CakNun.com

Nyengkuyung Thoriqot Akademis Filologis

Reportase Bedah Buku "Ambâśraya" karya Romo Manu J. Widyaseputra, 22 September 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 6 menit

Kita mulai dari tengah. Ketika satu pertanyaan diajukan kepada Mbah Nun dalam sesi tanya jawab. Bagaimana pendapat Mbah Nun mengenai kritik terhadap budaya Jawa. Bagi saya, ini perlu agak saya tebalkan sedikit. Kenapa? Yah, mungkin saya masih ada sentimen orang luar Jawa yang agak-agaknya tetap ada jaraknya sama ke-Jawa-an.

Tapi kalau dicarikan alasan rasionalnya, mungkin karena ini pembahasan yang lumayan jarang ditanyakan pada beberapa kesempatan. Urgent juga. Di mana letak urgensinya? Nanti. Tentu di sini Jawa yang ditanyakan adalah Jawa sebagai bentuk geografi, wilayah geopolitik, nama pulau dan suku. Versi pemahaman bahwa Jawa adalah satu lingkup Nusantara, kita simpan dulu di dapur.

Bentuk rupa dan wadag kasar penanya kurang bisa saya gambarkan, karena tempat berlangsungnya acara bedah buku Ambasraya karya Pak Romo Manu J Wedyaseputra ini, di Studio Rumah Budaya Babaran Segaragunung, Jl Raya Plered ini, memang pencahayaannya dibatasi pada bagian penonton.

Pembabar materi baik Romo Manu sebagai penulis kitab, Ibu Prof. Dr. Alef Teria Wasim (Guru Besar Ilmu Perbandingan Agama UIN Sunan Kalijaga) dan Mbah Nun sendiri sebagai–nah ini perlu kita pinjam istilah Pak Pamuji Raharjo yang bertindak-tanduk sebagai moderator menyebut Mbah Nun “Guru besar kehidupan”, semuanya berada di pendopo mungil di tengah rerimbunan tanaman-tanaman.

Penataan lighting seperti ini, dengan menurunkan tone cahaya di bagian penonton dan fokus pada “panggung” biasanya diaplikasikan dalam teater modern untuk membatasi kontak mata pemain dan penonton agar tercipta nuansa khidmat dan khusyuk. Teater memang pada awalnya adalah bentuk ritus, persembahan atau ibadah juga dalam tradisi Yunani. Nuansa khidmat itu jelas berhasil terbangun sejak awal acara.

Pendopo itu memang awalnya adalah panggung betulan, untuk menyaksikan sajian tarian. Tarian Jawa tentu saja, yang dalam adegannya menceritakan penggalan kisah ketika Bisma tidak sengaja melepas panah ke Ambika. Sang putri kemudian membuktikan cintanya dengan bersumpah akan terlahir kembali demi menjemput ajal pujaan hati yang telah membunuhnya. Seolah berkata “aku mencintaimu, maka aku yang berhak membunuhmu.” Versi penggalan Bisma yang ini, nanti dibabarkan oleh Romo Manu, khas hanya ditemukan di wilayah Yogya.

Aih, memang orang Yogya ini punya romantis-romantis kelam seperti London era gasslight, ketika kabut-kabut sungai Thames terpijarkan oleh cahaya lampu gas yang gagal menerangi pinggir jalan, berbaur dengan amis, sampah, asap pabrik pada era indsutri mula-mula. Imajinasi manusia terbawa pada dua hal; romantisme dan kekelaman. Bam Stroker membuat Dracula-nya, Conan Doyle membuat Sherlock Holmes, Jack The Ripper yang misterius tak terpecahkan. Semua cerita misteri terkejam lahir pada era ini, pun roman-roman mengenai cinta-cinta tak sampai.

Surat-menyurat seorang putri ningrat Jawa dengan nasib pedih juga menuju ke kota ini kelak diberi judul “Habis Gelap Terbitlah Terang” tak jauh setelah gasslight tergantikan oleh lampu listrik pada awal 1900. Kartini itu, apakah teknisi PLN? Yogya, Jawa dan Britania mungkin memang dekat sejak dulu, kapan-kapan kita bahas. Tolong disadari satu, ini yang menulis reportasenya belum pernah ke London.

***

Tempat berlangsungnya acara ini memang diapresiasi oleh Mbah Nun. Manusia belakangan ini, membuat rumah yang ada tamannya. Tapi konsep lokasi ini menurut Mbah Nun khas manusia pedesaan Jawa di masa lalu yakni bikin taman baru kemudian butuh berteduh maka ada rumahnya. Dan taman, itulah jannah, adn, eden atau firdaus. Tapi kita tidak bisa semena-mena berkata Jawa adalah surga juga, iya soalnya kami yang di Sulawesi apa dong? Atau, setiap konsep surga-neraka ada latar belakang psikologi hingga kebudayaan yang memainkan perannya.

Lainnya

Exit mobile version