Pada Mulanya adalah Amaliyah dan Akhlaqiyah
Lagu Sang Surya menggema, “Al-Islam agamaku, Muhammadiyah gerakanku.”
“Seiring zaman, orang mengira berdirinya NU dan Muhammadiyah adalah karena perbedaan furu’iyah wilayah peribadatan. Saya rasa tidak. Muhammadiyah berdiri atas dasar melakukan keputusan-keputusan sosial,” Mbah Nun mengungkapkan hal tersebut di hadapan para pengamal amaliyah Muhammadiyah, yang sedang berkumpul di aula BAU Universitas Muhammadiyah Malang.
Ya, setelah rabu malam (28/11) sebelumnya membersamai ribuan masyarakat di Alun-alun Ponorogo, lalu kamis pagi (29/11) ngancani warga Lapas Madiun, dan lanjut kamis malam bersama warga Desa Ngelang – Magetan menyempurnai Sinau Bareng yang istimewa melalui listrik padam, hujan angin, dan panggung miring hingga jumat dinihari tadi. Dan jumat siang hingga sore ini (30/11) Mbah Nun sudah seminar di Malang, untuk lanjut malamnya Sinau Bareng di Surabaya.
Ini acara bertajuk Sarasehan Nasional PP Muhammadiyah bidang Hukum dan HAM sedang dalam tahap pembentukan Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Mbah Nun menjadi narasumber pada hari pertama sarasehan digelar, yakni pada hari Jum’at siang pukul 13.00 WIB tanggal 30 November 2018 M.
Apa yang disampaikan Mbah Nun mengenai perbedaan awal NU dan Muhammadiyah sebenarnya punya basis historis yang kuat kalau kita mau belajar sejarah dengan panggonan konteks yang diusahakan pas.
Produk-produk turunan antara NU dan Muhammadiyah yang terimpresikan dari pemikiran-pemikiran mengenai hal-hal peribadatan sebenarnya hanyalah lapis terluar dari ijtihad sosial masyarakat yang dihadapi.
Muhammadiyah pada saat berdirinya mesti menemani masyarakat kelas menengah baru yang berasal dari desa dan memasuki kultur baru di kota. Kultur birokrasi, kepegawaian, jenjang karier, serta ukuran-ukuran kehormatan berdasarkan kepemilikan. Itu hal-hal yang asing di desa asal kaum pribumi.
Kultur birokrasi berkawin dengan kesadaran tinggalan desa yang liar imajinatif kerap menghadirkan mitos-mitos mengenai ketokohan, ritual menjadi diwajib-wajibkan, penyakralan benda yang berlebihan, kultus sosok dan sebagainya. Sementara putaran waktu kerja mereka sudah tidak seperti di desa yang ditentukan oleh komunalitas dan hubungan dengan tanah, melainkan dengan pemilik-pemilik perusahaan dan atau kantor instansi pemerintah (saat itu Hindia-Belanda, corak rezimnya juga perlu diperhatikan).
Maka Muhammadiyah memang melahirkan ijtihad-ijtihad yang sesuai dengan kultur itu, mengesampingkan apa-apa yang kira-kira bisa mempersulit hidup kaum kelas menengah baru pada awal abad dua puluh.