CakNun.com

Prajurit Baginda Sulaiman

Dwika Aca Pratama
Waktu baca ± 3 menit

Kaum Jin itu teknolog luar biasa, dan memang Allah sendiri yang mempekerjakan mereka untuk Baginda Sulaiman. Mereka yang membuat piring terbang, kendaraan angkasa lintas galaksi, membangun kota agung bawah laut. Memang untuk memindahkan Istana Ratu Balqis mereka kalah speed dari rohaniawan Asif bin Barkhiyah dari golongan manusia. Tapi selalu unggul dalam speed competition karena bekerjasama dengan hasil penelitian timnya Hudhud” —Daur II-259Menyangka Akan Selamat

Pertama kali membaca Daur ini sungguh saya kaget dan gumun. Bagaimana bisa Baginda Sulaiman yang juga Nabiyullah yang kisahnya sudah mahsyur sejak masih bocah zaman TPA dipertemukan dengan fenomena di luar logika seperti piring terbang, kendaraan angkasa lintas galaksi dan bangunan kota agung bawah laut. Yang saya anggap itu cuma ada di dongeng fantasi buatan Holywood? Ahh… Tapi bukan karakter JM kalau sebatas mung gumun tanpa ada tindak lanjut penelitian. Bukannya dari Daur ini Mbah Nun sudah memberikan kunci-kunci petunjuk dari kisah Baginda Sulaiman untuk ditelitii untuk menjadi tadabbur dan hikmah.

Al-Qur`an banyak berkisah tentang Baginda Sulaiman.

Riset pertama, Al-Anbiya: 82, “…dan Kami telah tundukkan (pula kepada Sulaiman) segolongan setan-setan yang menyelam (ke dalam laut) untuknya dan mengerjakan pekerjaan selain daripada itu, dan adalah Kami memelihara mereka itu”. Sepertinya sudah jamak jika “setan” dalam ayat Qur`an selalu diartikan makhluk halus oriented dari bangsa jin. Namun apa betul? Karena setan (Bahasa Ibrani, ha-Satan: sang penentang. Bahasa Arab, Asy-Syaithon: sesat atau jauh) berasal dari satu akar kata bahasa Semit yang berarti; tabiat sombong, gemar memberontak, dan lancang. Seperti penjelasan dalam Al-An’am: 112, bahwa setan adalah tabiat yang ada dan bisa muncul pada jin dan manusia.

Riset kedua, Shad: 37-38, “…dan (Kami tundukkan pula kepadanya) setan-setan semuanya ahli bangunan dan penyelam, dan setan yang lain yang terikat dalam belenggu”. Akan muncul kemungkinan bahwa setan yang dimaksud di ayat tersebut adalah suku-suku asing (non Yahudi) dari jauh yang tadinya memberontak kemudian ditaklukan Baginda Sulaiman. Mereka dipekerjakan sebagai ahli bangunan dan penyelam. Apalagi kata “terikat dan dibelenggu” bisa menunjukan bahwa mereka adalah mahluk berwujud dan memiliki jasad seperti manusia.

Riset ketiga, An-Naml: 17, “Dan dihimpunkan kepada Sulaiman balatentara (yang terdiri) dari jin, manusia dan burung (thair) lalu mereka itu diatur dengan tertib (dalam barisan).” Dalam buku “Ada Apa Dengan Ulama?: Pergulatan Antara Dogma, Akal, Kalbu dan Sains”, yang ditulis Soekmana Soma, ia mengartikan kata “thair” merujuk pada kitab The Qamus yang ditulis Saikh Nasr Abul Wafa. Kata “thair” berasal dari “thara”, yang berarti terbang atau kuda yang karena saking cepat gerakannya seolah terbang seperti burung. Sehingga An-Naml: 17 dapat juga dibaca: “Dan dihimpunkan kepada Sulaiman bala tentara (yang terdiri) dari kabilah pemberontak yang telah ditaklukan (jin), manusia (pasukan berjalan kerjaan Sulaiman), dan pasukan kavaleri berkuda (thair) lalu mereka itu diatur dengan tertib (dalam barisan).”

Riset keempat, An-Naml: 18, “Hingga apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor semut: Hai semut-semut, masuklah (udkhuluu) ke dalam sarang- sarangmu (masaakinakum), agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari”. Menurut The Qamus, kata “masuklah” (udkhulu) dan “sarang” (masaakinakum) hanya digunakan untuk menyebut makhluk yang rasional, yaitu kelompok manusia.

Riset kelima, An-Naml: 20, “Dan dia memeriksa burung-burung (watafaqqada-th-thayra) lalu berkata: “Mengapa aku tidak melihat Hud-Hud, apakah dia termasuk yang tidak hadir.” Kata “watafaqqada-th-thayra” yang diartikan “dan dia memeriksa barisan pasukan berkuda”, sedangkan yang dimaksud “Hud-Hud” bukanlah seekor burung secara harfiah, melainkan nama seorang petinggi militer penting dari barisan pasukan berkuda yang kebetulan tidak hadir hingga mengakibatkan kemarahan Baginda Sulaiman.

Riset keenam, An-Naml: 21, “Sungguh aku benar-benar akan menghukumnya (Hud- Hud) dengan hukuman yang keras, atau benar-benar menyembelihnya (membunuhnya), kecuali ia datang kepadaku dengan alasan yang jelas”. Ayat ini makin menguatkan bahwa Hud-Hud adalah seorang manusia dengan jabatan petinggi militer yang penting, karena sungguh tidak logis jika Baginda Sulaiman begitu besar amarahnya pada seekor burung. Bukankah pada sejarah lokal, kita mengenal nama-nama seperti Gajah Mada, Kebo Ijo, Singa Lodra, yang kesemuanya adalah gelar seorang manusia seperti kita, bukan binatang gajah, kerbau, atau singa.

Wallahu’alam. 

Lainnya

Meng-Hakim-i Pluralisme

Meng-Hakim-i bukan menghakimi, pluralisme bukan pluralitasnya. Meng-Hakim-i maksudnya di sini adalah menempatkan kesadaran Al-Hakim kepada objek yang sedang kita bedah bersama.

Muhammad Zuriat Fadil
M.Z. Fadil
Exit mobile version