Pengaruh Cak Nun Kepada Pak Yoyok
Yang di zaman old tahun 90-an awal hingga pertengahan adalah mahasiswa ilmu sosial dan politik pasti kerap melihat skripsi-skripsi ditulis dengan judul yang menggunakan kata ‘pengaruh’. Umpamanya, Pengaruh Bla Bla Bla terhadap Bli Bli Bli. Itu bisa mencakup fenomena-fenomena sosial maupun pemikiran-pemikiran. Melalui kata pengaruh, para mahasiswa dilatih untuk melihat dan menganalisis peristiwa atau objek studi dalam kerangka sebab-akibat. Maka, dikenalkan kepada mereka apa yang disebut variabel-variabel baik independen maupun dependen.
Tentu saja coretan singkat ini tidak akan berbicara tentang skripsi, tapi berkisah sedikit tentang sesuatu yang masih ada kaitannya dengan pengaruh. Yaitu Pengaruh Cak Nun kepada Pak Yoyok. Apa lagi ini? Nggak mas dan mbak. Saya berbagi tentang KiaiKanjeng. Tentang bassist-nya yang bernama Mas Yoyok. Kata ‘pengaruh’ cuma saya pinjam buat pintu masuk saja. Apalagi sejatinya realitas itu berlipat-lipat dimensinya, sehingga tak cukup dilihat dalam sudut siapa/apa memengaruhi siapa/apa.
Mari dimulai. Selain berkhidmat di KiaiKanjeng, sehari-hari Mas Yoyok bekerja sebagai ASN di salah satu Puskesmas di wilayah Kabupaten Sleman. Sebagai tenaga di bidang kesehatan, satu tugas yang kerap harus dilakukan adalah memberikan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat sebagai bagian dari program kerja dan layanan Puskesmas. Bersama teman-temannya, dia sering menyampaikan berbagai materi kesehatan kepada masyarakat di kampung, perumahan, atau di desa-desa.
Dalam pengalamannya, menyampaikan penyuluhan kepada masyarakat tidak selalu mudah, apalagi jika yang dihadapi adalah orang-orang yang dimaksudkan untuk berubah perilakunya sehari-hari berkenaan dengan menjaga kesehatan, atau lebih sulit juga jika yang dihadapi adalah orang-orang yang berpendidikan tinggi yang notabene kritis (untuk tidak menyebut pinter ngeyel). Tetapi, pada dasarnya memang dibutuhkan kemampuan komunikasi yang cerdas dan baik untuk menyampaikan semua pesan-pesan kesehatan kepada masyarakat. Kadangkala penyuluh menyampaikan sesuatu to the point saja, sehingga masyarakat lebih terpantik resistensi-nya atau apatismenya karena kok ujug-ujug harus begini atau begitu.
Tetapi Pak Yoyok–demikian sehari-hari Mas Yoyok biasa dipanggil–relatif mudah melewati semua kesulitan atau jenis audiens yang beragam itu. Kerap dia yang menjadi pembicara utama. Kok bisa? Apa rahasianya? Jawabnya adalah: KiaiKanjeng. Seperti ente tahu, kehadiran KiaiKanjeng di banyak tempat bukan sekadar buat keperluan musik, melainkan Sinau Bareng dengan narasumber utama adalah Cak Nun. Di situ, banyak sekali Cak Nun menyampaikan paparan-paparan. Perspektif-perspektif unik dan out of the box kerap muncul dari beliau. Bagaimana cara memikir atau merespons sesuatu menjadi kekuatan beliau. Cara dan formula menyampaikan sesuatu yang runtut, hulu-hilir, menggunakan kloso, semuanya merupakan bagian dari kecerdasan komunikasi Cak Nun.
Di situlah untungnya Pak Yoyok. Disadari atau tidak, sedikit atau banyak, cara-cara berpikir dan merespons dari Cak Nun terserap olehnya, dan hampir otomatis loading serta memengaruhi strategi penyampaian materi dia dalam memberikan penyuluhan. Misalnya, Pak Yoyok selalu memberangkatkan diri dari kerangka makro, global, gambar besar, baru kemudian masuk ke topik spesifik. Cara seperti ini bukan saja sebuah proses mengantarkan pesan spesifik, melainkan mentransfer logika.
