Pantokrator di Tepian Dermaga, Pelabuhan Hati Semua Golongan
Seorang pria bernama Waluyo yang sudah empat puluhan tahun di Kalimantan sempat bertanya, saya kurang jelas mendengarkan, nampaknya mengenai pandangan Mbah Nun terhadap HTI. Mbah Nun menegaskan “Kalau saya bertemu dengan orang HTI tidak berarti saya jadi orang HTI. Anda juga empat puluh tahun di Kalimantan tetap Waluyo kan namanya? Kita hanya mesti bergaul satu sama lain dan aman satu sama lain. Salah satu persoalan nasional kita adalah orang merasa tidak aman satu sama lain, itu semuanya.”
Mbah Nun bercerita bahwa di Kadipiro semua orang diterima, dari berbagai latar belakang, berbagai kesadaran, berbagai pikiran. Terakhir ada seorang Kyai bernama Kyai Ma’ruf Amin yang cukup populer di kalangannya, juga belum lama rombongan dari saudara calon saingannya, sebelumnya pernah datang Anies Baswedan, pernah juga Luhut Panjaitan, Hasto Kristanto yang juga tokoh bagi golongannya. Kadipiro mempertemukan HTI dengan Polri menjelang pembubarannya agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Felix Siauw juga pernah datang. Artinya, Kadipiro seperti muara, dia dermaga tempat bertemu berbagai pihak dan karena semuanya dipandang dan diperlakukan sebagai manusia. Maka yang keluar dari mereka yang datang juga adalah sisi murni manusianya. “Husnudhon saja pada manusia, bahwa semua orang akan husnul khotimah kok,” saran Mbah Nun.
Dan Mbah Nun sempat melanjutkan, “Kalau ketemu orang yang katoknya congklang (dalam persepsi masyarakat belakangan dipersepsikan sebagai Wahabi dan Wahabi diidentikkan sebagai intoleran jahat, antagonis) maka saya pandang baiknya. Oh dia sangat cinta pada Kanjeng Rosul sampai pakaiannya pun ingin dimirip-miripkan. Tapi kita bisa ngobrol, setelah pakaiannya ya tiru kasih sayangnya juga, kinasihnya, perjuangannya, gondrongnya… (lho?)” dan berlanjutlah jadi jokes yang sedang hits wal viral belakangan “Lanang gak gondrong, gak brengosan, delok wong wedok ora suit-suit...” dan menggemalah tawa mesra.
Tawa tanpa satu sedikit pun rasa melecehkan, merendahkan dan meremehkan. Secara teoretis, secara kandungan konten kata-kata, mestinya ini jokes yang akan dianggap sexis bagi kalangan pergerakan perempuan. Anehnya sepanjang saya bergaul dengan teman-teman yang berada pada barisan gerakan, ketika mereka mendengar hal ini pun tidak pernah ada lontaran yang memprotes. Mungkin pesan memang bukan hanya komponen kata, vibrasi niat hati juga mungkin berpengaruh.
Untuk “menyapa tuan rumah” Mbah Nun meminta KiaiKanjeng membawakan sholawat dan sebuah lagu yang akrab bagi warga sekitar. Para hadirin diruangi, dipersilakan siapapun untuk ke panggung dan ikut bernyanyi bersama KiaiKanjeng. Pambuko mengalun, Mbah Nun serius dengan “kalimat menyapa tuan rumah” dengan memperdengarkan lantunan suara khas Beliau. Setelah sebelumnya menegaskan bahwa, “Saya tidak sedang berdakwah, tidak sedang ceramah. Saya mengajak Anda bergembira bersama-sama, tentu dengan batasan bahwa kegembiraan kita ini disenangi juga oleh Gusti Allah…”. Denting gamelan KiaiKanjeng menggema-gema, menyentuh permukaan geladak Pantokrator, memantul pada perubahan tempo menjadi “Di Tepian Mahakam”.
Mahakam sungai nan bertuah
Anugerah Tuhan Yang Maha Esa
Rakyat berlalu-lalang mencari nafkah
Besar jasanya bagi nusa dan bangsa
Kesadaran menjadi ruang, mungkin memang dipahami oleh manusia yang akrab dengan budaya dermaga karena mereka terbiasa bertemu dengan ragam jenis manusia yang berlainan. Maiyah sendiri tampaknya seperti pelabuhan yang menampung berbagai kapal yang kelelahan di NKRI. Pelabuhan Maiyah menampung dari NU, Muhammadiyah, HTI dan siapapaun tanpa terkecuali karena hingga saat ini tak ada yang mampu menempati posisi semacam itu.
Dalam Sinau Bareng kali ini juga Mbah Nun meminta agar para hadirin yang sukarela, membentuk kelompok-kelompok berdasar latar belakang daerah asal namun sebelumnya tidak saling kenal. Terbentuklah empat kelompok yakni: Mahakam, Kalimaya (ada yang ingat sebuah band yang namanya Rivermaya?), untuk yang berasal dari Bontang-Sangata, Kelompok Beruang Madu (bukan Beruang Madura) dan kelompok NUN yang berasal dari Samarinda. Masing-masing mendiskusikan persoalan yang diberikan melalui secarik kertas. Ada yang mendapat pertanyaan mengenai pengamatan tentang kondisi sosial kemasyarakatan juga ada yang mendapat pertanyaan mengenai pilihan pribadinya. Jadi ada dua tema sebenarnya, yaitu mana yang realita objektif dan mana yang ideal subjektif.