Pejuang Syafaat Memotong Tumpeng Hierarki Sosial
Rupanya sudah cukup larut malam, sekitar pukul 00.00 WIB Mbah Nun menuju ke panggung. Tapi malam tidak terasa lelah, seolah acara masih baru bermula, tidak ada kendor-kendornya. Sebelum Mbah Nun berada di panggung, sajian Gambang Syafaat berjalan dengan kemesraan tawa dan resapan ilmu dari berbagai narasumber. Gambang Syafaat memang biasa mandiri. Mempuasai rindu itu mungkin yang membuat mereka tangguh dalam cinta dan sah sebagai pejuang syafaat. Nantinya, ada peristiwa di tengah acara yang dimaknai oleh Mbah Nun sebagai peristiwa “lulus dalam keikhlasan”. Nanti kita akan ke situ.
Sebelum itu, kita dapati panggung meriah oleh musikalitas Kidung Syafaat dan Wakijo lan Sedulur. Respons-respons tema, juga merespons ruang. Karena digelar di halaman parkir Masjid Baiturrahman, Simpang Lima, Semarang. Maka tidak heran apabila ada mobil yang terparkir di tengah jamaah, dan itu bukan dikeluhkan justru sesekali dijadikan bahan oleh MC “Door prize-nya mobil yang sana itu”. Tapi ini adalah jamaah Maiyah, sang empunya mobil bisa bertenang hati bahwa propertinya akan baik-baik saja di tengah ribuan manusia perindu syafaat ini. Atau, apakah ini mobil milik salah satu panitia?
Ada Mas Agus dari Majelis Maiyah Gugur Gunung yang membangkitkan semangat ke-Nusantara-an, ada Habib Anis, ada profesor Saratri yang yang menelaah beberapa terminologi yang kerap muncul di berbagai majelis Maiyah. Misal Pak Prof menganalisis tentang wacana Mbah Nun mengenai konsep Ka’bah yang jauh dari pakem estetika tapi selalu tidak pernah sepi didatangi manusia dari berbagai penjuru. Bahasan ini, pada saatnya juga akan dibabar kembali oleh Mbah Nun dengan lebih mendetail, terutama komparasi dengan tumpeng itu sangat asik.
Oh tumpeng, malam ini juga karena bertanggal 25 Desember 2018M, ada tumpengan untuk memperingati sweet nineteen Majelis Gambang Syafaat. Malam yang spesial. Gelombang Kreativitas adalah tema yang diangkat dan Mas Sabrang runtut pula menjelaskan mengenai tahap kreativitas yang dulu pernah dibahas di Mocopat Syafaat. Proses itu yakni: tahap menyerap, menata, dan meledakkan. Namun ada tambahan, Mas Sabrang menambahkan bahwa di tengah era di mana kreativitas mandek karena “imajinasi kita sudah dilimitasi” maka ruang publik seperti yang dibangun di Maiyah adalah pemecah kebekuan dan kebuntuan itu. Pembaca yang budiman bisa niteni diri sendiri, berapa kali lipat kreativitas terpacu sejak tersentuh dengan Maiyah? Berapa banyak sudut, jarak dan sisi pandang atau malam ini muncul juga nanti dari Mbah Nun “kepentingan pandang” yang membuka dalam menelaah sesuatu serta mengelaborasi persoalan? Nah hal seperti itu mungkin maksud Mas Sabrang.
Pakde Mus pun hadir malam ini. Jauh dari seberang lautan, Lampung yang baru saja selatnya bergolak mengirimkan tsunami. Korban berjatuhan, dismanajemen pembangunan? Nanti, itu spesialisasi Pak Toto yang menyusul malam ini juga akan kena bahas.
Tampaknya Pakde Mus sudah menunjukkan kreativitas itu dalam mix and match busana. Baju merah melapisi kaos, dengan peci putih merah yang tampak pas sekaligus menampilkan kesan yang berbeda di setiap sisi pandang. Ada kesan seperti pendekar ala jawara Betawi, tapi juga punya kesan pemomong. Beliau memang yang momongi proses Mas Sabrang, Mursyid bagi Mas Sabrang. Mas Sabrang sempat katakan bahwa “kreativitas adalah mengolah proses transformasi” maka, seorang Mursyid sejati seperti Pakde Mus tentulah sosok yang sangat kreatif. Tidak mungkin yang namanya mursyid cuma bisa mereproduksi metode masa lampau yang usang.