Pak Yoyok sering mendengarkan Cak Nun menerangkan tiga level ini: kebenaran, kebaikan, dan kemuliaan. Pada kasus-kasus tertentu, penyuluhan pun bisa dibangun dengan memanfaatkan kesadaran akan tiga level ini. Misalnya, penyuluhan kepada lingkungan perokok. Pak Yoyok sadar, kalau fokus diarahkan pada kebenaran/ilmu antara merokok dan tidak merokok, itu akan tidak efektif karena pasti akan menimbulkan perdebatan dan kontroversi. Pada perspektif kebaikan/etika pun demikian. Ada bayang-bayang relativitas di situ. Maka Pak Yoyok lebih menekankan sisi kemuliaan. Kemuliaan adalah kita melakukan sesuatu bukan karena kewajiban/keharusan, melainkan karena inisiatif dan kemauan sendiri untuk melakukan sesuatu itu demi menolong atau membantu orang lain.
Oleh Pak Yoyok, para perokok ini diperkenalkan tiga level itu, dan didorong untuk menikmati memilih kemuliaan. Dicontohkan, para perokok bisa melakukan kesepakatan mandiri di antara mereka untuk pada tempat atau forum tertentu memilih tidak merokok sementara waktu. Kebanyakan mereka akhirnya memahami pendekatan Pak Yoyok ini, dan cara ini pun praktis tidak menyulut perdebatan panjang dalam penyuluhan. Sementara tak jarang penyuluhan kesehatan menyangkut perokok ini bikin kurang bersemangat para penyuluh, tapi Pak Yoyok tak mau menyerah. Dia pun membangun pijakan dengan menyitir cara berpikir Cak Nun, “Kampanye itu ya kepada orang yang bukan dari partai kita, dakwah itu ya kepada orang yang belum mengenal agama.”
Ada satu hal yang Pak Yoyok tekankan bahwa di dalam masyarakat banyak muncul pertanyaan, dan bahwa pertanyaan itu harus dijawab. Bahwa bagaimana menjawabnya itu hal lain yang membutuhkan strategi tersendiri. Yang dilakukan Pak Yoyok adalah membekali mereka dengan filsafat ilmu atau pok-pokane, prinsip-prinsip, dan ini dia ambil dari Sinau Bareng bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng. Harapannya, dengan urun pok-pokane itu, mereka bisa mencari jawaban sendiri sampai tingkat mereka yakin akan kebenaran jawaban tersebut. Jika pertanyaan itu berada dalam wilayah kompetensinya, Pak Yoyok pasti akan menjawab juga sampai detail. Tetapi Pak Yoyok sadar bahwa kesehatan adalah bidang yang kompleks sehingga lahir banyak spesialisasi dan beragam perspektif dalam memandang kesehatan manusia. Dan dari tempat atau posisinya, untuk masyarakat, Pak Yoyok membekali diri dengan cara-cara berpikir dan berfilsafat ilmu yang dia serap dari Cak Nun untuk diolah dan diaplikasikan.
Kadangkala tanpa sadar, karena sifat pertanyaannya, dalam penyuluhan atau dalam diskusi-diskusi itu Pak Yoyok mengutip dalil yang pernah didengarnya di Maiyahan karena dirasa perlu disampaikan. Apalagi ada sebagian di antara warga yang tahu bahwa Pak Yoyok adalah orang KiaiKanjeng yang acara-acaranya rutin hadir di layar sebuah televisi lokal. Pertanyaan suka datang bermacam-macam yang membuat Pak Yoyok tak bisa hanya statis di bidang kompetensinya. Persis di titik itu pok-pokane, perspektif, dan filsafat dari Maiyahan dia perlukan untuk merespons mereka.
Suatu ketika selepas salah satu penyuluhan, karena menyimak keruntutan, pijakan-pijakan berpikir, dan cara penyampaiannya, salah seorang peserta berkomentar, “Wah Pak Yoyok, tadi itu bukan hanya penyuluhan, tapi pengajian.”
Yogyakarta, 30 Januari 2018