Pak Is Takut Diajak Umroh
Kalau kepada Pak Ismarwanto Mbah Nun menyebutnya sebagai wong cilik, harap diketahui itu hanya istilah teknis untuk mengenali dan memahami habitat sosiologis di mana Pak Is berlatar belakang dan dibesarkan. Istilah itu dipakai bukan untuk meletakkan seseorang pada posisi di bawah dalam suatu struktur nilai apapun. Sebab, justru pada sosok Pak Is, dari wong cilik, kita terpapar belajar hal-hal sederhana yang bisa jadi tidak cilik bobotnya.
Istilah wong cilik sekadar untuk menggambarkan bahwa Pak Is tidak dibesarkan di lingkungan yang ditandai oleh tradisi pendidikan dan keagamaan yang kuat, sehingga tidak terlalu fair menuntut Pak Is bisa ngaji seperti kita yang berkesempatan nyantri di pondok, atau sekurang-kurangnya pernah ikut pesantren kilat, atau sejak kecil dididik orangtua ngaji baca alif ba ta. Jangan pula membayangkan Pak Is sebatas bicara sedikit macam-macam fenomena sosial-politik layaknya para akrivis dan cendekiawan. Kita sendiri yang bermasalah kalau seperti itu.
Terminologi wong cilik juga sebatas untuk deskripsi bahwa Pak Is hidup dalam masyarakat yang secara struktur ekonomi berada di level “bawah” sehingga melekat pula di sana warna-warni budaya grass root sehari-hari di masyarakat tersebut. Bahasa sekolahnya, Pak Is hidup dalam lapisan masyarakat di mana pembangunan berlangsung tidak merata. Pak Is tinggal di kawasan yang karena ketimpangan sosial-ekonomi pembangunan lalu menjadi marjinal.
Dan yang mengenal lebih lengkap sisi ini adalah Pak Toto Rahardjo. Orang yang menemukan Pak Is dan melamarnya untuk masuk di KiaiKanjeng. Pak Toto pula yang pertama kali menyebut kata wong cilik saat Mbah Nun, Pak Toto sendiri, dan semua keluarga besar KiaiKanjeng berbincang-bincang sembari koordinasi persiapan upacara pemberangkatan jenazah Pak Is.
Dulu pada 1996-1997, Pak Toto suka ngobrol dan menikmati malam bersama Pak Joko Kamto. Keduanya masih muda dan bugar-bugar kala itu. Hehe. Ngobrolnya bukan di kafe-kafe ber-wifi ala zaman now dan saat itu memang belum ada. Mereka kongkow di Taman Hiburan Rakyat Purawisata dan Hotel Matahari Prawirotaman dengan menu utama nonton dangdut. Nah, ada satu orkes melayu dangdut yang sangat ternama dan disegani saat itu di mana pemain serulingnya tak lain adalah Pak Ismarwanto kita semua ini. Jadi, dari sini kita sudah nyicil sedikit tahu bahwa Pak Is adalah penyuling berkelas.
Di dua tempat itulah Pak Toto dan Pak Joko Kamto bertemu dan mengenal Pak Is. Sedemikian rupa sudah kenal, sehingga kalau pas jeda penampilan, begitu turun panggung Pak Is suka langsung melangkah untuk gabung di meja beliau berdua. Semacam kalau di sela-sela Sinau Bareng dia turun beberapa saat untuk ngobrol dengan jamaah sekadar buat ngrokok atau omong-omong apa gitu sehingga terjalin keakraban. Sampai pada suatu ketika KiaiKanjeng akan membuat album berjudul Raja Diraja yang membutuhkan nuansa seruling dangdut. Pilihan pun jatuh kepada Pak Is. Pak Toto tak hanya melamar Pak Is, tapi juga nembung ke grup dangdutnya.
Pada proses pembuatan Album Raja Diraja inilah Pak Is mulai bersentuhan dan berinteraksi dengan orang-orang KiaiKanjeng. Sempat ada sedikit rasa canggung di KiaiKanjeng akan background Pak Is, tapi karena interaksi yang terus berlanjut mematangkan mereka bahwa tak masalah dengan semua itu. Mereka segera sadar bahwa tidak bisa menuntut seseorang lebih dari sejarahnya, dan bahwa selayaknya KiaiKanjeng adalah wadah yang berjiwa luas buat menampung berbagai macam orang, dan setiap orang itu terus berproses menuju titik puncaknya.
Pak Is yang semula hanya ditembung untuk Album Raja Diraja, akhirnya berlanjut terus, dan seperti kita tahu sampai akhir hayatnya menjadi bagian dari KiaiKanjeng.
Berada di tengah-tengah lingkungan baru KiaiKanjeng membuat Pak Is belajar dan banyak berubah. Ia mulai berpikir tentang korps. Dan ada satu momentum di mana Pak Is akhirnya menyatakan kepada Pak Toto bahwa sejak sekarang (saat itu), Ia memutuskan untuk full madep mantep hanya bermain di KiaiKanjeng. Walau tak terkatakan, menurut Pak Toto, keputusan ini menggambarkan bahwa di dalam diri Pak Is telah berlangsung pemikiran menyangkut orientasi hidup yang lebih jauh, yang bersifat lebih kualitatif.
