CakNun.com

Prasmanan Ilmu untuk Generasi Pribumi Digital

Reportase Sinau Bareng CNKK di Dusun Santren, Muntilan, 7 September 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 11 menit

Sugih Sudut Pandang Melihat Data, Menggapai Pengabdian ‘Abdan Nabiyya

Mbah Nun membabarkan bahwa ada dua golongan Nabi berdasarkan kriteria kekuasaan duniawinya. Yakni Mulkan Nabiyya yaitu Nabi-nabi yang juga raja atau pejabat seperti Dawud a.s, Sulaiman a.s, Yusuf a.s dan lainnya. Sedangkan Muhammad Saw memilih diri sebagai ‘Abdan Nabiyya yakni Nabi yang jelata. Bukankah ini adalah mesti berdasarkan elaborasi kebijaksanaan presisi pandang Muhammad Saw sehingga memilih begitu? Sebab, tawaran untuk menjadi penguasa ekosospol dunia, memang sengaja ditolak oleh beliau.

Dari sini Mbah Nun memberi satu contoh pembacaan data “wong ngarani Rosul itu bojone akeh datane seko ndi?”. Ada detail pembacaan data sejarah di situ. Kita memang mewarisi mental baca sejarah berdasarkan narasi yang sudah ada dan kita reproduksi terus menerus. Bisakah kita bayangkan, kitab yang diproduksi di abad sembilan sampai sepuluh yang mencoba menggali sejarah masa hidup Muhammad Saw, masih saja direproduksi tanpa dibedah keutuhan-keutuhannya?

Mbah Nun juga bukan memberi kepastian, tapi bahwa ini adalah pembacaan data sejarah versi Mbah Nun. Dalam bahasa akademis itu artinya, Mbah Nun mengajak kita untuk lebih luas dan punya kelengakapan sudut, sisi dan jarak pandang dalam melihat data sejarah.

Kata siapa data sejarah tidak bisa berubah? Ilmu sejarah berdasarkan data, bukan sekedar fakta. Semua akademisi sejarah tahu bahwa kita tidak tahu apapun soal fakta. Kita hanya mengkaji data. Dan data bergantung pada temuan di zaman tertentu. Seperti data sejarah mengenai kehidupan di sekitar Judea sejak sebelum (yang dipercaya) kelahiran Isa a.s justru baru ketemu di tahun 1946 Masehi, maka pembacaan pun mengalami perombakan dan itu, lagi-lagi wajar.

Ketika pemerintah Hindia-Belanda pada awal 1900-an (mungkin juga sejak sebelumnya) mengakomodir status tanah Perdikan dalam kebijakan pertanahan, cukup banyak kemudian orang-orang yang mengajukan tanahnya sebagai tanah perdikan supaya lahan produktifnya jadi bebas pajak.

Kita tahu, salah satu syarat menstatuskan diri sebagai tanah perdikan adalah adanya makam keramat. Terdapat ritual keagamaan maupun adanya tokoh-tokoh yang merupakan keturunan tokoh raja-raja. Ritual bisa diada-adakan, tempat keramat bisa dibikin (dan tampaknya pemerintah Hindia-Belanda juga punya angggaran sendiri untuk makam-makam keramat). Dan untuk jadi keturunan, cantolkan nama pada beberapa nama tokoh legenda. Kalau tidak ketemu jalurnya, maka paling mudah mungkin adalah tambahkan satu nama istri si tokoh tersebut. Spekulasi sejarahnya (artinya belum sepenuhnya terbukti) sejak era inilah tiba-tiba raja-raja Jawa istrinya jadi banyaaaak sekali. Ini betul atau tidak? Nah kita tidak tahu, tapi kita bisa husnudhon pada sejarah. Mungkin semua itu berasal dari niat baik supaya wilayah-wilayah lokadi pendidikan keagamaan tidak dipajakkan.

Lainnya

Reportase Bangbang Wetan Agustus 2014

Reportase Bangbang Wetan Agustus 2014

PENGGIAT Maiyah yang sekaligus ‘panitia’ acara maiyahan rutin Bangbang Wetan Surabaya, Dudung, mengawali forum malam itu dengan menyapa jama’ah sekaligus bersilaturahmi memanfaatkan momentum perayaan Hari Raya Idul Fitri.

Arbangi Kadarusman
Arbangi K.