Pantokrator di Tepian Dermaga, Pelabuhan Hati Semua Golongan
Pantokrator, dalam bahasa Latin yang merujuk pada sifat maha mulia dan maha menguasai alam semsta. Istilah ini cukup akrab dalam paham teologi yang lahir di Judea dan sekitarnya. Ketika wacana kesadaran tauhid baru yang dibawa Yesus menjadi sangat populer justru pasca kepergiannya. Pantokrator disematkan dalam gelar Yesus menjadi Kritus Pantokrator. Namun kata ini tidak sedang bermakna teologis. KM Pantokrator bersandar di dermaga Pelabuhan Samarinda. Entah apakah ada hubungannya dengan kejadian beberapa bulan lalu di mana kapal ini sempat menabrak kapal barang di pelabuhan yang sama. Tapi tadi malam dia memang bersandar tenang di dermaga.
Lampu dermaga menyorot, cahaya berkilauan khas yang menerangi sehari-hari dan malam-malam kegiatan bongkar muat di pelabuhan-pelabuhan, walau begitu Mbah Nun sempat mengatakan “Cahaya ini bukan sekadar dari lampu pelabuhan, ini adalah cahaya yang memancar-mancar dari wajah Anda semuanya.”
Kecil dulu saya pernah tinggal di sekitar daerah dermaga di Pelabuhan Bone. Dermaga dan pelabuhan, kecil maupun besar, dari zaman ke zaman selalu memiliki aura yang khas. Pertemuan berbagai budaya, kesadaran-kesadaran terbawa dari berbagai latar belakang, angin menghembus dongeng-dongeng dari ragam latar belakang, bercampur di warung-warung peristirahatan, kelasi kapal yang beristirahat, kegiatan tanpa henti ini membawa tradisi-tradisi baru. Percampuran berbagai paham spiritual, perdagangan nilai tanpa sadar dari yang paling suci hingga yang paling beraroma mesum. Semuanya, di wilayah pelabuhan, sejak manusia mengenal apa itu pelayaran, semuanya bercampur aduk dan tanpa sadar menciptakan jalur peradabannya sendiri.
“Pelabuhan Sebagai Sentra Peradaban” itu tema yang dipilih oleh panitia dalam Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng. Tema semacam ini rasanya tidak sembarangan. Dia mestinya lahir dari kesadaran orang yang paham betul apa arti sebuah dermaga dan pelabuhan bagi keberlangsungan peradaban. Sejak manusia mengenal sistem pelayaran dan perdagangan, sejak saat itu tolok ukur peradaban manusia ditentukan dari seberapa sering dia terdengar dari dermaga ke dermaga lainnya. Sejak itu hampir tak ada yang namanya peradaban murni. Kalau murni artinya benar-benar tidak bersentuhan dengan budaya lain. Semua budaya sekarang merupakan hasil dari pertemuan-pertemuan pada dermaga-dermaga ini, kalau ada satu budaya yang tidak bersentuhan dengan budaya lain melalui jalur laut, maka konsekuensinya dia hilang tak berbekas, tak terdengar dan tak mungkin kita mengenangnya sekarang.
Nusantara, selain adalah jajaran pulau dengan kebijaksanaan ratusan gunung api, sebenarnya sekaligus juga adalah satuan kepulauan yang memiliki jalur dan jiwa ruang dermaga-dermaga tak terhitung jumlahnya. Dari Malaka, Aceh, Tuban, Makassar hingga Ternate semua adalah kota dermaga. Batavia, menjadi dermaga belakangan sejak VOC memindahkan pusat kegiatan perdagangan dari Ternate ke kota bikinan yang baru itu demi menjaga kerinduan mereka pada kampung halaman. Orang Nusantara asli tidak pernah memilih wilayah itu sebagai sentra pelabuhan. Entah apakah manusia Nusantara dulu sudah tahu kontur tanah wilayah itu yang terlalu berlumpur dan lembek. Kelak Batavia menjadi Jakarta,bdan tanah itu tidak pernah stabil dari kepentingan berbagai golongan.
Pelabuhan Samarinda, penghubung utama dengan Muara Kedah, pada malam tanggal 28 Oktober 2018 ini, tepat 90 tahun ketika pertemuan budaya-budaya dari kalangan muda yang terpelajar mengikrarkan diri dalam Sumpah Pemuda benar-benar sedang menjadi pusat peradaban. Peradaban baru di mana bukan sekadar pengetahuan yang diunggulkan. Namun keharmonisan, kemesraan dan pancaran rasa senang yang disenangi oleh Allah SWT.
Panggung berdiri menghadap ke sepanjang dermaga, KM Pantokrator bersandar tenang pada rengkuhannya. Sungai Mahakam menuju Laut Sulawesi, kegiatan bongkar-muat barang berganti dulu menjadi bongkar muat kesadaran. Membongkar yang lama, memuat pemahaman dan kegembiraan yang baru. Sholawat mengalun menyambut Mbah Nun ke atas panggung, para hadirin tak henti menyambut dengan ekspresi sebisa mereka “Allahumma sholli alaa Muhammad!” “Takbir! Allahu akbar!” Seruan sedemikian itu, apakah namanya bila bukan rindu? Bahkan sepanjang acara berlangsung, pada momen-momen tertentu takbir selalu kembali menggema, bolehkah saya katakan bahwa Pantokrator tersenyum menyaksikannya.
Sinau Bareng memang bukan sekadar paham statis yang lama, bukan sekadar romantisme tradisi tanpa inisiatif kebaruan tapi juga bukan kebaruan rebel bebal mengenyahkan yang lama. Semua dihargai, semua punya perannya demi “anfa’uhum linnas”. Benar-benar bareng, bersama berdialog. Karena di negeri NKRI yang tuna-peradaban sana, ruang dialog telah tertutup antara satu golongan dengan golongan lainnya. Sinau Bareng adalah usaha yang paling bisa kita lakukan untuk membuka ruang-ruang dialog itu.