CakNun.com

Pak Guru Danar yang Telah Pergi

Helmi Mustofa
Waktu baca ± 4 menit

Di tengah-tengah Mbah Nun dan KiaiKanjeng sedang beracara di Stadion Parasamya Majene Mandar Sulbar dalam rangkaian perjalanan Manaraturrahmah, 10 April 2018, diterimalah kabar duka meninggalnya sastrawan Danarto. Sebelumnya, kabar kondisi kritis yang dialami Mas Dan–begitu akrab dipanggil sahabat-sahabatnya–akibat ditabrak motor juga sudah diterima Mbah Nun. Lantas teman-teman diminta memonitor kondisi dan perkembangannya melalui Bang Uki Bayu Sejati yang turut mengawal proses Pak Danarto dibawa ke rumah sakit.

Karena posisi jauh di Sulbar, waktu tidak memungkinkan Mbah Nun buat takziyah. Itulah sebabnya, ketika sudah ada kabar bahwa jenazah Pak Danarto akan dimakamkan di desa kelahirannya di Sragen Jawa Tengah, Mbah Nun meminta tolong rekan-rekan jamaah Maiyah di Sragen buat layat dan menyampaikan ungkapan bela sungkawa kepada keluarganya.

Sebagaimana terlihat dari berbagai testimoni, Pak Danarto dekat dengan sesama sastrawan dan seniman, tak terkecuali tentu saja dengan Mbah Nun. Dalam sejumlah diskusi-diskusi sastra pada tahun 80-an dan 90-an mengenai karya-karya Danarto, Mbah Nun sering diundang sebagai salah satu pembicara. Saya ingat, salah satu pujian Mbah Nun kepada cerpen-cerpen Danarto adalah “sampai kiamat pun karya sastra Danarto tetap dibutuhkan.”

Setelah Pak Danarto meninggal, saya buka-buka kliping. Saya menemukan bahwa antara Pak Danarto dan Mbah Nun sebagai sesama sastrawan punya hubungan yang dekat dan saling mengapresiasi dan memuji. Mbah Nun pernah menyebut Danarto sebagai Syech Siti Danarto, dan Pak Danarto sendiri menyebut Mbah Nun sebagai Sunan Kalijogo.

Jejak kedekatan itu juga pernah terabadikan dalam salah satu tulisan Mbah Nun, yaitu dalam buku Slilit Sang Kiai. Di antara puluhan esai apik itu, terdapat satu esai berjudul Empat Kapasitas. Pada esai ini, Mbah Nun membahas dialog antara dua sosok yang beliau menyebutnya Pak Guru Danar dan Pak Guru Amrul. Kedua guru ini berbeda pandangan dalam memahami kejadian yang sampai atau tersodorkan di depan mata manusia.

Pak Guru Danar berpendapat, yang datang kepada seseorang hakikatnya adalah ujian dari Allah kepadanya. Sedangkan, bagi Pak Guru Amrul yang ada pada setiap kejadian di depan kita adalah amr (perintah) dari Allah untuk kita. Dikisahkan dalam tulisan itu, suatu hari Pak Guru Danar melihat peristiwa seorang ibu dan anaknya kecopetan di dalam bis, sementara si ibu belum membayar ongkos bis itu. Pak Guru Danar berpikir hendak membagi sisa uang yang dimilikinya kepada ibu itu, tapi sebelum keputusan diambil, keburu kondektur meminta ibu dan anak itu turun dari bis. Pak Guru Danar merasa gagal dalam menghadapi ujian ini.

Selanjutnya….selanjutnya silakan baca sendiri ya esai Empat Kapasitas tersebut. Saya belum tentu mampu menceritakannya dengan baik, sebab esai ini sangat padat melukiskan dialektika manusia dalam ikhtiarnya memahami kehendak Tuhan di balik peristiwa sehari-hari yang dialaminya. Dalam esai ini, Mbah Nun memaparkan aplikasi pendekatan dua Pak Guru tadi dalam hal menghadapi dan memahami: uang, kemiskinan, dan manusia.

Satu dua hal saja yang saya mencoba mencatatnya. Tulisan itu tampaknya tidak berangkat dari karya-karya kedua Pak Guru itu, melainkan dari pengalaman sehari-harinya. Hal yang sedikit banyak menunjukkan ada kedekatan yang sifatnya tidak intelektual melulu, tapi dekat secara kultural, dekat dari dekat, antara Mbah Nun dengan kedua beliau. Entah lama atau tidak, tapi keterlibatan interpersonal itu ada. Kedekatan yang dalam kadar bermacam bisa kita temui pada kedekatan Mbah Nun kepada WS Rendra, Cak Nur, Gus Dur, Keluarga Koeswoyo, Darmanto Jatman, dan lain-lain.

Dan seingat saya, Mbah Nun memang pernah bercerita bahwa Pak Guru Danar yang diceritakan dalam esai itu adalah Danarto. Selain memaparkan dua pendekatan ujian dan amr dalam dialog kedua Pak Guru tadi, yang menarik adalah refleksi Mbah Nun atas kedua pandangan yang berbeda itu. “Dialog itu mengemukakan kepada diriku; pilihan Pak Guru Danar maupun Pak Guru Amrul itu benar, dan tak sempurna, karena, kecuali Tuhan, maka Ratu Adil, Semar, Mesiah, adalah sesuatu yang hanya ada bila diusahakan oleh manusia.”

Belakangan, setelah bertahun-tahun tak bertemu, Mbah Nun sempat bertemu dengan Pak Danarto dalam acara Ultah 50 Tahun Majalah Sastra Horison di mana Mbah Nun diminta menyampaikan pidato kebudayaan di TIM Jakarta pada 26 Juli 2016. Acara  itu sendiri dimaksudkan untuk menandai berakhirnya Majalah Horison dalam bentuk cetak, dan beralih ke online.

Setelah itu, dalam satu keperluan produksi buku yang digarap oleh eksponen Majalah Sastra Sabana, dua bulan lalu Mbah Nun menyarankan agar desain cover buku itu adalah lukisan yang dipesan secara khusus kepada Pak Danarto. Rencana ini pun sudah diproses disampaikan kepada Pak Danarto. Tapi sayang belum bisa digarap, karena Pak Danarto belum pulih dari sakit yang dialaminya. Sampai kemudian Allah memanggilnya dua hari lalu.

Selamat jalan Pak Guru Danar, dan terima kasih kepada Mbah Nun telah memetikkan sesuatu dari sekian banyak orang yang dekat dan mendapatkan perhatian dari Njenengan termasuk Pak Guru Danar alias Danarto…

Yogyakarta, 12 April 2018

Lainnya