CakNun.com

Prasmanan Ilmu untuk Generasi Pribumi Digital

Reportase Sinau Bareng CNKK di Dusun Santren, Muntilan, 7 September 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 11 menit

Mesra-Kagum Pada Liar-Nakal Jelata Nusantara, Jangan Ada Daendels di antara Kita

“Manusia Indonesia itu hebat-hebat, tidak perduli ada apapun tetap bisa tertawa. Lihat pedagang kaki limat itu, digusur ngadek neh. Sekarang misalnya dibatasi suara adzan, delok ae malah dibanterno arek-arek iku. Hebat-hebat, maka akan susah diatur, ngeyel poll”. Tentu ini bukan instruksi, perintah atau saran. Ini adalah kemesraan Mbah Nun memandang.

Kita punya potensi di sini memang, sayangnya pola pikir mereka yang duduk di tampuk pemerintah, yah karena kata yang dipilih adalah dari kata “perintah” maka taunya semuanya bisa diurus dengan perintah ini-itu.

Belum ada kesadaran menata keamanan, ketertiban yang seperti dicontoh Mbah Nun meminjam strategi surah An-Nas yakni dimulai dari Robbunnas yaitu pengayoman. Kita masih diperintah oleh manusia-manusia kelas menengah yang cita rasa kenyamanan dan ketertibannya tidak bisa menikmati kenakalan-kenakalan, keliaran-keliaran. Taunya pedagang kaki lima itu kumuh bikin macet maka singkirkan. Taruh di pasar yang sudah dibangunkan dengan megah dan bersih. Kalau protes berati tidak tahu terima kasih.

Kita tidak akan mengkritik dulu, kita juga belum punya ajuan konsep tandingan dari pemujaan ketertataan yang sedang berlangsung ini. Tapi Maiyah mungkin bisa menyumbang pada sisi, variabel apa saja yang sebenarnya perlu diperhitungkan oleh pemangku kebijakan. Bahwa pertama adalah pandanglah para jelata dengan kemesraan, jangan hilang nikmatnya keliaran dan kenakalan Nusantara itu, walau ketertiban perlu juga, maka harus musyawarah.

Dulu, demi ketertataan, infrastruktur dan penertiban birokrasi Daendels sering sekali memaki pejabat-pejabat rendah, atau penguasa-penguasa lokal. Kalau dari versi Abdullah bin Muhammad al-Misri, kalimat Daendels itu begini “Tiadakah lu lihat gua seorang diri dapat memerintah berpuluh laksa? Seperti kerbau lu sekalian, gua suruh pikul kayu batu daripada akal gua terlebih besar daripada segala orang yang bodoh” (Hikayat Mareskalek karya Abdullah bin Muhammad Al-Misri, 1815).

Pada bab lanjutan kekaguman Al-Misri tercermin dari adegan Daendels mimpi dapat wangsit teguran dari Sunan Kalijaga dan (kayaknya) masuk Islam (!?). Jadi ini bukan data primer sejarah kalau soal Daendels-nya. Tapi kita ambil impresinya saja. Itu pun banyak dari Hikayat Mareskalek ini yang ternyata terkonfirmasi oleh data sejarah belakangan. Bahasannya kita kesampingkan dulu.

Dandels benar pada maqomnya. Dia sedang membersihkan sisa-sisa korupsi VOC. Dan Napoleon menitahkannya menyelamtakan pulau Jawa dari feodalisme dan kebusukan birokrat. Tapi masa begitu caranya? Masa orang dituding-tuding, tanpa dimengerti bahwa memang tidak ada atmosfer pencerdasan yang terbangun selama ini?

Kehebatan Daendels mereformasi birokrasi tak diragukan lagi. Bahkan Rafless yang musuh politik dan dari negara bebuyutannya pun tidak bisa tidak berterima kasih pada warisan infrastruktur birokrasi Daendels. Tapi sekali lagi, masa begitu? Masa tanpa kemesraan seperti itu? Masa kita mau melahirkan orang-orang seperti ini lagi? “Kowe ki ra nduwe hak lho nessoni wong”. Mbah Nun sempat berujar begitu, walau konteksnya agak berbeda dalam kalimat ini.

Sisi nikmatnya kenakalan-kenakalan itu, sepanjang pengamatan saya baru ada di majelis-majelis Sinau Bareng dan Maiyahan. Dan urusannya karena kita ingin mengabdi pada Allah.

Lainnya

Reportase Bangbang Wetan Agustus 2014

Reportase Bangbang Wetan Agustus 2014

PENGGIAT Maiyah yang sekaligus ‘panitia’ acara maiyahan rutin Bangbang Wetan Surabaya, Dudung, mengawali forum malam itu dengan menyapa jama’ah sekaligus bersilaturahmi memanfaatkan momentum perayaan Hari Raya Idul Fitri.

Arbangi Kadarusman
Arbangi K.