Rayahan Salah
Ada sebuah ilustrasi kecil, cerita ringan dalam sebuah keluarga.
Sore itu, seorang suami baru saja tiba di rumah. Di ruang tamu ia duduk. Ia lepas sepatunya. Ia lepaskan pula kaitan baju yang mengikat kancingnya. Lalu, ia lepas bajunya. Tinggallah kini, kaos singlet tipis yang tampak mulai menganga lubang di sana-sini. Mungkin, karena saking seringnya kaos singlet itu dicuci, sehingga rapuh pula kainnya. Mungkin juga ada tikus yang usil ikut menorehkan sejarah pada kaos singlet itu. Ya, semua serba mungkin. Tetapi, ada baiknya kita lupakan kaos bolong itu. Sejenak kita tatap wajah sang suami itu.
Ya, wajahnya, sore itu, tampak mengkilap. Seperti sehabis mencuci muka dengan minyak kelapa. Kinclong. Kelopak matanya tampak menebal, sehingga tampak seolah-olah berat ia membuka matanya lebar-lebar.
Lantas, seperti adegan drama yang konvensional, sang suami ini mengarahkan tatapan matanya pada meja. Meja itu masih bersih. Belum ada satu pun yang tersaji. Bahkan secangkir teh hangat pun tak nampak oleh pandangannya.
Sejenak ia menghela napas. Lalu ia edarkan pandang matanya ke arah warung depan rumah. Orang-orang masih tampak berjejal di sana. Mengantre untuk tunggu giliran. Ada yang menunggu dilayani, ada yang menunggu uang kembalian. Ada pula yang sibuk milih-milih barang yang mau dibeli.
Tak cukup kata sudah bagi sang suami. Ia tak sampai hati menyuruh istrinya untuk membuatkan secangkir teh hangat. Segera ia bangkit dari duduknya, menuju dapur. Menyeduh teh hangat untuk ia sendiri.
Tak berselang lama, sang istri menyusul. Lalu berkata, “Loh, nembe wae arep tak gawekne, eeeh jebul Bapak wis gawe dhewe.”
“Lha, ngarep kayane iseh rame kok Mak. Mending tak gawe dhewe wae,” ucap sang suami diikuti satu seruputan teh hangat. “Lha pernahe wis lega po, Mak?”
“Iya, Pak. Dek mau rame. Alhamdulillah,” ucap sang istri dihias sunggingan senyum yang menawan.
Tak kuasa melihat senyuman itu, sang suami berkata, “Mak, kayane kok sampeyan kudu melu kesel. Kudune kan ya ora sih. Wong mesthine sing kesel kuwi cukup aku, sampeyan kudune cukup ngopeni omah lan bocah-bocah. Eh… lha kok malah melu ngopeni liyane. Ngapurane ya, Mak.”
Sang istri tersenyum. Ia merasa iba mendengar ucapan itu. Tak semestinya ucapan itu terdengarkan. Sebab, itu akan membuatnya merasa ada rasa salah, sekalipun secuil. Apa yang ia lakukan, semata-mata sebagai rasa hormatnya kepada suami tercinta. Tak lebih. Bukan untuk menyinggung perasaan suaminya yang penghasilannya masih pas-pasan. Tidak ada niat seperti itu. Sama sekali tidak.
Dengan suara lembutnya, sang istri lantas berkata, “Pak… Pak, sampeyan kuwi ora salah malah njaluk ngapura. Mesthine aku sing njaluk ngapura. Kaya-kayane kok aku kuwi ora duwe rasa syukur lan ora duwe rasa maturnuwun marang Bapak sing wis keraya-raya makarya. Lamun duwite cupen, mesthine kaya aku iki ya bisa ngecakke sing kira-kira bisa dipernahke. Lha, kok malah aku melu ngriwuhi sampeyan. Melu luru duwit, luru pangan. Padalo, kabeh wis cukup, Pak. Wis cukup. Tapi, aku malah melu dodolan.”
“Senajan kaya kuwi, aku sing tetep salah, Mak. Aku durung becus ngurus kebutuhan. Njur akhire, sampeyan melu tandang,” seloroh sang suami.
“Wis to, Pak… rasah dipikir. Aja digawe abot. Nek awake dhewe kuwi pancen kudu kaya iki, aku lila kok Pak nglakoni apa sing bisa tak lakoni. Saiki, awake dhewe kuwi mikir anak, Pak. Awake dhewe wis ora bisa mikirke nggo butuhe dhewe tok. Tapi, ya butuhe anak kuwi luwih penting,” ucap istrinya.
Alangkah, ucapan itu membuatnya terdiam. Tak cukup kata-kata lagi untuk diucapkan. Kata-kata tak cukup mampu menampung kenyataan. Hidup yang serba terbatas, membuat ia dan istrinya harus saling maklum. Saling memberi peluang untuk berperan. Saling memberi kesempatan untuk mengisi kekosongan, agar yang lowong ini terisi dan menjadilah kelonggaran-kelonggaran batin.
Di sinilah sesungguhnya, praktik segala definisi-definisi yang terkadang mengurung gerak ke dalam kata-kata. Istilah-istilah, seperti andhap asor, tepa slira, narima ing pandhum, wani ngalah dan seterusnya, menjadi kerangkeng bagi langkah nyata manakala ia masih diperdebatkan di ruang kata-kata. Diskusi yang tak menemukan jalan keluar, lantaran segala pengertian dibatasi nalar tetapi tak cukup memberi ruang cara pandang dan pikiran untuk menemukan ruang gerak. Malah, tak jarang pula diskusi itu justru terhambat oleh waktu yang selalu ditagih pelunasannya.
Di lain hal, ilustrasi yang terbangun dari ruang nyata itu juga terbentur oleh kegaduhan sinetronistik. Alih-alih menikmati kegaduhan itu, kita malah terjebak ke dalam dunia gaduh itu. Manusia sibuk dengan drama adu domba yang entah siapa sutradaranya. Manusia berebut benar, tetapi lupa menemukan kebenaran-kebenaran. Lupa memberi peluang bagi kebaikan-kebaikan untuk muncul ke permukaan.
Itulah mengapa, pada edisi September 2018 ini, Majelis Masyarakat Maiyah Suluk Pesisiran berupaya menggali lagi kekayaan-kekayaan tersebut lewat kerelaan tiap individu untuk ikut “Rayahan Salah”. Berebut merasa atau menemukan kesalahan-kesalahan pada diri. Bahwa diri pada tiap insan adalah tempat bagi segala kesalahan. Yang salah, tentu bukan orang lain, melainkan diri kita sendiri.
“Rayahan Salah” diharapkan pula akan menjadi formula peredam “Rayahan Bener” yang dipraktikkan sebagai adegan pengakuan diri sebagai pribadi yang selalu benar. Lalu, mengesampingkan atau bahkan mengalienasi kebenaran-kebenaran lain yang mungkin tidak pernah kita sentuh. Tak pelak kemudian, segala pertikaian pun muncul ke permukaan. Dan seretan konflik ini berimbas pada ketidakpercayaan satu sama lain. Saling fitnah dan saling menghinakan.