CakNun.com

Pak Is Gondelan Klambine Mbah Nun

Helmi Mustofa
Waktu baca ± 4 menit

Sehari sebelum Pak Is meninggal dunia, dengan ditemani Pak Toto Rahardjo, Mbah Nun menjenguk Pak Is di rumah sakit. Ini adalah untuk kali kedua Pak Is menjalani penanganan dan perawatan. Di ruang di mana Pak Is terbaring itu, Mbah Nun datang, mendoakannya, men-support-nya, dan membesarkan hati istri, anak-anak dan cucunya.

Seraya menggenggam tangan Pak Is, Mbah Nun menyapa dengan lembut dan perlahan, memanjatkan doa, serta coba berkomunikasi. Alhamdulillah, meski keadaan fisiknya makin menurun, harus diinfus dobel, kesadaran Pak Is masih terjaga dengan baik. Bisa merespons semampunya dan sadar akan kehadiran Mbah Nun di sisinya. Sama seperti ketika sebelumnya teman-teman KiaiKanjeng berombongan menjenguknya. Bahkan satu per satu teman-teman KiaiKanjeng itu diabsennya. Dipanggil satu-satu. Entah apa yang hendak dibisikkannya.

Tak ada yang menyangka bahwa itu adalah saat-saat terakhir Pak Is bertatap muka dengan KiaiKanjeng dan Mbah Nun. Sebab, semua sebenarnya berharap Pak Is bisa pulih kembali dan sesudah sehat full, bisa ikut berkeliling lagi bersama KiaiKanjeng, meniupkan serulingnya yang aduhai, dengan penampilannya yang mlitit dan pecinya yang berselera pada ketinggian.

Saat-saat di rumah sakit itu, terasa Pak Is tak mau ditinggal Mbah Nun. Ingin berlama-lama Mbah Nun ada di sisinya. Ketika Mbah Nun hendak pamit, tangan Pak Is coba menggapai-gapai tangan Mbah Nun, tapi kemudian tangan itu beralih ke bajunya Mbah Nun, dan ketika baju itu sudah berhasil dipegangnya, digondelilah baju itu erat-erat. Sayang sekali, Pak Bobiet yang juga ada di dekat Pak Is dan sudah mau mengabadikan lewat kameranya tak berhasil mengejar momen itu.

Di dalam semesta laku hidup orang-orang Maiyah, sudah sejak dini Mbah Nun menanamkan ilmu tentang segitiga cinta Allah-Muhammad-Manusia. Keterkabulan doa kita bisa tercapai kalau kita menyertakan cinta kita kepada Kanjeng Nabi Muhammad. Kanjeng Nabi punya hak khusus memberikan syafa’at kepada umatnya. Di hadapan Allah, orang-orang Maiyah tidak mampu dan tidak pantas mengandalkan apapun dari dirinya, apalagi kepandaian, kepintaran, kekuasaan, kekayaan, dll. Jalan yang tersedia adalah nderek Kanjeng Nabi, bermodal mencintai Kanjeng Nabi, yakni mencintai orang yang paling dicintai-Nya, ndaftar sebagai rombongan orang-orang yang ada di belakang Kanjeng Nabi. Bahasa sederhananya dari Mbah Nun: Awak ndewe gondelan jubahe Kanjeng Nabi. 

Dan sama-sama kita ketahui, ungkapan Gondelan Jubahe Kanjeng Nabi ini adalah satu di antara ungkapan yang jamaah Maiyah ngugemi-nya. Dijadikan ilmu dalam tarekat sehari-hari mereka. Mereka melantunkan shalawat dengan jiwa yang ingin gondelan Jubahe Kanjeng Nabi. Dalam semesta ilmu Maiyah yang demikian itu, apakah peristiwa Pak Is gondelan Klambine Mbah Nun pada saat-saat sebelum Allah memanggilnya itu bisa kita artikan selain bahwa memang Pak Is ingin mengatakan bahwa “aku juga gondelan jubahe Kanjeng Nabi.” Dan itu dinyatakan langsung kepada Mbah Nun, orang yang selama bertahun mengenalkan ilmu segitiga cinta itu kepada KiaiKanjeng khususnya dan kepada jamaah Maiyah pada umumnya.

