Pada Mulanya adalah Amaliyah dan Akhlaqiyah
Memang Pak Busyro Muqoddas–teman seangkatan Mbah Nun di SMA Muhammadiyah 2 Yogya, pernah menjadi ketua Komisi Yudisial dan KPK yang saat ini merupakan Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM dan Kebijakan Publik–sempat menyampaikan di awal acara bahwa ide pembentukan LBH ini adalah kembangan dari satu surah yang punya nilai kuat sebagai landasan amal Muhammadiyah, yakni surah Al-Ma’un yang konon sering diulang-ulang oleh Mbah Ahmad Dahlan.
Baik peserta sarasehan ini maupun narasumber lainnya, mayoritas adalah kaum akademisi. Tampaknya hanya Mbah Nun yang dalam penulisan nama tidak tercantum gelar-gelar akademis, tapi elaborasi-elaborasi Mbah Nun memberi daya juang sendiri untuk memulakan stamina nafas panjang peradaban. Beberapa bahasan yang sangat akrab di majelis-majelis Maiyah, rupanya bisa diturunkan pada tataran yang sangat rasional, praksis dan akademis. Tentu kita sudah akrab dengan bahasan mengenai bahwa hukum bukanlah yang tertinggi, di atasnya ada keadilan, ada kebijaksanaan. Seperti fiqih di atasnya juga ada keindahan. “Puncak dari itu semua adalah taqwa,” ungkap Mbah Nun.
Rupanya itu hal yang sangat melegakan bagi para praktisi hukum, karena seperti kata narasumber lain yakni Bapak Marzuki dari Fakultas Hukum UII, bahwa pendidikan hukum kita kurang mengasah afeksi. Sehingga berjalan dengan sangat dingin. Istilah di Maiyah mungkin ya, kurang mesra.
Belakangan kita tahu kasus seorang ibu di luar Jawa yang setelah mendapatkan perkataan melecehkan dari atasannya justru kemudian ketika kasusnya dilimpahkan ke MA, beliau malah menjadi pesakitan di meja hijau. Sebenarnya secara logika rasional hukum, putusan MA benar “karena yang dibaca oleh hakim MA itu data”. Di sini kita sebagai Jamaah Maiyah bisa menantang diri, bagaimana meletakkan elaborasi “Benar-Baik-Indah” dalam tataran yang lebih aplikatif, sebab tampaknya zaman makin membutuhkan itu. Bukan karena ingin Maiyahnya eksis, itu nanti saja. Tapi lebih kepada keberfungsiannya dan begitulah penekanan Mbah Nun siang itu.
Tapi Mbah Nun walau siang itu tampil sedikit lebih formal dengan berkemeja batik, juga membawa suasana seminar menjadi lebih mesra, penuh canda. Mbah Nun berkelakar menyumbangkan keasyikan “ngakalin langit” semacam, kalau katanya malaikat tidak mau masuk rumah yang ada anjingnya, ya pelihara anjing saja supaya malaikat pencabut nyawa juga tidak bisa masuk. Kata siapa Muhammadiyah tidak bisa lucu? Hari itu ruangan aula di UMM ini penuh geger tawa membahana.
Karena Pak Busyro sempat menyinggung soal surah Al-Ma’un, Mbah Nun menambahkan bahwa surah tersebut adalah penyemangat yang baik agar orang mau bershadaqah. Shadaqah pun bukan sekadar pemberian, tapi dimaknai sebagai penyeimbang. Mbah Nun mengajak melihat ke surah sebelumnya, ada surah Al-Quraisy. Menurut Mbah Nun, bila pegangannya Al-Ma’un, orang inginnya terus berbuat baik tapi akan rentan frustasi dan putus asa. Maka dia perlu cantelan dari surah sebelumnya bahwa Allah menjamin segala urusannya sehingga dia tidak mudah menyerah terhadap ujian maupun godaan.
“Muhammadiyah lahir bukan identitas, tapi amaliyah dan akhlaqiyah.”
Pada sesi tanya-jawab, berbagai persoalan ditanyakan oleh peserta plus contoh-contoh kasus yang berkenaan dengan ketimpangan hukum di berbagai wilayah di negeri ini. Menjawab satu demi satu tentu akan memakan waktu sangat panjang. Kita ingat, malam setelah sarasehan ini ada acara Sinau Bareng di Surabaya, sehingga walaupun peserta masih ingin berlama-lama dibersamai oleh Mbah Nun, namun Mbah Nun tetap mesti bergegas ke Surabaya.
Tapi semua penanya tampak puas oleh jawaban-jawaban cespleng dari Mbah Nun.
“Manusia ini alatnya hukum ataukah hukum alatnya manusia?” Mbah Nun menegaskan kembali, bahwa kalaupun berdiri nanti LBH dari PP Muhammadiyah ini, namun juga perlu siap karena dia berdiri di atas kapal yang sudah goyah, goyang dan sangat tidak stabil.
“Kita ini sejak proklamasi saja sudah tidak jelas, maka semua logika hukumnya juga tidak jelas,” pungkas Mbah Nun. Dan mungkin karena saking murninya pernyataan itu, walau pahit namu para akademisi dan tradisi ilmiah di seantero ruangan tersebut lepas saja tawanya.