Purifikasi Bersih Dusun, Intellectual Jihad Sinau Bareng
Islam dan Nusantara sudah seperti botol dan tutupnya. Seperti gula dan rasa manisnya. Karenanya ideologisasi jargonistik semacam “Inilah botol berpenutup” atau “Gula yang manis” rasanya hampir tidak perlu diucap-ucap dan digaungkan. Namun pada era di mana hak paten tutup botol sedunia dipegang oleh satu perusahaan sendiri, tampaknya jebakan untuk menggaungkan “Botol berpenutup” selalu saja terjadi. Analogi tinggal analogi, semua analogi ada celahnya.
Bersih Desa yang diadakan di Dusun Kenayan Wedomartani Ngemplak ini apakah sekadar karena memang sedang trend mengangkat kembali budaya lokal? Kalau sekadar mau seperti itu, rasanya tidak usah menggelar Sinau Bareng. Lakukan saja ritual yang sudah berlangsung berdekade-dekade itu, megah-megahkan sedikit, dapat jatah DANAIS mungkin dan bisa setelahnya bangga berkata “Aku orang Jawa”.
Tapi kan Sinau Bareng tidak sekadar itu. Kalau hanya trend, pemuda-pemuda di berbagai belahan dunia juga sedang menggaungkannya. Cukup mudah melihat gerakan kaum muda Hollywood pulang kampung kalau kita perhatikan perkembangan film US beberapa tahun terakhir. Isu keresahan orang desa, perasaan termarjinalkan, hilangnya generasi tani dan peternak, kegamangan di tengah serbuan era digital, bank-bank kecil yang terancam ekonomi bebas, dan banyak lainnya. Film semacam Logan Lucky, Hell or High Water, Lady Bird dan sejenisnya bisa jadi sinyal yang kuat.
Faun dan Wardruna, dua band berisikan anak-anak muda yang kembali menggali budaya Scandinavian di Eropa belum lama ini sempat menggelar konser dengan konsep persembahan bagi dewa-dewa mereka yang, bukan saja terlupakan (serius, terlupakan mah mending banget), tapi justru selama puluhan tahun jadi bahan jualan industri hiburan.
Lagu persembahan untuk Odin, mereka gali dan selipkan beberapa bait dari naskah kuno yang hampir usang, Havamal. Coba dibaca kalau tidak kepeleset lidah:
Veit ek, at ek hekk //Vindga meiði á //Nætr allar níu //Geiri undaðr //Ok gefinn Óðni //Sjalfr sjalfum mér //á þeim meiði //Er manngi veit //Hvers af rótum renn
Við hleifi mik sældu //Né við hornigi //Nýsta ek niðr //Nam ek upp rúnar //æpandi nam //Fell ek aftr þaðan
Veistu, hvé rísta skal? //Veistu, hvé ráða skal? //Veistu, hvé fáa skal? //Veistu, hvé freista skal? //Veistu, hvé biðja skal? //Veistu, hvé blóta skal? //Veistu, hvé senda skal? //Veistu, hvé sóa skal?
Tenang, saya juga tidak hapal. Ini copas dari web. Ini lirik yang menggambarkan penderitaan Odin ketika tergantung di pohon semesta Yggdrasill. Tuhan-tuhan lama yang telah renta kembali dibangkitkan. Apakah resik desa hanya trend semacam itu? Walau begitu juga tidak buruk-buruk amat mungkin. Tapi, masa cuma segitu?
Perlawanan kebudayaan sedang terjadi di mana-mana, meminjam istilah Asef Bayat “revolution without revolutionaries” revolusi tanpa komrad-komrad ideologi. Letupan-letupan kecil dari generasi ini, yang berasal dari kejenuhan terhadap monokultur budaya dominan yang tidak mewakili siapa-siapa selain kepentingan dari kepentingan itu sendiri. Kita mungkin kadang lupa, bahwa orang-orang kolonial yang datang ke sini beberapa abad hingga beberapa dekade lalu, banyak dari mereka juga adalah orang-orang desa. Mereka juga, resah.
“What it would look like in the post american world?” kata lagunya Megadeth, yang beberapa waktu ke depan akan konser di Yogyakarta. Nasionalisme kita, adalah racikan impor yang bahan dasarnya: semangat dekolonisasi Amrik, bentuk nation-state Eropa yang sedang dalam ancaman NAZI dan berhasil menelusup ke pedalaman pedesaan atas kemesraan NIPPON dengan kaum agamawan. Nasionalisme kita saja impor sebenarnya.
Hanya kelebihan kita, kita mampu meracik. Bukan sekadar mengawinkan nama ini plus nama budaya itu supaya diterima. Kawin-kawinkan nama supaya ajaran bisa diterima, sudah ribuan tahun taktik itu. Caesar pun memakainya dengan menjadikan Jupiter ditambahi Ra, jadi Jupiter Ra supaya bisa masuk Alexandria, Mesir. Masa kita juga begitu?
“Hanya di desa ada ritual bersih desa, karena kesadarannya kita tidak pernah benar-benar bersih. Kota dan negara, tidak ada. Tidak ada bersih kota, apalagi bersih negara. Di sana semua orang merasa bersih. Di sini kita tahu, kita butuh berwudhu.”
Begitu kira-kira ajakan Mbah Nun di hadapan warga, para JM serta sesepuh dan Sohibul Bayt Dusun Kenayan. Di sini kita lihat, langkah Sinau Bareng bukan sekadar meneruskan tradisi tapi memaknai kembali tradisi yang sudah sering dilakukan. Bersih Desa menemukan makna kontekstualnya. Warga, manusia, tidak jadi sekadar objek pelaksana tradisi dan kebudayaan, tapi juga diajak untuk jadi subjek yang membentuk tradisi, menciptakan makna dan menemukan kebaruan dari leluhur. Segala sesuatu ada sanad dan nasabnya, pada era ini hampir tak ada cita rasa spiritual yang murni. Bersih desa dalam Sinau Bareng, dimaknai sebagai usaha mensucikan diri dari polusi-polusi peradaban.