Presisi adalah Kunci
Belum lama ini, baru saja saya menyelesaikan kursus nyetir mobil di sebuah Lembaga Pelatihan Mengemudi di kawasan Gemolong, Sragen. Jujur saya agak malu. Masak sudah mau punya anak, baru latihan nyetir mobil. Telat sih. Mestinya sejak lulus SMA dulu sudah latihan nyupir. Tapi mau nyupir mobilnya siapa? Lha wong punya motor butut satu saja sudah Alhamdulillah. Dan ungkapan pepatah; terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali, meneguhkan niat saya untuk serius belajar mengemudi kendaraan roda empat.
Bagi pemula, modal pertama berkendara ialah memahami teknik dasar (basic start) dalam mengemudi. Mengenal setiap bagian dan fungsi masing-masing piranti dalam mobil. Mulai dari setir, kopling, gas, rem, persneling, hand rem, lampu sein, wiper, dll. Sesudah paham, tahap berikutnya yakni mengoperasikannya. Awalnya memang agak kaku. Antara menginjak pedal kopling, rem dan gas belum bisa seimbang. Kalau gas terlalu diinjak, kopling telat diangkat maka mobil akan mbenger. Nger-ngeeer. Mobil tidak jalan.
Sebaliknya, jika kopling sudah dilepas tapi gas tidak diinjak, maka mobil akan makglek glek glek glek, mesin bisa mendadak mati. Begitu juga pada kasus pengoperasian rem dan kopling. Intinya, gerakan atau pijakan kaki pada pedal gas, rem, dan kopling harus seimbang. Latihan demi latihan, akhirnya membuat saya semakin lancar menjalankan mobil di jalanan. Rumus iso mergo kulino, bisa karena biasa (practice make perfect) itu berlaku.
Setelah beberapa kali latihan, PR terbesar saya ialah melatih keseimbangan saat berkendara. Yaitu memposisikan badan mobil agar stabil dalam lajurnya. Tidak goyang. Tidak montang-manting ke kiri atau ke kanan. Laju mobil mesti tenang, baik dalam kondisi kendaraan pelan maupun kencang.
“Kenapa mobil mesti melaju tenang dan anteng mas?” tanya saya.
“Kalau ndak anteng, bahaya mas. Bahaya buat njenengan sendiri dan pengendara lain,” jawab si trainer.
Bahaya. Kenapa bahaya? Karena jalan raya itu milik umum. Terdapat banyak macam kendaraan yang lalu lalang di sana. Karena milik umum, maka ada aturannya. Baik aturan tertulis maupun tidak tertulis. Peraturan tertulis bisa berupa rambu-rambu lalu lintas yang terpampang di sepanjang jalan. Sedangkan peraturan tak tertulis yakni etika atau kesadaran tertib berkendara.
Etika berkendara ini salah satunya akan kita dapatkan saat proses pembuatan SIM (Surat Izin Mengemudi). Peraturan-peraturan tersebut tidak lain berfungsi agar saat kita berkendara merasa aman, nyaman, sehingga lalu lintas kendaraan di jalan raya dapat berjalan lancar.
Belajar Presisi
PR terbesar saya harus segera dipecahkan. Diatasi dan dicarikan solusi. Apa solusinya? Saat sedang memegang setir mobil, spontan saya teringat pada satu kata. Kata yang sering dibahas dan dikupas dalam diskusi Maiyahan. Kerap disinggung dan diwanti-wanti oleh Mbah Nun. Satu kata kunci itu adalah presisi.
Mbah Nun berpandangan bahwa presisi adalah ketepatan diri dalam melihat, membaca, bereaksi dan bersikap atas segala sesuatu yang terjadi. Dan Allah itu sendiri sebenarnya Maha Presisi (Al-Hakim). Maksud dari sifat Hakim-Nya Allah adalah seperti ujung jarum yang paling mampu menembus kain. Hakim adalah kemampuan melihat secara lembut terhadap posisi paling adil dan ideal. Dan ilmu presisi ini tak bisa diformalkan. Ia harus dicari terus-menerus secara dinamis tanpa henti.
Dengan bermodal keyakinan dan Bismillah, saya terus mencari letak presisi (kepresisian) saat mengemudi. Dan pelan-pelan mulai saya temukan. Di mana kepresisian itu lahir dari beberapa faktor. Yakni niat baik, passion yang kuat, pikiran yang tenang, ketangkasan dan feeling yang bagus. Kesemua itu bersinergi, yang kemudian memunculkan kepekaan, kecermatan, serta keakuratan.
Selain itu presisi juga berpasangan dengan keseimbangan. Tidak miring, tidak serong. Taat pada titik koordinat. Pada momen di mana kita mampu menjalankan kendaraan dengan stabil dan seimbang, maka hal itu menjadi nilai presisi terbaik dari seorang pengemudi. Dan perlu diingat, sikap presisi akan terus meningkat seiring dengan pembiasaan (kontinuitas), pengasahan dan frekuensi jam terbang.
Dari pengalaman belajar mengemudi ini, satu kesimpulan penting berhasil saya catat. Bahwa ilmu presisi (ketepatan diri) itu sejatinya ilmu global. Ilmu yang dapat ditrap dan terapkan di semua lini kehidupan. Dalam segala bidang dan pekerjaan. Dalam urusan pribadi (keluarga) maupun bebrayan (sosial kemasyarakatan). Dengan tahu presisi, bertindak tepat, maka kita telah berupaya mengurangi resiko ‘kecelakaan’, serta turut menciptakan keamanan dan keselamatan satu sama lain.
Dan sampai saat ini, saya masih terus belajar presisi (ketepatan) dalam menyetir mobil. Dibarengi pula upaya diri menyetir pikiran, logika, jempol jari, komentar, kata hati, tindak-tanduk perbuatan dan keputusan-keputusan agar tak salah jalan, dan semoga selamat sampai tujuan.
Gemolong, 25 Agustus 2018