Refleksi Bulan Pelatihan
“Puasa tidak hanya dilakukan oleh manusia saja, bahkan hewan juga berpuasa, hanya saja dengan kadar ukuran dan posisi masing-masing”, urun Gusblero yang pada malam ini hadir di SabaMaiya. Kemudian beliau bercerita tentang pengamatannya terhadap semut-semut di rumahnya. “Mungkin teman-teman sempat memperhatikan, beberapa waktu lalu betapa semut rasanya ada di mana-mana, bahkan yang namanya sambel garing aja disemuti. Nasi takir disemuti. Sayur sop disemuti. Apalagi jajan pasar. Awal-awal Ramadlan saya masih menyempat-nyempatkan segala macam sisa makanan untuk dimasukkan ke kulkas. Tempe kemul, pisang goreng, sambel urap, semuanya masuk, takut disemuti. Hingga suatu ketika saya lupa menjalankan ritual itu, dan sudah sedikit panik takutnya bekal buat berbuka jadi berantakan gegara semut menyerbu. Tetapi yang saya dapati tak terduga. Ikan salem siap saji di meja yang bahkan lupa saya tutupi tersebut benar-benar steril dari jarahan semut. Tidak berhenti di situ, saya coba menyelidik. Sekumpulan semut saya dapati berkumpul di dekat toples, tapi aneh mereka kok tidak menjarah makanan-makanan yang tersaji di meja seperti selama ini mereka lakukan? inilah yang menjadi satu kesimpulan bahwa semutpun berpuasa.”
Kang Farhan menyusuli kisah itu dengan sharing mengenai beberapa puasa yang dilakukan orang Jawa. Misal puasa ngrowot, puasa pati geni, puasa mutih dan puasa-puasa yang lain, yang sebelumnya dijabarkan dalam pandangan fiqih. Menyambung dari elaborasi Kang Farhan, Mas Majid turut rembug mengenai puasa, mengawali dengan doa tawassul khusus jasad kita agar dalam paseduluran terus bersambung.
“Puasa itu untuk pembelajaran kita, keseharian kita yang sawang sinawang untuk saling menghormati. Serta belajar olah roso bahwa Gusti Allah mempunyai keajaiban keajaiban lewat hal apapun. Sungguh Tuhan Maha Asyik! Dan puncak dari puasa yang dirasakan adalah bagaimana kita merasakan kebersamaaan kita kepada Allah dan Rasulullah. Serta menjadi ajang latihan untuk meminimalisir kebiasaaan diri kita terhadap kadunyan (keduniaan)”, ungkap mas Majid.
Menyela sesi diskusi, Ananda Cici dari SJK membawakan puisinya Mbah Nun yang berjudul Puasa Barat dan Utara. Seusai pembacaan puisi, menambah kegembiraan dan kemeriahan, nomor Suket Teki ditembangkan atas request dari para jamaah.
Menjelang tengah malam, Gus Jay menyambung dengan membacakan 5 (lima) puisi karya beliau. Ramadlan, Kalau Allah Memerdekakanku, Puasa Menuju Fitri, Beda THR Beda Pula Zakat, dan Sungkemku Lebaran Ini adalah judul dari kelima puisi itu.
Ramadlan…
Maaf! Kami hanya pura-pura rindu padamu
Kami pernah bilang “akan sekuat daya memanfaatkanmu”
Itu hanya isapan jempol. Lihatlah, kami tak lagi memadati masjid untuk tarawih
Kami pernah bilang ”kami takkan menyia-nyiakanmu”
Itu Cuma jauh panggang dari api, kami justru asyik wira-wiri menyiapkan
Idul Fitri yang entah kami pantas atau tidak kami merayakannya
Maafkan kami pura-pura menyambutmu
Kami pernah berucap ”Ramadlan ini harus lebih produktif”
Itu hanya Khayalan, kami justru menghabiskan waktu untuk tetap tertidur di atas dipan menanti adzan.
“Semua itu tadi saya sedang menguliti dan mengelupasi diri saya pribadi”, tutur Gus Jay menutup puisinya dengan disambut tepuk tangan jamaah.
“Terkadang memaknai puasa hanya mendasar pada makan, padahal di atas itu masih ada iman. Tetapi tidak apa-apa, puasa itu penghambaan. Namanya saja berproses. Berjalan setapak demi setapak tak mengapa agar tak ‘kecengklak’. Sebab diri kita ini berproses dan masih pada tahap upgrade.” Gus Jay mengawali pandangannya tentang puasa.
Menemukan makna dan rasa dari puasa seseorang itu berbeda-beda. Puasa juga ada tingkatan-tingkatannya. Kalau ukuran berpuasa itu tidak makan dan minum sudah cukup, itu berarti tingkatan puasanya anak-anak. Ketika sudah memasuki dewasa seharusnya kita mulai memahami bahwa puasa merupakan kendali diri. Masa sih udah gede puasanya masih hanya digoda oleh makanan dan minuman? Harusnya dengan yang lebih besar daripada itu. Entah itu ghibah di dunia nyata atau ghibah di sosial media, stimulus seksual, atau yang lain. Ketika berpuasa kita merasakan penyatuan jiwa, lepas dari materi kita sendiri. Puasa yang dewasa adalah puasa yang memahami antimateri kita sendiri.
Mbah Nun pernah memberikan pemahaman tentang puasa, “Terserah Anda apakah Ramadhan ini Anda pakai untuk shaum atau shiyam. Kalau untuk shaum, yang penting Anda mendapatkan nilai-nilai puasa secara universal. Tapi kalau Ramadlan Anda pakai untuk pergerakan shiyam, maka Anda menyepakati ada satu prinsip-prinsip nilai yang akan Anda tegakkan bersama-sama. Kalau bahasa Jawa memilih menggunakan kata shiyam dalam penyebutan puasa.”