Pambuko Ujian Logika Menuju Kesempurnaan
Mbah Nun tiba di panggung beserta jajaran rektor dan wakil rektor Universitas Airlangga, sekitar pukul setengah sembilan malam lewat. Sinau Bareng digelar dalam rangka memperingati Dies Natalis UNAIR yang ke-64.
Sebelumnya panggung disemarakkan dengan syahdu oleh dua kelompok. Satunya adalah kelompok beranggotakan enam mahasiswi muslim dengan yang dengan teknik accapela melantunkan “Tombo Ati” dan “Nuansa Akhir Zaman”, kemudian dilanjutkan dengan sekelompok mahasiswa melantunkan shalawatan dan berlanjut mahallul qiyam. Dua kelompok ini merupakan bagian dari UKM seni religi di Universitas Airlangga ini.
Indonesia Raya dan Syukur melantun. Sedikit gelar kloso Mbah Nun sampaikan, bahwa yang utama dalam Sinau Bareng bukan apa yang diomongkan di panggung melainkan, “Prinsip pembelajaran kita adalah saya tidak mengajari Anda. Nomor satu bukan apa yang diomongkan di panggung, tapi Anda memaknai apa. Subjeknya adalah anda,” ujar Mbah Nun.
Ini bukan basa-basi belaka, hal ini langsung dipraktikkan oleh Mbah Nun dengan mengajukan ujian logika, “Ada dua pendapat, satu tidak ada manusia sempurna, kedua semua manusia harus sempurna. Awakmu milih sik endi?” Dan oleh Mbah Nun, yang paling penting adalah kemukakan argumen yang melandasi pilihan tersebut.
Tiga pemuda dari berbagai latar belakang maju dan mencoba menjawab soalan tersebut. Jawaban diajukan, argumen diberikan. Baiknya kita tidak panjangkan detail dulu di sini, karena ini masih liputan pengantar dulu sebelum liputan yang inti.
Kalau kita lihat secara umum, bisa kita sebut ada sedikit kekurangan tampaknya dalam sistem pendidikan kita. Kita sering diajarkan teori-teori logika, epistemologi cara pikir, tapi rasanya kita jarang dibiasakan menggunakannya dalam hidup kita.
Kita memang manusia khatulistiwa-tropis yang dididik dengan beragam fenomena alam, warna, bunyi hingga bau. Ini membuat kita lebih mudah berpikir asosiatif daripada logis. Apakah berpikir asosiatif itu kurang mulia dan kurang benar daripada berpikir logis? Belum tentu. Karena akhirnya, walau sedikit alot, sedikit perlu ditegas-tegaskan pagar definisinya dalam struktur berlogika, akhirnya muncul juga jawaban bahwa manusia sempurna karena ada kesalahan-kesalahannya. Karena ada kesempatan salah itulah manusia ingin menggapai kesempurnaan. Bukan lantas jadi permisif pada kesalahan, tapi bagaimana menyikapi kesalahan, kekurangan dan kekhilafan menuju pada langkah-langkah menuju kesempurnaan.
Sinau Bareng merupakan langkah menegakkan logika, melengkapi kekurang-jangkepan kita dalam aplikasi logika-definitif tapi juga mengapresiasi kelebihan potensi kita, manusia Nusantara, dalam berpikir asosiatif-imajinatif. Mari seimbang, mari menuju pada kesempurnaan.