kebakaran. Menebar provokasi namun tidak bisa menerima kerusuhan, dusta disemai terus-menerus, bahkan yang berdusta tak lagi merasa dirinya sedang berdusta karena dirinya sendiri juga sudah terdustai oleh dustanya sendiri dan juga kaget ketika terjadi pertengkaran.
Bukankah ini yang sedang kita hadapi sekarang? Api dendam dan permusuhan dikobarkan namun cahaya justu dipadamkan. Dan disinformasi aduhai sayang, tahun 2017 baru saja berlalu, tahun yang penuh hoax, berita bohong maupun penggalan-penggalan berita yang semena-mena. Sementara sebagian orang hanya mau melawan hoax manakala hoax itu merugikan diri dan golongannya. Namun justru bersorak pada hoax yang menghantam kubu lawannya. Pertengkaran menjadi-jadi dan 2018-2019 tahun penuh klitih politik antar saudara mulai nampak semakin nyata.
Bisa dibilang, saya bukan orang yang mudah begitu saja percaya pada ramalan-ramalan. Kisah-kisah ajaib spiritual dan sufi-sufian pun rasanya tidak seberapa memesona buat saya pribadi. Pembacaan ramalan Jangka Jayabaya atau Sabdo Palon biasanya saya ambil rasionalnya saja, bahwa kemungkinan dua itu adalah ulah penulis anonim yang menyaksikan terlalu banyak penindasan dan kemudian memutuskan men-deliver harapan pada masyarakat. Ini disebut sastra apokaliptik, hal yang lumrah dilakukan sejak orang Judea (Yahudi) ketika menghadapi penjajahan entah Yunani-Syiria maupun Romawi. Kitab Daniel, disebut-sebut sastra apokaliptik pertama yang ditemukan (dalam kaca mata pandang sejarawan modern tentunya).
Pola sastra apokaliptik mudah terbaca. Dia biasanya bicara mengenai fenomena penindasan yang dikaitkan dengan kejadian penindasan atau penjajahan di masa lalu, dengan meminjam nama tokoh yang memang ‘wingit’ dalam masyarakat setempat (bagi kaum Judea yakni Daniel, bagi orang Jawa ya Prabu Jayabaya).
Khususnya Jangka Jayabaya, ada anggapan bahwa Ronggowarsito sendiri yang memopulerkannya diam-diam. Seperti juga sastra apokaliptik di belahan dunia lain, ada kemungkinan sebenarnya dia sedang berkisah mengenai fenomena kekinian pada masanya. Kalimat “orang cebol berkuasa seumur jagung” misalnya, lebih mirip dokumentasi kejadian perang Waterloo di mana Napoleon akhirnya dikalahkan oleh koalisi tujuh negara-negara Eropa. Perang Waterloo yang begitu pentingnya hingga Daendels pun dipanggil untuk turut serta adalah tanda berakhirnya rentang singkat yang dikenal sebagai “Masa berkuasa seratus hari”-nya Napoleon setelah kabur dari pembuangan di pulau Elba. Napoleon: cebol berkuasa. Seratus hari: seumur jagung, utak-atik gatuk yang lumayang yah?
Dan memang disebut apokaliptik sebab biasanya berujung pada ramalan berakhirnya zaman. Karena bagi yang terjajah, harapan apa lagi yang lebih menyenangkan selain keyakinan akan berakhirnya segala kebrengsekan hidup?
Tapi Takbir Akbar ini bukan dan sama sekali jauh dari kesan sastra apokaliptik. Bukan ramalan-ramalan oportunis, seperti para bijak bestari yang agar kukuh posisi berselamur mitos “ngerti sakdurunge winarah” lantas berujar-ujar dengan kalimat lepas makna konteks biar diartikan secara asosiatif oleh penyimak. Dan rasanya Takbir Akbar memang tidak diniatkan untuk meramal, walau ternyata banyak ketepatannya.
Mbah Nun bersyair, denting gamelan KiaiKanjeng menyambut, hentak menggembung, ayat dilantungkan, takbir syahdu, pekik harapan, sapaan menghardik waktu, kutukan yang romantis, suara Mbah Nun sendiri sudah musikal, mengandung nada-nada merdu namun entah bagaimana juga sedikit menakutkan. Dan tak ada bahasan soal hari akhir, namun persaksikanlah duhai pembaca yang tersayang, bagaimana kalimat-kalimat berbalut doa dan kalimat suci dan tentu saja, sayupan takbir itu benar-benar nyata terjadi saat ini.
Sampai pada titik ini saya ngeri sendiri, menyadari satu hal. Mengapa begitu banyak ketepatan sasaran kalimat Takbir Akbar pada tahun 2001 itu dengan kahanan zaman now ini? Apakah karena Mbah Nun cukup tajam pandangan batinnya? Atau (ini yang mengerikan) karena memang kita tidak berjalan ke mana-mana? Atau lebih menyeramkan lagi apabila kemungkinannya ternyata, kita bergerak, tapi merosot mundur. Kita terlalu pede menyatakan hidup pada era pasca jahiliah, padahal ternyata kita ini jahiliah aja belum. Bodoh aja belum.
Manusia bersikap dan bertindak-tanduk tanpa memiliki mental kesiapan menanggung konsekuensi logisnya “menabur api tidak siap kebakaran”, mau hidup tidak mau menikah, mau menikah tidak mau punya anak, mau punya anak tidak mau menyusui dan membiayai proses si anak. Menggaung-gaungkan bhinneka tunggal ika yang lahir dari budaya komunal tapi tidak mau bertoleransi pada tatanan sosial yang ketat. Mau memanen khilafah tapi tidak mau bersabar menyemai benih proses. Ini gimana sih sebenarnya kita ini?