CakNun.com

Purifikasi Bersih Dusun, Intellectual Jihad Sinau Bareng

Reportase Sinau Bareng CNKK di Dusun Kenayan, Widomartani, Ngemplak, Sleman, 10 Juli 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 6 menit

Suatu hal yang mirip dengan yang dikemukakan oleh Prof Tariq Ramadan sebagai intellectual jihad dalam melawan cultural colonialism. Prof Tariq Ramadan, cucu Hassan Al Banna ini belakangan sedang kena kasus tuduhan pelecehan seksual. Entah bagaimana kebenarannya, tapi rasanya kuliah-kuliahnya bisa kita ambil hikmah.

Intellectual jihad atau pembebasan intelektual dirasa perlu karena kita hidup di bawah penjajahan kultural. Yaitu kondisi di mana manusia yang teralienasi berpikir dengan cara pikir yang bukan dirinya. Bahkan cara memahami identitas dan budayanya sendiri. Senada dengan pesan untuk selalu tadabbur Qur`an, Prof Ramadan bilang “use qur’an, use qur’an to answer but in the way they can understand”. Anda tidak perlu betul-betul paham makna kata per katanya, anda punya akal dalam hati. Siapapun yang mengajari anda bahwa untuk menggapai Qur`an harus dan wajib menguasai kitab dan ilmu tertentu, sebenarnya sedang ingin menguasai cara berpikir anda. Sedang menciptakan relasi kuasa baru di mana anda lagi-lagi adalah yang paling teralienasi. Tapi anda harus kaya akan data, posisi dalam belajar segala sesuatu itu ditegaskan dulu.

Sejarawan Michael Laffan tidak bisa memastikan bahwa Wali Songo benar-benar terbukti secara historis. Teks-teks tentang Wali Songo kebanyakan di(re)produksi saat era kolonial dan orientalis katanya. Namun dalam peresapannya selama di negeri ini, dia tidak bisa menyangkal bahwa Wali Songo itu hidup dalam sanubari manusia Nusantara. Jadi, Wali Songo ada atau tidak?

Bagi kesadaran sejarah manusia desa, tidak penting betul ada atau tidaknya sosok itu dalam sejarah. Bisa saja tidak pernah lahir atau belum lahir, jadi kita coba lahirkan sosok-sosok itu di masa ini.

Mbah Nun ‘melantik’ Wali Songo versi Sinau Bareng malam itu. Sembilan orang dari berbagai asal, latar belakang, pendidikan dan gender diajak merembuk segala persoalan keummatan. Satu tugas yang dalam sejarah versi kita adalah tugas majelis Wali Songo.

Pada zaman ini, kita semua adalah hasil hibrida kebudayaan-kebudayaan dunia. Nusantara mungkin bukan sekadar nama lokasi atau istilah untuk intertribal, masih banyak kemungkinan pemaknaan lain. Hanya sayangnya kita belum pernah benar-benar ikut mewarnai definisi tentang diri kita sendiri itu.

Bisa saja Nusantara seperti Maiyah. Ada lingkar-lingkar di berbagai wilayah yang tidak mengikat. Saya yang lebih sering di MS tidak berkeberatan. Jadi lingkar diskusi Martabat sesekali. Ke NM kapan-kapan. Jadi jamaah Gambang Syafaat saat sedang gabung. Jadi bagian dari ReLegi waktu di Malang. Jadi orang Jemparing Asih, Kenduri Cinta dan Masuisani di Bali saya masih cita-citakan. Di luar itu, semuanya dinamis ikut ke pengajian HTI, nlusup-nlusup ke NII, malamnya sholawatan di NU, diskusi ke Muhammadiyah. Oh iya, tidak jauh dari lokasi Sinau Bareng malam ini beberapa tahun lalu saya pernah diajak ke komunitas Hindu Kresna. Pendetanya namanya Pak Budi.

Beda dengan Pak Budi yang datang malam itu di Sinau Bareng, beliau seorang tionghoa peranakan, dan ikut menyumbang permainan Erhu. Celotehan Nusantara ndeso mungkin liar tapi tidak pernah merendahkan. Mbah Nun bertanya. “Erhu, ngerti Erhu ki opo?” Bapak-bapak KiaiKanjeng menyahut “Rebab Cinooo…”. Pak Budi yang Protestan dan (tampaknya) dididik dengan disiplin Kong Hu Cu yang ketat sampai tertawa.

Gamelan KiaiKanjeng, sabetan pendekar biola Pak Blotong bersahutan dengan Erhu Pak Budi. Awalnya agak canggung, kemudian saling menemukan titik harmoninya.

Butuh waktu hingga simfoni terbentuk, Tombo Ati mengalun. Mbah Nun melengkapi dengan versi bahasa Padang. Barusan memang ada penanya seorang mahasiswi yang mengutip “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah”.

Kaum muslim punya sifat dasar yang bisa menikmati adat, tradisi dan budaya di manapun tanpa larut jadi sekadar pelestari pasif. Melainkan jadi pelaku sejarah, budaya dan tradisi yang ikut membentuk kebudayaan itu sendiri. Nusantara bukan konsep beku, dia adalah selalu kemampuan menjadi ruang yang menampung, membentuk, menggumpal namun tidak statis biarpun sudah diklaim-klaim oleh statisnya nation-state. Siapapun yang berani mengklaim dan membekukan ke-Nusantara-an, sungguh para leluhur tidak akan diam saja. Baik leluhur di masa lalu, maupun leluhur yang ke depannya akan dilahirkan dari generasi-generasi kebersamaan, Maiyah.

Lainnya

Exit mobile version