CakNun.com

Persilatan Ngaji Bareng Bagi Para Pendekar Muda

Reportase Sinau Bareng CNKK di Padepokan PSHT Madiun, 15 Juli 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 7 menit

Menarik sosok Ki Hadjar Hardjo Oetomo ini, karena beliau selain mendirikan PSHT, juga aktif di tiga gerakan. Yakni: Sarekat Islam, Boedi Oetomo, dan Taman Siswa. Sarekat Islam masuk akal saja, karena memang terkenal cair. HOS Tjokroaminoto pemersatu pada zaman itu menerima segala macam tipe. Tapi Boedi Oetomo dan Taman Siswa agak mengherankan. Karena walau Ki Hadjar Dewantara pernah tergabung di dalam Boedi Oetomo, namun belakangan agak pecah kongsi ketika wacana spiritualitas teosofi yang dibawa oleh Dirk Van Hinloopen Labberton mendominasi para petinggi Boedi Oetomo.

Wacana yang dibawa oleh Labberton, seorang pembelajar Jawa yang mengangkat kembali karya-karya Sunan Kalijaga memang tampak indah, seolah sangat menjunjung tradisi. Tapi kita tahu, dia hanya sekadar sindrom manusia modern yang jatuh hati pada tradisionalitas namun dengan kacamata pandang ala budaya mereka. Pesan penuh cinta kasih, namun sekadar mencari “tuhan-tuhan eksotis” di Asia. Kurang lebih sama kayak manusia sekarang yang tergila-gila dengan spiritual new age berbalut pelatihan-pelatihan Yoga dan sejenisnya. Ki Hadjar Dewantara marah ketika Labberton mempengaruhi petinggi Boedi Oetomo untuk tidak membuka pengajian Islam, sementara semua agama dkaji dalam Boedi Oetomo.

Belakangan Taman Siswa memilih lebih mendekat ke Muhammadiyah, golongan Ulama Kaum Tua pun mungkin dirasanya sudah terpengaruh cita rasa spiritual Labberton. Labberton memang sangat berpengaruh, namun jarang terdengar. Kelak, pasca jadi profesor bahasa di Jepang, dia berkarier di FBI di US dan meninggal di Ojai. Maka ketika membaca Ki Hardjo Oetomo adalah anggota Taman Siswa sekaligus Boedi Oetomo saya jadi agak heran. Beliau pasti mengalami pasang surut kependekaran, pergolakan batin yang tidak main-main.

PSHT juga mengalami pasang surut. Mbah Nun menyampaikan, bahwa ada masanya dulu perguruan ini dikait-kaitkan dengan “merah” alias komunisme. “Kan dulu apa-apa yang tidak sejalan dengan pemerintah itu dikomunis-komuniskan, untuk memberi stigma negatif. Sama kalau sekarang, ya diradikal-radikalkan”. Sekali lagi, memang selalu bukan soal kata “merah”, “kiri”, “komunis”, “radikal”, “wahabi”, “sunni” atau apapun. Tapi kalau itu datang dari pihak yang sedang berkuasa beserta perangkat followers pendukungnya, maka perlu kita cari tahu latar belakang kepentingannya.

Yang digarisbawahi oleh Mbah Nun adalah, PSHT telah mengalami pasang surut seperti laiknya seorang pendekar itu sendiri. Jatuh-bangun, tetap wani tandang. Persesuaian sedikit dengan zaman, tak mengapa. Ijtihad dan tajdid terus menghadapi kebaruan-kebaruan zaman. Bahkan menurut beberapa sumber bacaan, jurus-jurus yang diajarkan dalam perguruan silat ini selalu disempurnakan dari zaman ke zaman.

Seorang pendekar memang mengerti proses. Di masa ini, kita mesti siap dengan proses. Zaman sedang beralih pada era baru. Yang muda dan bergairah sedang giat-giatnya menggembleng diri. Kebanyakan yang hadir di lapangan padepokan malam hari itu, tampaknya masih pada tingkat sekolah menengah. Sepertinya rata-rata bahkan belum betul-betul sah untuk punya SIM. Jadi mereka ke sini naik apa? Ah, mereka kan pendekar. Begitu pikir saya. Mungkin punya ilmu meringankan tubuh.

“Kalau anda lihat cerita-cerita pendekar, itu salah satu ilmu dasar yang harus dikuasai ya meringankan tubuh. Artinya, anda harus tidak diboti oleh dunyo, oleh kebendaan”. Nah begitu Mbah Nun menyinggung soal cerita-cerita pendekar, tentu saja berbagai sanad novel-novel cersil melintas di kepala: Kho Ping Hoo, almarhum kelahiran Sukowati, Sragen. Harusnya tidak jauh dari Madiun ini, mungkin. Hans Jaladra dengan masterpiece-nya Panji Tengkorak. SH Mintardja dengan Si Buta Dari Goa Hantu. Bastian Tito dengan Wiro Sableng dan banyak lagi sampai pada yang kurang terkenang dalam sejarah perbukuan semacam Pendekar Binal, Pendekar Rajawali Sakti dllsb.

Ada masanya dunia perbukuan kita didominasi oleh cerita-cerita para pendekar, baik yang ala Melayu-Jawa sampai dunia Kangouw dalam novel-novel Wu Xia. Siapa tak kenal Yang Ghuo (Yo Ko) dalam Trilogi Condor Heroes-nya Ghu Long? Pembaca yang budiman bila tertarik menelusuri kaitan dunia persilatan sini dengan Tiongkok, saat ini rasanya masih memungkinkan. Beberapa sesepuh penerjemah cersil-cersil Mandarin setahu saya masih hidup. Agak telupakan, itu juga harta karun. Menerjemahkan cerita silat itu ada seninya sendiri. Kuda-kuda hingga kebutan jurus yang juga khas untuk menengahi dua budaya persilatan yang berbeda. Nah, silat kembali jadi tali yang menghubungkan lagi rupanya? Entah kenapa kok cersil jadi asing belakangan ini.

Mungkin ada yang hilang memang pada zaman kita ini. Mungkin itu kenapa sebuah persaudaraan perguruan silat butuh ditemani oleh Mbah Nun dan KiaiKanjeng. Butuh dikuatkan kembali tali-temali silat itu. Tali yang menghubungkan kemerdekaan, kedaulatan, kosmopolitanisme tradisi kita dengan kungkungan nasionalisme modern ala NKRI.

Pengalaman bernegara dalam modernitas ini beda-beda tiap individu dan di kalangan non penguasa politik, cita rasa kerajaan masih dan selalu ada. Maka itu ketika Mbah Nun bertanya pada hadirin, mana yang perlu dipertahankan apakah padepokan ataukan negara modern NKRI? Tentu saja tanpa ragu selapangan menggemuruh memilih mempertahankan padepokannya.

Lainnya

Exit mobile version