CakNun.com

Oleh-oleh Al-Qur`an Terbakar

Helmi Mustofa
Waktu baca ± 3 menit

Karena tujuan sejak awalnya adalah diminta buat membantu meredam konflik, dan kenyataannya memang cukup mencekam keadaan di lokasi, sampai-sampai satu dua di antara awak KiaiKanjeng, tujuh belas tahun kemudian, kalau diminta mengingat-ngingat situasi saat itu, tidak ingat apa-apa selain suasana mencekam itu sendiri.

Padahal sewaktu menginjak di kota pertama yaitu di Pontianak, mereka sempat diajak tuan rumah untuk sight seeing di komplek Kesultanan Pontianak dan ziarah di Makam Sultan Hamid II Al-Gadri. Dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, beliau dikenal sebagai orang yang berjasa merancang lambang negara Indonesia yaitu burung Garuda.

Artinya, KiaiKanjeng sempat “piknik” barang sejenak. Melihat-lihat pemandangan kota Pontianak. Melihat Masjid Kesultanan Kadriah dan Istana Kesultanan yang dikelilingi sungai. Tetapi menurut keyakinan masyarakat bangunan-bangunan itu telah dipagari oleh naga-naga gaib yang siap menghalau limpahan air sungai Kapuas agar tidak sampai menyentuh bangunan-bangunan kesultanan sehingga tidak tenggelam oleh banjir yang meluap dari sungai itu.

Tapi begitulah, dikarenakan situasinya saat itu, sisi yang paling membekas dan terkenang dalam memori KiaiKanjeng adalah situasi konflik yang sangat terasa saat perjalanan di Kalbar kala itu terutama di Sanggau. Selain sempat menginap di perkampungan Jawa di daerah Rasaujaya dalam rangkaian perjalanan empat kota itu, pada menjelang acara terakhir di Sanggau, KiaiKanjeng menginap di sebuah hotel sederhana tiga lantai di sana.

Di hotel ini, suasana juga bikin tegang. Kesiagaan dan penjagaan cukup ketat di hotel ini. Di setiap lantai terdapat oleh sekurang-kurangnya empat polisi. Jadi ya, KiaiKanjeng tak bisa menikmati suasana nyantai di hotel. Masuk hotel di kamar saja, tak cocok dan bukan saatnya buat rileks-rileks sesaat di lobi atau depan hotel sembari menghirup udara. Jelas tidak memungkinkan. KiaiKanjeng terbawa situasi untuk lebih baik tidak ke mana-mana. Bahaya bisa datang sewaktu-waktu.

Pada waktu usai acara di Sanggau itu, dalam perjalanan kembali ke Pontianak, yakni saat konvoi KiaiKanjeng mampir di warung itu, karena mengetahui yang sedang berada di situ adalah Cak Nun dan KiaiKanjeng, si pemilik warung menunjukkan di dekat situ terdapat sebuah masjid dan pesantren yang terbakar. Menurut penuturannya, Kiai dan para santri di pesantren terbunuh dalam perang suku itu.

Konon hanya Bu Nyai dan anaknya yang selamat dan buru-buru meninggalkan pesantren itu jauh-jauh. Pemilik warung itu mengajak Cak Nun dan KiaiKanjeng di gelap malam saat itu untuk melihat langsung keadaan masjid dan pesantren yang telah terbakar dan porak-poranda. Ketika masuk masjid itu, dijumpai masih ada satu mushaf Al-Qur`an yang tersisa tapi telah terbakar sebagiannya.

Pemilik warung yang mengantarkan rombongan konvoi ini ke lokasi masjid dan pesantren itu akhirnya berinisiatif memberikan Al-Qur`an yang terbakar itu kepada Cak Nun untuk dibawa pulang ke Jogja. Mungkin semacam kenang-kenangan, tetapi yang paling utama adalah sebagai saksi dan bukti akan bagaimana peristiwa konflik horizontal antar suku ini berlangsung.

Sebaliknya, bagi KiaiKanjeng, lembar-lembar Al-Qur`an yang sudah tak utuh dan terdapat warna hitam pertanda usai terbakar itu menjadi saksi bahwa mereka pernah diperjalankan-Nya ke wilayah-wilayah masyarakat untuk urun segala sesuatu yang mereka bisa lakukan di antaranya demi meredam konflik antar etnis yang tengah terjadi di Kalbar saat itu.

Al-Qur`an itu pun kemudian dibawa ke Jogja, dan sekarang berada di Perpustakaan EAN di Rumah Maiyah, bersanding bersama Keris Pusaka Kyai Bolo Rojo, Busana Anggota Kehormatan Kerajaan Ternate untuk gelar “Ngai Ma Dodera”, Jaket Kopassus, dan artefak-artefak lain yang menjadi saksi atas sebagian dari perjalanan panjang Cak Nun dan KiaiKanjeng hingga saat ini.

Yogyakarta, 24 Februari 2018

Lainnya

Exit mobile version