Dan nanti konsep Mursyid juga akan dijabarkan oleh Syekh Kamba. Konsep mursyid-murid, tarekat virtual, yang semestinya adalah konsep paling substansi dalam tasawuf namun karena era ini adalah era di mana segalanya beku dan terlembagakan, termasuk konsep thoriqot itu sendiri, maka dia jadi terdengar anti-mainstream. Mungkin karena memang iya.
Mas Sabrang tidak sedang bersama Letto, tapi Mas Sabrang konon hapal semua lagu Letto (!) maka Mas Sabrang featuring dadakan dengan Kidung Syafaat melantunkan Permintaan Hati. Hati meminta, permintaan hati melantun. Tak berapa lama setelahnya permintaan hati para pejuang syafaat terpenuhi dengan tibanya Mbah Nun ke panggung. Rasanya energi membuncah, bila kita perhatikan, mata mereka berbinar-binar. Shalawat yang melantun itu bukan sekadar kalimat karangan pujangga abad lampau, dia dipilih sebagai ekspresi rindu. Ruang rindu para pejuang syafaat terisi tepat pukul 00.00 WIB, Mbah Nun berada di atas panggung bersama para marja’ rujukan-rujukan keilmuan kita, ada Syekh Nursamad Kamba dan Pak Toto Raharjo atau akrab kita sapa dengan panggilan Kiai Tohar.
Mbah Nun, malam ini berpakaian putih-putih dengan peci putih atasan merah, khas, dan pantas menuntaskan rindu.
Mbah Nun membuka bahasan dengan kajian konsep yang konon dibawa oleh Sunan Kalijaga, di mana ritual tumpeng selalu disertakan tiga jenis kembang dari kenanga, kantil dan mawar. Fakta sejarah bukan hal penting betul, walau bila tertarik bisa kita telusuri dari sejarah botani. Tapi pemaknaan mengenai, “keno ngono keno ngene, asal kantil dan menjadi sewangi mawar” adalah pemaknaan yang otentik yang dibawakan oleh Mbah Nun. Ini sudah sangat akrab di majelis-majelis Maiyah dan Mbah Nun tak lelah mengulang pesan tersebut. Kita bisa menangkap bahwa urgensi pesan ini tentu sangat garis tebal, sehingga Mbah Nun terus mengingatkan kita soal ini. Tiga kembang itu menemani tumpeng yang berbentuk mengerucut, hierarkis dan pada situasi sosial kita sangat feodal.
Dari soal inilah, Mbah Nun melangkah pada bahasan mengenai point of view dunia modern yang berjalan salah kaprah sementara Maiyah berada di tengahnya. Maiyah berusaha istiqomah tidak terseret kesalahan kaprah tersebut. Bila memakai ukuran estetika bangunan, Ka’bah tidak memenuhi syarat untuk disebut bangunan indah. Dia hanya kotak kubus. Namun “Tidak pernah ada satu detik pun manusia berhenti mendatanginya” maka oleh Mbah Nun sebenarnya Allah terus melatih kita untuk tidak melulu berpikiran materialis. “Di situlah letak keindahan Ka’bah (dibanding kerucut, tumpeng) dia tidak feodal!” semua yang berkumpul di sekeliling Ka’bah harus jadi manusia seutuhnya, mesti rela membuang narsisme golongan, pemahaman tafsir, golongan mazhab serta berbagai pembeda, berbagai struktur yang memungkinkannya berada pada pucuk hierarki tumpeng sosial.
Apakah kita harus anti hierarki? Bukan itu, ini perlu lengkap dengan bahasan Mas Sabrang. Bahwa hierarki bukan untuk ditolak. “Jangan anti hierarki,” ujar Mas Sabrang, karena secara sadar atau tidak manusia pasti menciptakan hierarki. Tapi bagaimana kita menyadarinya, memberinya tiga kembang serta mau memotong pucuknya, untuk dibagikan pada orang lain. Mbah Nun sempat merangkum ini dengan tandas dalam satu kalimat padat, “Hatimu Ka’bah strategi sosialmu tumpeng!”