Ibarat teks atau ayat, peristiwa indah Pak Is gondelan klambine Mbah Nun itu bersifat qath’iy, rasanya sudah jelas maksud dan artinya, sehingga tidak diperlukan interpretasi lainnya, atau tidak diperlukan ijtihad untuk memahami maknanya. Sudah clear and cut artinya. Ialah bahwa Pak Is gondelan jubahe Kanjeng Nabi yang diekspresikan lewat gondelan bajunya Mbah Nun. Kata kuncinya pada gondelan, dan bagi orang-orang Maiyah kata gondelan sudah jelas arah asosiasi dan maksudnya.

Peristiwa indah dan dramatik Pak Is gondelan klambine Mbah Nun penuh pembelajaran. Saya dikasih tahu Pak Bobiet tentang hal ini. Menurut Pak Bobiet, yang seharian sebelumnya menemani Pak Is dan menuntunnya untuk mengucapkan kalimah-kalimah thayyibah sebisa-bisanya, saat-saat terakhir Pak Is itu seperti memberikan pelajaran bahwa ketika Allah hendak menjemput hambanya, prosesnya dilakukan secara sistematis. Dilumpuhkan atau didisfungsikan terlebih dahulu satu per satu organ-organ tubuhnya, dan terakhir disisakan satu hal yang masih berfungsi yaitu kesadaran. Dalam kesadaran sebagai satu-satunya yang tersisa pada diri kita itu, apa yang akan kita ucapkan atau nyatakan.

Kejadian ini pun juga mengingatkan pada kepergian allahu yarham Ustadz Harwanto Dahlan pada 2009. Saat-saat terakhir dijenguk Mbah Nun, Ia menyatakan kepada Mbah Nun, “Cak, Saya pingin masuk surga sareng Panjenengan.” Lalu dengan penuh penasaran tapi sekaligus tekad kuat, Pak Harwanto ingin memastikan segera, “Cak kulo mlebet suwargo mboten?” Terdesak oleh pertanyaan ini karena Mbah Nun sendiri merasa tak layak mendapat pertanyaan seperti ini (lha piye le memastikan) tapi jawaban harus diberikan, maka dengan rendah hati Mbah Nun menjawab, “Nek tak delok seko neroko, Sampeyan wonten suwargo, Pak Harwanto.”

Kesadaran terakhir Pak Harwanto pada saat Allah hendak menjemputnya adalah masuk ingin masuk Surga. Demikian pula Pak Is empu seruling KiaiKanjeng. Pingin masuk surga lewat ungkapkan bahasa gondelan klambine Mbah Nun yang dalam ilmu Maiyah jelas-jelas bermakna keinginan Pak Is untuk gondelan Jubahe Kanjeng Nabi sebagaimana Mbah Nun memperkenalkannya kepada kita semua ungkapan yang mengandung prinsip laku hidup ini.

Kami ta’dhim, hormat, dan menundukkan kepala mendengar itu semua, Pak Is. Ketika tiba di surga, kami mohon tiup seruling bambu Panjenengan, agar para kekasih Allah dan penghuni surga bisa turut merasakan keindahan alunannya.

Suara serulingmu dinanti ahli surga, Pak Is.

Yogyakarta, 1 Maret 2018

Lainnya

Warung Uncluk Barokah KiaiKanjeng

Warung Uncluk Barokah KiaiKanjeng

Waktu adalah sebuah bentangan yang teramat panjang, betapapun secara teknis ia dapat dibagi-bagi ke dalam detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, dan satuan atau putaran lainnya.

Helmi Mustofa
Helmi Mustofa