Selain itu, seperti dirasakan Pak Toto, sebagai wong cilik, Pak Is memiliki solidaritas yang tinggi. Ekspresinya adalah membela. Dan seandainya dia adalah orang yang ekonominya memungkinkan, dia pasti tipe orang yang nyah-nyoh, dermawan, dan pasti ingin nyugata kepada Mbah Nun, Pak Toto, dan Pak Jokam, atau orang-orang yang dihormatinya. Bagi teman-temannya di dunia dangdut, keberadaan Pak Is di KiaiKanjeng juga menimbulkan sedikit rasa cemburu positif, yakni mereka memandang semua itu sebagai status sosial yang meningkat pada diri Pak Is.
Tetapi karena kultur di KiaiKanjeng yang tidak lekat dengan dorongan keselebritisan budaya, atau apapun namanya, serta dikarenakan kuatnya budaya egaliter wong cilik pada dirinya, Pak Is pun tidak berubah gaya hidupnya. Ia tetap seperti sediakala dan dekat dengan siapapun. Apalagi memang di KiaiKanjeng, Mbah Nun sudah lama membawa mereka pada kesadaran bahwa melihat manusia itu jangan hitam-putih, tinggi-rendah bukan berdasarkan capaian budaya, ekonomi, atau apa saja melainkan akhlak, juga jangan melihat orang pada posisi diri kita seakan paling bersih. Manusia mesti dilihat dan dipahami berdasarkan sejarah hidupnya. Bahwa manusia kudu biso rumongso ketimbang rumongso biso.
Itulah sebabnya, ketika pada 2009, Mbah Nun dan Bu Via mengajak KiaiKanjeng umroh, orang yang paling sulit diajak ya Pak Is ini. Dia merasa benar-benar belum pantas untuk ke tanah suci. Ini bukan lebay, tapi sungguh-sungguh demikian perasaannya. Perasaan sederhana tapi mendalam dari wong cilik. Walaupun pada akhirnya Pak Is berhasil diyakinkan sehingga mau ikut. Itu pun dengan satu syarat: selama di perjalanan dan di Tanah Suci, Ia minta duduk dan berdampingan dengan Mas Islamiyanto yang ustadz dan kiai. Supaya aman kalau ada malaikat mau mendekat mungkin hehe!
Tapi tentunya tak sulit bagi kita memahami sikapnya itu, dan kita yakin itu baik, sekaligus menohok kita semua. Diam-diam Pak Is meyakini bahwa pergi umroh, datang ke Baitullah dan ziyaroh di makam Rasulullah adalah sesuatu yang perlu dipersiapkan secara spiritual, batin, dan rohaniah. Nggak langsung tanpa tatakrama ujuk-ujuk blang-bleng. Dan Pak Is merasa jauh dari siap untuk semua itu. Masak kita tidak melihat hal ini sebagai sesuatu yang baik. Coba kalau yang ditawari kita, kok kayaknya langsung tancap mengiyakan dengan penuh ge-er dan pede. Hehe…
Akhirnya merupakan kegembiraan dan kebahagiaan tersendiri bisa melihat Pak Is mau umroh. Dan sepulang dari umroh, sebagaimana habitat KiaiKanjeng, tidak lantas Pak Is jadi “alim”, alias tetap biasa saja seperti wong cilik. Tak ada perubahan simbolik apapun, sebagaimana begitu pun dengan bapak-bapak KiaiKanjeng lainnya. Pergaulannya pun tidak mengalami perubahan apapun, tetap jalan seperti biasa.
Tetapi yang segera harus kita catat adalah bahwa Allah itu maha kuasa. Dia bisa saja menitipkan keutamaan pada seseorang sekalipun orang itu berada di lingkungan marjinal dan lingkungan wong cilik. Allah bisa melahirkan manusia-manusia otentik dan otodidak dari lingkungan semacam itu. Pak Is adalah salah satunya. Pak Is adalah salah satu di antara orang-orang otentik yang dimiliki KiaiKanjeng dengan background-nya masing-masing.
Pak Is bukan hanya bisa memainkan suling dalam membawakan sebuah nomor lagu, tapi lebih dari itu mampu menciptakan komposisi musik dengan sulingnya. Tidak hanya itu, dan ini yang langka, dia sekaligus pembuat seruling. Dia empu seruling. Semua dia capai tidak dengan pendidikan formal, melainkan secara otodidak, dan dalam lingkungan sebagai wong cilik. Dia punya taste yang spesial untuk urusan seruling. Keotentikan dan keunikan Pak Is bahkan tidak hanya telihat pada keempuannya membuat seruling dan kemahirannya memainkankannya, melainkan terlihat jelas pada sosoknya, pada pilihan pecinya, mlititnya dalam berbusana dan bersepatu, dari atas sampai bawah lah pokoknya. Belum lagi senyum dan tawannya.
Besok kita perlu melihat bagaimana secara umum fase-fase musikal seruling dia selama di KiaiKanjeng, bukan menurut saya, tapi menurut Pak Toto Rahardjo yang menemukan dan melamar empu kita ini.
Yogyakarta, 2 Maret 2018