Nah saat menjelang akhir, tumpeng memang dipotong. Potongan pertama diberikan pada Mas Wahyu yang mungkin bisa disebut peserta Gambang Syafaat yang paling lama, sudah 12 tahun, yang berada di lokasi pada malam hari itu.
Kesalahpahaman kaprah pandangan manusia modern bagi Mbah Nun sudah bukan hanya pada tataran konsep tapi juga bisa kita lihat hingga di ranah aplikasi dan praksis. Sistem apapun sekarang ini dibangun di atas sudut pandang yang tidak mendekati keseimbangan. Mbah Nun mencontohkan bagaimana hal-hal yang dulu dianggap wajar, ketika manusia makin ‘pintar’ kemudian lama-lama dianggap berbahaya. Nasi jadi sumber penyakit gula, gula jadi kambing hitam, rokok, tembakau dan banyak lagi dan makin bertambah terus hal-hal yang dianggap berbahaya. Bagi manusia modern “Hidup merupakan ancaman bagi manusia sekarang,” kalimat Mbah Nun tersebut sangat mengena.
Saking segalanya dianggap berbahaya, hal yang mereka lakukan dan mereka yakini sendiri pun juga dianggap ancaman. Agama dirasa mengancam, pun demokrasi. Mbah Nun melancarkan, “Pilpres adalah alat untuk memecah belah orang sehingga harus ada deklarasi pilpres damai.” Sedemikian tidak percayanya kita, karena memang tidak ada yang bisa dipercaya.
Sementara primordialisme golongan, narsisme kelompok semakin membeku tiap saat. Tokoh-tokoh yang lahir dari rahim ormas, thoriqot, madzhab, parpol atau apapun menurut Mbah Nun sekarang ini tidak ada, benar-benar tidak ada, yang memikirkan manusia. Sekali lagi kita perlu tegaskan, tidak ada! Selain hanya mereka memikirkan keberlangsungan, eksistensi, dan pengakuan golongannya.
Itu bahkan orang-orang yang dikenali sebagai kaum ulama. Tapi Maiyah memang punya konsep yang berbeda tentang kata ulama sendiri, sangat mendasar, fundamental. Ini juga dibabarkan oleh Syekh Kamba dan dilengkapi oleh Mbah Nun dengan pertanyaan sangat radikal fundamental, bahwa ketika ayat tentang ulama itu turun apakah sudah ada kelas sosial yang berada di puncak tumpeng bernama kelas ulama?
Semua produk zaman kita, mengacu pada premis dasar yang sudah salah kaprah. Ini perlu jadi bahan tulisan sendiri sepertinya. Kita mendidik diri untuk merdeka dari rasa sebagai kelompok haus pengakuan. “Maiyah ndak penting!” tegas Mbah Nun, dilanjutkan bahwa masa depan peradaban dunia ditentukan dari seberapa kita kreatif mampu memaknai sesuatu agar bisa menjadi ilmu. Bahkan ekstremnya seorang bermental Uwais Al-Qarni atau Bambang Ekalaya, akan mampu lebih melejit potensinya walau hanya bermursyidkan seekor kambing dibandingkan orang bermental Arjuna yang berguru pada Dorna langsung atau kiai dengan sanad nasab bertumpuk-tumpuk. Karena menurut Mbah Nun, goal Maiyah ya seperti yang ditunjukkan sedulur-sedulur Gambang Syafaat malam ini yang gembira, bersaudara, sesrawungan, silaturrahim, gotong royong.
Goal Maiyah sesederhana itu, dengan namanya Maiyah atau bukan, diakui dunia atau tidak. Toh kalau dunia tidak mengakui emas adalah emas, bukan si emas yang rugi. Tapi sederhana, bukan sepele menurut Mas Sabrang, “Saya bisa buktikan dengan berbagai sudut, jarak, dan sisi pandang bahwa hal yang tampaknya sederhana seperti ini punya efek yang lebih besar dari yang kita kira”.