Pantokrator di Tepian Dermaga, Pelabuhan Hati Semua Golongan
Panggung KiaiKanjeng dicontohkan oleh Mbah Nun selalu dibuat sebisa mungkin agar tidak begitu tinggi dan sedekat mungkin dengan hadirin agar kalau ada yang tidak senang dengan apa yang diutarakan, bisa langsung maju, protes atau melakukan apapun. Saya jadi saksi bahwa hal ini pernah terjadi di majelis Mocopat syafaat, ketika spontan seorang pemuda protes dengan semua hal tentang Maiyah. Walau menyebalkan, anak itu yang seorang pemuda Muhammadiyah, rasanya jauh lebih berani daripada pelempar status di medsos. Belakangan diperparah lagi dengan budaya buzzer, orang yang dibayar untuk mengontrol dan mengomentari terus isu tertentu. Selama satu golongan masih menggunakan buzzer, jelaslah isinya hanya orang-orang munafik yang menebar kepengecutan dari atas hingga ke bawahnya.
Dan soal kegiatan bakar-membakar Mbah Nun bercerita “Saya pernah, gambar dan buku saya dibakar di Makassar, saya ndak marah. Tapi jangan gambar bapak saya, kalau gambar bapak saya, ya saya bunuh. Itu baru gambar bapak saya…” Memang, ketersinggungan orang terhadap pembakaran bisa kita pahami tapi juga kita perlu paham dan jangkep. Mbah Nun tambahkan bahwa semua keributan belakangan sejak persoalan gubernur Jakarta vs Al-Maidah selalu di-setting. Membawa persoalan pembakaran beberapa hari lalu pada keabsahan simbol dan legitimasi sejarah adalah jebakan parah yang bisa memakan diri sendiri untuk dua belah pihak yang bertikai. Kalau semua simbol kita runtut kebenarannya, lama-lama kita harus membenarkan juga semua perdebatan antar agama, memang kapan simbol berjalan dengan benar? Dia berjalan dengan logika nuansa.
“Ndak usah ikut marah, ndak usah nyerang mati-matian, ndak usah mbelain mati-matian. Kalau memang mau, ajak berdialog.” Yang tidak terbuka pada NKRI memang adalah ruang dialog itu. Ada keran komunalitas yang macet dalam sistem komunikasi dan informasi kita. Yang disebut silaturrahim hanya bagi sesama yang sepemahaman, silaturrahim kurang tantangan.
Namun pada sisi manusia terutama yang hatinya lebih luas dari golongan dan ormas, komunalitas masih terus punya jalur untuk mempertahankan dirinya. Di Samarinda ini, saudara-saudara kita dari Mandar berangkat secara mandiri, mempersiapkan sendiri penyambutan mereka terhadap Mbah Nun karena sejak tahun 1982 dulu, mereka sudah menganggap Mbah Nun adalah orang tua mereka. “Karena kecintaan kami kepada beliau (Mbah Nun) tidak akan luntur,” begitu ucap perwakilan dari Mandar. Mbah Nun punya kekayaan cerita tentang Mandar dan pengalaman membersamai masyarakat di sana. “Saya ini orang Mandar yang lahir di Jombang. Kalau di Jombang saya bilang saya orang Jombang yang lahir di Mandar,” canda Mbah Nun.
Tahukah kita kenapa wilayah lahir Isa as atau Yesus selalu berbeda-beda data sejarahnya? Ini satu spekulasi sejarah, bahwa kemungkinan karena semua wilayah yang disinggahi oleh sang wakil cinta pembawa pedang Allah itu, setiap tempat yang disentuhnya, semua manusia dari latar belakang budaya sangat ikut merasa memiliki sosok itu. Dan cinta dan tauhid, adalah soal kemerdekaan, kemandirian, kedaulatan dan otentisitas.
“Indonesia tidak berkuasa sama kita. Andai ini bukan NKRI Anda tetap kawin kan? Anda tetap kencing dan seterusnya. Begitu banyak hal yang tidak terpengaruh oleh negara atau presiden,” ini bukan sabda nabi Isa as, ini Mbah Nun sedang mengajak hadirin berceria-ria menyadari betapa luasnya kemerdekaan dalam hidup. Negara setiran apapun tetap tidak bisa mengatur lebih dari sembilan puluh persen hidup kita, jadi kenapa kita mati-matian membela dan membenci?
Tapi tetap ada yang perlu diperjuangkan. “Anda mesti memperjuangkan suatu saat pilpres, pileg dan sebagainya yang berjalan tanpa kampanye,” ujar Mbah Nun dan dilanjutkan pertanyaan, “Ada ndak kampanye yang jujur?” Hadirin menyatu dalam koor “Tidak adaaa…”. Perjuangkan selalu kejujuran dan keikhlasan itu.
Dalam Sinau Bareng kita diajak untuk merdeka dari apapun. Tauhid selama berabad-abad, turun untuk pemerdekaan manusia, tapi manusia yang justru selalu berulah. Membuat struktur-struktur kekuasaannya sendiri, menetapkan jalur ortodoksinya sendiri, menjadi golongan kembali dan mengenyahkan yang berbeda lagi dan lagi. Tidakkah kita merasa berdosa pada Kanjeng Rasul Saw atas setiap kelokan sejarah yang kita bengkokkan terus? Dalam Sinau Bareng kita belajar untuk memutus lingkaran setan peradaban seperti itu.