CakNun.com

Pantokrator di Tepian Dermaga, Pelabuhan Hati Semua Golongan

Reportase Sinau Bareng "Pelabuhan sebagai Sentra Peradaban", Samarinda, 28 Oktober 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 11 menit

Setiap kelompok menunjuk jubirnya masing-masing, dan mendiskusikan dengan serius di ruangan yang disediakan. Waktu setengah jam agar efektif ditetapkan. Sementara sambil menanti pembabar dari berbagai kelompok berbagai tema pun ditabur-tabur, bersama kemesraan, bersama sayup angin Mahakam dan pijar-pijar keperakan yang menerangi seluruh dermaga malam itu.

Ini adalah titik perjalanan 4017 KiaiKanjeng di seluruh Indonesia. Bila memakai tolok ukur kerjaan semestinya mereka sudah taraf kelelahan, jengah atau bosan. Tapi tampaknya KiaiKanjeng dan Mbah Nun tetap bersemangat dan wajahnya selalu senang, “Ada hal-hal yang menyenangkan atau menyedihkan langsung terasa, ada hal-hal yang butuh bantuan pikiran.” Mungkin karena pikiran telah mengolah bahwa apa yang dilakukan ini adalah sesuatu yang berdampak jangka panjang sehingga semuanya terasa ringan dan menyenangkan.

Seperti Mbah Nun mencontohkan, jamu yang pahit bisa terasa tidak pahit bahkan pahitnya bisa menjadi kelezatan sendiri kalau kita paham apa kegunaan jamu untuk tubuh kita. Maka dalam Sinau Bareng, Mbah Nun berpesan agar kita melatih kepekaan rasa. Ilmu tidak ditunggu dicekokin dari para ulama terpelajar tapi setiap hadirin aktif untuk memekakan diri pada nuansa rasa keilmuan. Dan “Ilmu paling berkah masuk manakala Anda sedang bergembira,” maka teruslah gembira.

Bagaimana agar terus gembira? Ya dengan menyambung silaturrohim. Perjuangkan rangkulan jangan pengenyahan, persatuan bukan permusuhan. Dalam lita’arofu, kita murni ikhlas tanpa noda kepentingan. Itu sulit terjadi dalam berbagai golongan sekarang apalagi dalam spesies purba “homo-erectus-politisikus-indonesianus-jakartensis” (ini istilah saya saja, maaf). Yang bukannya saling lita’arofu malah saling membinasakan dan kalau ada adegan perdamaian selalu “Tahsaabuhum jami’an wa quluubuhum syatta” seolah guyub rukun tapi hatinya saling mengincar.

Rupanya ketika semua kelompok selesai berdiskusi, semua punya pembacaan kritis yang khas. Dari pekerja lepas di pelabuhan hingga aktivis mahasiswa. Bila dirangkum, kondisi masyarakat bagi mereka tidak berjalan dengan semestinya. Sedangkan pihak pemangku kebijakan tidak pernah berevolusi menjadi lebih bijaksana. “Pemerintah harus mendamaikan semua golongan, bukan membakar-bakar seperti sekarang ini” kata seoarang bapak yang mewakili kelompoknya.

Karena kelompok pertama setelah mempresentasikan temuan mereka sempat mengambil kesempatan untuk mengutarakan permintaan, lantas setiap kelompok akhirnya juga meminta jatah yang sama dan Mbah Nun berusaha bersikap adil dengan memperbolehkan hal tersebut diajukan. Rupanya, semuanya berujung pada meminta memeluk Mbah Nun, bahkan ada yang dengan kalimat pengantar “ini permintaan seluruh warga” juga minta memeluk Mbah Nun, rupanya rindu. Dan dari situ juga terjadi dialog.

Ada pertanyaan soal pembakaran bendera yang sedang ramai diperbincangkan dengan segala pros and cons-nya. “Ada dua kekuatan besar yang sama-sama kuat, sama merasa benar dan sama rela mati jadi jangan sampai terjadi hal yang tidak diinginkan. Pendapat Mbah Nun bagaimana?”

Sebelum masuk ke situ Mbah Nun mengajak kita menegakkan logika dulu bahwa, semua yang kita terima dari medsos sebaiknya jaga jarak “jangan marah-marah dulu di medsos”. Mbah Nun menyontohkan, kalau dulu saat kita bocah ada tipe anak yang kalau bandel berantemnya hadap-hadapan itu walau nakal tapi masih bisa disebut berani. Ada anak yang agak takut-takut jadi sukanya lempar-lempar dari jauh, seringnya ikut tawuran. Mbah Nun tanyakan pada hadirin-hadirot, apakah medsos ini tipe orang bandel yang berani atau pengecut? Dan serempak para hadirin “Pengecuuuttt…”. Medsos memang sarang bagi kepengecutan, lempar status dari jauh, komentar akan hal-hal yang tidak dipahami dan yang terburuk dari semua itu adalah yang tidak pernah mau bermuwajjahah langsung.

Lainnya

Exit mobile version