Refleksi Bulan Pelatihan
Ada tiga fase pada bulan Ramadlan menurut Rasululullah Saw. Yaitu fase Rahmat, fase Maghfiroh (ampunan), dan yang terakhir itqun minannar (pembebasan dari neraka). Fase sepuluh hari pertama Ramadlan tahun ini sudah berlalu. Memasuki fase sepuluh hari kedua. Sabtu, 2 Juni 2018 Majelis Ilmu SabaMaiya kembali digelar. Saat ini sudah memasuki edisi ke-27 yang bertepatan juga dengan malam 17 Ramadhan 1439 H.
Bertepatan dengan nuzulul qur`an atau maulidurrasul di mana Al-Qur`an diturunkan. Dan dengan diangkatnya Kerasulan Kanjeng Nabi Muhammad Saw, maka SabaMaiya tetap berusaha mencari percikan cahaya-cahaya ilmu yang berpendar. Momentum di mana malaikat turun menjadi sebuah keberkahan tersendiri. Corong-corong masjid dan mushalla di sekitar lokasi juga terdengar lantunan tadarus Al-Qur`an. Di saat yang sama selepas shalat tarawih para dulur-dulur mulai merapat, kemudian nderes Al-Qur`an secara tartil terpimpin oleh mas Imas yang mengawali sesi acara.
Ini kali kedua SabaMaiya menempati tempat baru. Yaitu Rumah KrinkKronk yang berlokasi di Jl. Mayjend Bambang Sugeng Km. 4 Wonosobo. Tempat yang asyik dan nyaman sekaligus strategis. Karena terletak persis di depan Terminal Mendolo Wonosobo. Sesekali memang harus beradu dengan suara kendaraan yang melintas, suara knalpot motor-motor modifikasi yang kerap meramaikan jalanan di malam minggu. Entah touring maupun nongkrong-nongkrong di pusat kota. Namun hal itu tidak menjadi persoalan. Karena sejak bakda maghrib para penggiat sudah mengupayakan sound system sedemikian rupa supaya jamaah bisa terlena dari adanya gangguan suara-suara dari jalan raya.
Setelah nderes Al-Qur`an, jamaah bersama-sama menghadiahi Surat Al-Fatihah untuk Mbah Nun yang beberapa hari sebelumnya genap berusia 65 tahun masehi. Turut mensyukuri kebahagiaan bersama-sama karena dalam rentang hidup kita yang singkat ini, kita masih bisa berjodoh dengan sosok manusia, orang besar, guru, orang tua kita yaitu Muhammad Ainun Nadjib (Mbah Nun). Teriring doa semoga beliau panjang umur, tetap diberi kesehatan, berlimpah berkah dan tak pernah lelah menjadi penabur cahaya ilmu dan kegembiraan. Amin.
Sesi pertama berlanjut dengan penampilan dari Sanggar Jagad Kahyangan (SJK) dengan dipandu oleh kang Farhan. Tulisan Mbah Nun berjudul “Puasa kalau memang setan dipenjara” dibacakan dengan sangat epik. Nomor I’tiraf atau Ilahi Lastu yang digarap secara apik berselingan dengan lagu Tombo Ati. Nomor “Kelayung-layung” pun tak kalah asyik dan syahdu dengan aransemen khas akustik. Beberapa nomor shalawat seperti Ya Asyiqol Mustofa dan Rahman Ya Rahman membumbung dilantunkan.
Lantunan Shohibu Baity menghujam bagai hujan deras merasuk pada diri seluruh jamaah yang sudah hadir. Lampu utama diredupkan. Suasana khusyuk masuk berselingan dengan bait-bait Shohibu baity /Shohibu baity/ Ya shohibubaity/ Mursyidu imani/ Anta syamsyu qolby/ Qomaru fuady/ Ya shohibu baity/. Berlanjut sholawat burdah, “Ya Rabbi Bil mustofa” secara bersama-sama. Nuansa akan rindu Rasulullah pun semakin terasa dalam.
Bershalawat, itulah cara kita menghadirkan Allah dan Rasulullah. Sehingga lingkaran kebersamaan ini menjadi energi yang permanen. Kelak semua aspek kehidupan kita pada skala pribadi atau keluarga pasti akan terkena energi positif atas kehadiran itu.
Kang Farhan yang pada sesi awal memandu kemesraan dengan jamaah, lalu berganti posisi dengan Kang Ahmad untuk memandu sesi kedua. PUASALE yang menjadi tema SabaMaiya edisi kali berlahan-lahan mulai dielaborasi. Secara random jamaah dipersilahkan saling berbagi pandangan terkait tema.
Mas Zuhud memulai dengan sedikit memaparkan mukadimah Puasale. Berangkat dari Hadist Nabi SAW, “Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga”. Dari hadist itu seharusnya kita bisa memulai bertanya pada diri sendiri, apakah puasa kita termasuk puasanya orang-orang yang hanya mendapatkan rasa lapar dan dahaga.
Dalam istilah fiqih, puasa diartikan menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa (seperti makan dan minum) sejak terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari. Pada kenyataannya puasa tidak hanya sekadar seperti itu. Dalam urusan muamalah, Mbah Nun sering memberi gambaran tentang hal-hal yang harus digas dan direm. Dalam konteks ini berpuasa juga dapat dipahami sebagai sebuah proses ngerem apa saja yang kita senangi. Tidak hanya dalam urusan makan dan minum saja. Tetapi juga dalam kesenangan-kesenangan duniawi lainnya.
Namun saat ini puasa telah mengalami proses konotasi luar biasa. Hari ini puasa dimaknai sebatas menahan lapar dan minum saja. Puasa hanya dimaknai sebatas ritual menahan sementara makan dan minum untuk akhirnya nanti diluapkan ketika adzan maghrib tiba. Lebih lanjut, tidak sedikit dari kita yang melaksanakan puasa karena lebih tertarik oleh iming-iming berlipat gandanya amal sampai tujuh ratus kali lipat. Sehingga beribadah menjadi seperti dol-tinuku yang orientasinya hanya laba, laba dan laba. Dari itu akan muncul pertanyaan, “Terus puasa seperti apa dan bagaimana yang benar-benar bisa dinilai sebagai puasa? Nah diskusi malam ini kita nyicil untuk menemukan jawaban itu”. Tandas mas Zuhud memantik sinau bareng.