Refleksi Bulan Pelatihan
Kembali ke puasa. Malam hari ini, Ramadlan ini kita desain untuk menjadi nilai kebangkitan atau yang penting mendapatkan hikmah universal? Terserah kita akan menghimpun diri sebagai ummat manusia atau bangsa Indonesia. Atau sebagai ummat Islam atau sebagai apapun. Itu pilihan masing-masing. Tapi malam hari ini kita harus punya pilihan mau shiyam atau shaum. Minimal kita dapat shaum, syukur-syukur dapat shiyam.
Sambil diskusi terus berlangsung, teman-teman SJK tampil kembali memberikan jeda dan menyegarkan suasana dengan perform Wayang Wong. Dilanjutkan mas Dedi Kelana yang ikut membacakan puisi Kado Muhammad dengan apik.
Tanggapan dan respons-respons bermunculan dari para jamaah, terkait puasa sampai pemaknaan idul fitri. Bahkan sebuah ‘curhat’ dari jamaah menambah kegembiraan dan kehangatan suasana. “Sering kita mendapat ceramah bahwa semua perilaku kebaikan orang berpuasa itu adalah pahala, bahkan sampai tidurnya orang berpuasa pun menjadi pahala. Lalu ketika mulut yang berbicara baik dan selalu bertasbih maka doa-doanya akan terkabul. Benarkah seperti itu adanya?”. Sebuah pertanyaan dari salah satu jamaah.
“Mandhi donga dudu sangka pasa tapi sangka benere laku. Cara dari laku yang benar, ya salah satunya dengan tirakat berupa berpuasa. Atau lebih dalam lagi seperti yang disampaikan Mbah Nun bahwa Landhepe donga saka beninge ati”. Gus Jay langsung merespons.
Lebih lanjut Gus Jay menyitir sebuah hadits Nabi, “Sungguh bau mulut orang puasa itu lebih wangi menurut Allah daripada bau misik”. Hadist ini menjadi bahan refleksi bersama agar setiap laku dan perkataan untuk selalu berhati hati. Karena mulut orang yang berpuasa itu pada dasarnya adalah bau. Sehingga saat berpuasa kita diharapkan untuk tidak banyak mengeluarkan abab dari mulut. Jangan banyak bicara. Lebih banyak menahan untuk tidak bicara. Atau kalaupun harus berbicara, bicaralah yang baik.
Mengutip kalimat Mbah Nun di Tetes, “Puasa itu mata pelajaran ataukah mata ujian bagi yang menjalankannya? Kalau pelajaran, para pelakunya berpindah dari belum tahu menuju tahu. Kalau ujian, dari belum bisa menjadi bisa, dari belum mau menjadi mau. Kita menyangka ber-shiyam 30 hari Ramadlan itu keberhasilan. Padahal ia baru tahap kelas-kelas bersekolah sebelum berjuang dalam kehidupan. Ia input. Output-nya adalah ketika kita sudah pandai dan ikhlas ber-shoum: yakni mempuasai, menahan diri, membatasi dan mengendalikan sangat banyak hal dalam praktik kehidupan nyata. Dan medannya justru bukan satu bulan, melainkan sepanjang usia.”
Rasulullah Saw menyebutkan bahwa bulan Ramadlan itu sebagai bulan latihan. Berbicara tentang latihan tentu ada tujuan dari pelatihan itu. Tujuan dari latihan adalah terjadinya perubahan tingkah laku, yang mana perubahan tingkah laku itu dipraktikkan pada sebelas bulan setelah bulan Ramadlan. Perubahan tingkah laku sebagai hasil dari latihan puasa itu dirumuskan dan dipadatkan dalam satu kata “tattaqun” (kalian bertakwa). Menurut Mbah Ahmad Fuad Effendi (Cak Fuad), digunakannya verba “tattaqun” dan bukan nomina “muttaqun” menunjukkan bahwa takwa adalah sebuah proses yang dinamis dan tidak pernah berhenti sepanjang hidup. Ijazah lulusan latihan Ramadlan tidak diberikan oleh lembaga apapun dalam secarik kertas atau gelar. Tapi diberikan oleh masyarakat setelah melihat sikap dan tingkah lakunya.
Lebih lanjut makna tattaqun dijabarkan menjadi dua. Yaitu (1) meningkatnya kepekaan spiritual atau menjadi lebih dekat kepada Allah, dan (2) meningkatnya kepekaan sosial atau menjadi lebih dekat kepada sesama manusia dan makhluk Allah lainnya. Karena keduanya saling berkaitan maka dapat dirumuskan dalam satu kalimat. Yaitu “Semakin kuatnya kepekaan spiritual dan kepekaan sosial dan semakin eratnya jalinan hablun minallah dan hablun minannas di dalam diri lulusan pelatihan Ramadlan”.
Menjelang akhir acara, Mas Ari yang untuk kali kedua hadir di SabaMaiya ikut berbagi pengalaman dan perjalanannya sampai berjodoh dengan Mbah Nun dan Maiyah. Ya, sebuah perjalanan dan perjodohan yang merupakan anugerah luar bisa dari Tuhan yang juga dirasakan oleh banyak teman-teman Jamaah Maiyah di berbagai daerah. “Pemaknaan puasa dan pemaknaan Idul Fitri itu sebenarnya bisa dijawab dan dirasakan sendiri oleh masing masing pribadi. Seberapa pantas dan tidaknya bisa dijawab oleh diri kita sendiri”, tutup Mas Ari singkat.
Tak terasa jarum jam sudah menunjuk pukul 02.20. SabaMaiya dipungkasi dengan doa Khatmil Qur`an bersama-sama dengan dipimpin oleh Gus Jay. Kemudian diakhiri dengan bersalam-salaman dengan diiringi tembang “PadhangMbulan” menemani pancaran cahaya rembulan malam itu. Semoga kita semua mendapat barakah dan syafaat Al-Qur`an, di mana para malaikat turun berbondong-bondong mengamini doa kita semua. (Khusni)