Padhangmbulan: Mengutuhkan Kembali Kepingan-kepingan


Kalau lagu Perahu Retak, saya tidak asing lagi. Album Franky Sahilatua yang dirilis tahun 1995, semua lirik ditulis oleh Mbah Nun. Saya baru tahu pada album Perahu Retak ada lagu spesial berjudul Padang Bulan.
Ceritanya, saya sowan riyayan ke rumah Cak Nang. Ngobrol cukup lama. “Pernah mendengar lagu Padhangmbulan, Mas?” tanya Cak Nang. Saya pikir KiaiKanjeng menciptakan lagu baru berjudul Padhangmbulan.
“Ternyata Padhangmbulan mempunyai ‘lagu kebangsaan’,” ungkap Cak Nang. Lalu Beliau mengirim link lagu tersebut. Betapa saya tidak tahu diri: lagu itu dirilis tahun 1995 dan saya baru mengetahuinya sekarang.
Saya dan Cak Jambul diminta Cak Nang membuat video sederhana untuk lagu tersebut. Rencananya, lagu dan video akan ditayangkan pada pengajian Padhangmbulan bulan Juni 2018.
Tugas berat bagi saya. Hingga saat menyelesaikan tulisan ini, lagu Padhangmbulan telah saya putar entah berapa kali. Lagu dan liriknya, sungguh, membuat mata berkaca-kaca.
Walaupun lagu tersebut berjudul “Padang Bulan” dan ketika rilis tahun 1995 simpul-simpul Maiyah adalah takdir yang berada dalam rahasia genggaman Tangan-Nya—lirik lagu, nuansa, getaran, kedalaman, ketulusan, pokoknya muatan energi lagu tersebut menemukan kontekstualisasinya hingga sekarang, dan saya yakin itu lirik akan terus menjangkau dimensi khaalidina abadaa.
Bismillah, saya memberanikan diri menulis rasa hati saya atas lagu itu.
Cahaya kasih sayang menaburi malam.
Hidayah dan rembulan menghadirkan Tuhan
Alam raya, cakrawala pasrah dan sembahyang
Padhangmbulan, malam ketika bulan purnama bercahaya paling terang. Malam purnama adalah malam bertabur kasih sayang. Ibu menggelar tikar di halaman. Anak-anak berkumpul mendengarkan dongeng negeri makmur. Damai dalam sembahyang yang tenang.
Yang palsu ditanggalkan yang sejati datang
Yang dusta dikuakkan, topeng-topeng hilang
Jiwa sujud, hati tunduk pada-Mu Tuhan
Padhangmbulan: Menata Hati Menjernihkan Pikiran. Mengapa hati mengapa pikiran? Karena Maiyah adalah menanggalkan yang palsu sehingga yang sejati datang. Menguakkan yang dusta sehingga topeng-topeng hilang. Dalam damai sembahyang, jiwa sujud, hati tunduk menunduk pada Tuhan.
Beribu hamba-Mu bernyanyi rindu
Bergerak menari bagai gelombang
Sepi mereka karena dipinggirkan
Oleh kedzaliman kekuasaan dan kesombongan
Di antara beribu-ribu hamba itu, aku terselip di sela-selanya. Bersama menarik menari dalam gelombang rindu kepada manusia paling mulia, kekasih sejati sepanjang zaman: Rasulullah Muhammad. Manusia kinasih yang tidak tega dan gampang terenyuh hatinya saat menyaksikan aku, engkau, kita, mereka yang dikurung sepi setelah disingkirkan dan dipinggirkan.
Suara mereka merobek langit
Bergolak sunyi mereka semua
Waktu berhenti, alam menanti
Tuhan kekasih akan mengakhiri
Aku pejalan di ruang semesta Padhangmbulan. Air mata tumpah—air mata mengalir ke telaga cahaya yang dijaga oleh kekasih mulia. Mengolah diri menjadi manusia ruang. Tidak mencederai waktu. Hingga Tuhan sendiri yang akan turun tangan membereskan segala ketidakberesan.
Tumbuhnya kesadaran karena kejernihan
Bangkitnya kekuatan karena kebersamaan
Orang-orang berkumpul, bergandengan tangan
Untuk itu, kita berkumpul, sinau bareng, ngaji bareng, menghimpun energi batin, energi pendidikan, energi politik, energi ekonomi—Energi Maiyah: energi yang membersamai Allah dan Rasulullah. Jernih dalam kesadaran. Kuat dalam kebersamaan. Kita bergandengan tangan, paseduluran sak lawase, paseduluran dunia akhirat.
Lahirlah-lahirlah, lahir kembali
Bangunlah-bangunlah, bangun kembali
Mengumpulkan, kepingan-kepingan
Saudaramu, yang ditinggalkan oleh kemajuan
Tidak ada pilihan lagi kecuali kita selalu lahir kembali setiap saat, setiap detik, setiap tarikan dan hembusan nafas. Mati dan hidup lagi di setiap momentum. Lahir dan hidup sebagai manusia, hamba Tuhan, khalifatullah yang merangkul, mengayomi, memangku, menghimpun kepingan-kepingan. Dalam setiap langkah kita terus mencari kembali keutuhan sebagai manusia. Aku, engkau dan kita yang berkeping-keping kini mengutuh kembali.
Kekasih mendampingi setiap langkah
Pada laparmu, cinta-Nya merekah
Tataplah wajah-Nya, hatimu pun cerah
Aku berteman sepi. Kekasih rahasia Tuhan mendampingi setiap langkah. Bersahabat dengan lapar demi cinta-Nya yang merekah. Menatap wajah-Nya, bukan apa kata manusia yang ku ikuti, tetapi mata pandang Allah yang ku takuti. Asalkan Dia tidak murka kepadaku, aku bergembira.
Lihatlah lihatlah mentari baru
Yang terbit dari dalam tekadmu
Sesudah senja di ujung duka
Nikmatilah mengalirnya cahaya
Maka, optimismeku terbit tidak karena semata-mata aku merasa optimis. Aku yakin hari-hari segera berganti, mentari baru segera terbit, karena Tuhan adalah satu-satunya pihak yang menjalankan perubahan itu.
Aku memelihara mentari baru dalam tekadku, sesakit apapun duka derita yang kujalani. Asalkan karena itu Tuhan menjadi sayang padaku. Menikmati kasih sayang-Nya dalam kehangatan mengalirnya cahaya.
Jombang, 280618