Pak Is Saja Tidak Kurang Piknik
Minggu 25 Februari 2018 pagi hari kemarin, Allah memanggil Pak Is Seruling KiaiKanjeng. Beliau pergi meninggalkan keluarganya, meninggalkan sahabat-sahabatnya sesama KiaiKanjeng, dan meninggalkan kita semua Jamaah Maiyah. Kini kita tidak bisa lagi melihat Pak Is duduk di panggung Sinau Bareng atau Maiyahan meniupkan serulinganya.
Akan datang saat-saat kita kangen dan merindukan keberadaannya di tengah-tengah kita, dan kita tak bisa apa-apa kecuali merasakan kangen itu sendiri, sementara di tempatnya yang baru, beliau mungkin telah disambut dan dihidang keasikan bercengkerama dengan Nabi Daud pemilik seruling langit itu.
Pak Is adalah wong cilik. Begitu Cak Nun menyebut. Tetapi wong cilik yang murni, apa adanya, yang tidak ingin menjadi-jadikan dirinya sebagai bukan dirinya. Di kampung pinggir sungai Lowanu Yogyakarta beliau tinggal bersama keluarganya sejak kecil, dan dari tempat itu pula kemarin beliau diantarkan oleh Cak Nun, KiaiKanjeng, jamaah Maiyah, dan para tetangga menuju “jalan” ke keabadian.
Sudah sejak 1997, Pak Is masuk di KiaiKanjeng, bukan karena melamar, tetapi dilamar langsung oleh Pak Toto Rahardjo, karena KiaiKanjeng membutuhkan musisi seruling yang pas dengan corak musikal KiaiKanjeng. Dari jagat dangdut, Pak Is mengisi formasi KiaiKanjeng, lalu menjadi bagian dari kehidupan keluarga besar Cak Nun dan KiaiKanjeng. Tampaknya dari dulu hingga terakhir sebelum meninggal, beliau ya tetap seperti itu gayanya, tak ada yang berubah. Tidak mengalami mobilitas gaya hidup apapun. Kurang berminat naik motor, lebih suka jalan kaki atau nyepeda ontel, dan lebih sering tidak makan. Tetap sebagai wong cilik.
Sebagai wong cilik, Pak Is adalah pribadi yang setia dan militan. Kalau terdengar olehnya entah siapa orang lain berkata atau bertindak tak enak menyangkut Cak Nun misalnya dia tanpa banyak cing cong akan segera mencolot dan bergerak dengan caranya sendiri.
Sebenarnya sebagai bagian dari personel KiaiKanjeng, Pak Is punya peluang untuk memobilitaskan dirinya karena telah melanglang buana ke mana-mana saja, dalam maupun luar negeri. Bersama KiaiKanjeng, Pak Is sudah ke Mesir, Australia, Eropa, Belanda, Hong Kong, Malaysia, dan lain-lain. Catat dulu, dari sudut ini, sebenarnya Pak Is bukan orang yang kekurangan piknik, kalau piknik diartikan secara harfiah bertandang ke banyak lokasi. Dan Pak Is tetap biasa-biasa sebagai wong cilik. Tak terpancar sedikit bersit kesombongan dalam dirinya.
Tetapi diam-diam saya menangkap satu makna lain dari ‘tidak kurang piknik’-nya Pak Is yang justru lebih esensial. Ingat, orang yang pandangannya sempit, gampang sumbu pendek, tak tahu macam-macam pemikiran, gampang marah karena beda pandangan, tahunya dan maunya hanya penglihatannya sendiri itu disebut kurang piknik, bukan?
Menjelajah ke mana-mana bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng adalah sebuah piknik luar biasa luas karena di situlah Cak Nun menyampaikan bermacam-macam pandangan hidup, dari soal budaya, agama, hingga keluasan hidup manusia, dari topik kelas desa hingga tema nasional dan wacana internasional. Bermacam-macam diskusi dan pembelajaran di panggung Maiyahan dia nikmati, meskipun kita barangkali lebih berpeluang terpeleset menyangka Pak Is tak merekam atau menyerap semua itu. Tapi siapa bisa menjamin? Pak Is yang adalah wong cilik, hidup di antara wong-wong cilik, tak terdidik oleh lingkungan untuk menapaki sekolah, mengalami semua piknik keluasan wawasan itu. Bisakah kita bayangkan kecuali bahwa itu adalah sebuah mobilitas tersendiri dalam pengalaman hidupnya. Mobilitas batiniah dan rohaniah.
Tak jadi soal, apakah penyimakan berbagai khasanah ilmu itu di tangan Pak Is selanjutnya diaplikasikan ataukah tidak, dibagaimanakan atau tidak dibagaimanakan, karena menyaksikan Pak Is berada di dalam perahu Maiyah bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng saja sudah merupakan sesuatu, adalah keindahan tersendiri, adalah sense tersendiri.
Itu artinya, Pak Is adalah pribadi yang tak kurang piknik, karena dalam dirinya telah tertanam keluasan wawasan dan ilmu dari perjalanan Maiyah, meskipun tak pernah tertampakkan di depan mata kita. Berproses, berjalan, dan keliling ke mana-mana bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng sesungguhnya membuat Pak Is pada dirinya adalah sosok yang tidak kurang piknik sedikit pun.
Sebenarnya sih tak ada urusan Pak Is dengan piknik atau tidak piknik ini. Hanya kita mendapatkan kontras yang amat apabila kita bawa ke konteks sedikit lebih lebar. Pak Is saja yang notabene wong cilik mau berjalan dalam keluasan piknik, sedangkan kita yang mungkin sudah menikmati pendidikan yang tinggi, menghafal macam-macam aliran pemikiran, sekolah jauh ke luar negeri, tapi kok masih sering kurang piknik. Masih mengidap 3-C: cekak, ciut, cethék. Malu kita sama Pak Is. Pak Is saja tak kurang piknik.
Selamat jalan, Pak Is.
Yogyakarta, 26 Februari 2018