Persilatan Ngaji Bareng Bagi Para Pendekar Muda
Makar? Eit, jangan terjebak pada pola begitu dulu. Tidak ada urusannya sama mokar-makar. Ini urusannya soal harga diri. NKRI belum benar-benar pernah menggiring proses dari jiwa luhur leluhur ke modernitas nation-state. Agar arwah leluhur itu tidak disia-sia zaman, maka perlu dia dijadikan pembakar semangat dalam lambaran kehidupan berbangsa. Itu kalau memang mau nasionalis. Rasanya nasionalis juga tidak wajib-wajib amat kok.
Bisa dibilang, negara modern cukup gagal menjadi ajang persilatan. Ajang pertalian antar keluhuran leluhur dengan era modernitas. Antara rasa ruh batin dengan rasionalitas, pun antar generasi. Terlalu banyak simpul-simpul yang terputus.
Ngaji Bareng malam itu adalah satu usaha kembali membenarkan keterputusan simpul-simpul itu kembali. Juga antar sabil sebagai arah jalan, syari’ sebagai jalan, maupun thoriqot sebagi cara detail penempuhan jalan peradaban.
“Saya melihat perguruan anda ini adalah satu bentuk thoriqot,” ungkap Mbah Nun.
Selama ini dalam mainstream wacana tasawuf dan thoriqot yang (di)formal(kan), tingkatannya selalu adalah syariat, thoriqot, hakikat dan makrifat. Itu pun dengan reproduksi pemaknaaan yang hampir tidak berkembang selama ratusan tahun. Padahal, fenomena geopolitik juga berpengaruh pada perkembangan, persebaran, dan pemaknaan wacana. Ada candaan di antara para akademis sejarah, bahwa diglorifikasinya tafsir sufistik pada era tertentu di Turki Utsmani adalah berkenaan juga dengan kemerosotan ekonomi dan peningkatan kriminalitas, serta masuknya liberalisme.
Dalam satu candaan dikatakan, tafsir sufistik asal makrifat cinta kasih dipilih untuk disebar di masyarakat karena penjara-penjara di Turki Utsmani sedang penuh, dan negara sudah tidak mampu membiayai. Dengan di-mainstream-kannya wacana sufistik yang agak longgar soal aturan baku, maka hukum negara dibuat agak kendor, sehingga alasan untuk memenjarakan orang jadi sedikit. Coba mana lucunya sih ini lelucon?
Lelucon ini agak garing. Tapi ada beberapa data yang menarik untuk dikaji di dalamnya. Siapa yang mengungkapkan lelucon itu, saya sudah lupa. Mungkin dari salah satu kuliah-kuliah di YouTube yang bertebaran jumlahnya itu. Jangan salahkan orang belajar lewat internet kalau atmosfer keilmuan di sekitar tidak terbangun kualitasnya dong. Kami anak zaman now boleh menggugat kan. Maka satu lagi, Ngaji Bareng, Sinau Bareng, Maiyah adalah ruang yang menampung generasi kami yang jengah dengan kemapanan wacana mendekati mitos-mitos magis di lingkungan sekitar.
Ngaji Bareng adalah silat itu sendiri. Tali yang merekatkan simpul-simpul yang melonggar, kendor dan hampir hilang arah. Para pendekar muda ini akan berkelana ke cakrawala zaman baru, yang tidak bisa dibayangkan oleh kaum tua yang terlampau mapan dengan relasi kuasa, karena terlalu terbiasa ceramah satu arah. Pendekar-pendekar muda ini singgah minun di telaga, Ngaji Bareng, Maiyah, untuk kemudian siap berkalang tanah bersimbah darah bertarung dengan zaman. Pertarungan bukan untuk membinasakan. Tapi pertarungan batin menegakkan akal sehat dan menemukan hikmah indah kehidupan. Beberapa bekal mereka tampung, katakanlah beberapa kutipan dari Mbah Nun malam itu.
Semua yang dikasih Allah itu indah, maka temukanlah keindahannya.”
Jangan nafsu-nafsu amat sama surga kita cinta aja sama Allah, cintai kehidupan dan rawat parsaudaraan.”
Agama tidak bisa dipisah dari budaya. Agama pasti diaplikasikan dengan budaya.”
Setiap pendekar muda yang singgah di Ngaji Bareng menyimpan bekal sesuai dengan takaran buntalan yang mereka punya lantas kembali melenting-lenting dengan meringankan tubuh, mencari dan menemukan petualangannya sendiri-sendiri.[]