CakNun.com

Nyengkuyung Thoriqot Akademis Filologis

Reportase Bedah Buku "Ambâśraya" karya Romo Manu J. Widyaseputra, 22 September 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 6 menit

Banyak variabel yang perlu jadi bahan pertimbangan. Sebenarnya kalau kita mau baca, keyakinan semacam kebesaran budaya sendiri, itu ada di hampir semua bangsa yang mengalami kolonialisme. Semacam efek pembalikan dari lama dikerdilkan, kemudian mau menjadi besar tanpa presisi ukuran.

Orientalis tidak hanya membuat versi mengenai kekerdilan bangsa yang dijajahnya tapi juga membangun versi kebesarannya. Tidak penting kecil-besar, selama tolok ukurnya sudah dipakemkan duluan. Maka kita malam itu belajar lebih presisi.

Ada Bu Prof Alef yang di Leiden langsung belajar dari guru-guru orientalis, “Saya ambil ilmu-ilmu dasarnya dari mereka”. Dan ada Romo Manu yang, “Saya sampai tidur sama kamus-kamus itu untuk mencari satu kata, kadang bolak-balik Jawa-Leiden juga ndak nemu-nemu.” Dari para sesepuh-sesepuh ini kita perlu belajar kematangan dan kewaspadaan dalam pencarian.

Filologi memang adalah disiplin ilmu yang menyelamatkan kita dari jebakan romantisme sejarah. Bagaimana satu kata sekalipun dicari betul awal mula munculnya melalui sanad dan nasab di berbagai budaya. Jejak melalui tradisi pasti sudah bercampur-campur, sehingga dalam ilmu sosial manusia akan bilang bahwa tidak ada budaya yang sekarang kita temukan merupakan budaya murni. Kita semua adalah hasil hibrida budaya dari sudut analisis sosial.

Kalau bicaranya tradisi, hampir semua tradisi yang bisa kita temukan sekarang adalah tradisi percampuran sebenarnya, untuk menentukannya sebagai murni perlu pembuktian. Apakah ketoprak misalnya, bukan berasal dari stambulan yang dibawa oleh pengusaha Prancis melalui rombongan penghibur sirkus Turki, merambah jadi pasar malam (Stambul, Istambul) menetap di Jombang melahirkan besutan, ludruk dan kemudian merangsek ke Jawa bagian tengah, diningratkan oleh keraton-keraton jadi ketoprak? Jejak busananya masih terlihat jelas. Sejarah busana ini juga, saya belum ketemu yang mau menelusuri lebih serius. Banyak kerancuan kalau bicara tradisi. Tapi kenapa itu rombongan sirkus ke Jombang? Entah.

Tapi dalam filologi, penelusuran teks itu masih bisa dicari secara rasional. Maka imajiansi romantisme baiknya diturunkan dulu. Satu kata yang ditemukan khas merupakan asli dari satu lokalitas, akan menjelaskan banyak hal mengenai kesadaran, psikologi, dan aksi-reaksi manusia di situ terhadap alam sekitarnya. Itulah yang dilakukan oleh Pak Manu dengan menelusuri kesadaran Bisma dalam Ambasraya ini. Dan Mbah Nun menyampaikan “Jebul Mas Manu iki Bisma to, pantes ra rabi-rabi ” tetap, dalam keseriusan pencarian, kemesraan tawa tak hilang.

Pada malam itu, bagi saya pribadi adalah kesempatan menyaksikan Mbah Nun yang beda tapi tak sama dengan yang biasanya membersamai kita di Maiyahan. Di sini Mbah Nun menjadi seorang pembahas materi yang ngemong dan nyengkuyung sudut pandang akademis ilmiah modern. Kita sebagai JM generasi muda, perlu belajar hal semacam ini juga dari Mbah Nun.

Kita tidak bisa semena-mena meniadakan dan menolak segala yang berbau akademis. Ada batasan-batasan bahasan yang rapi. Timur-Barat tidak untuk bertempur dan saling mengalahkan, tapi saling melengkapi. Timur peka pada suasana dan nuansa rasa, Barat rapi pada detail logika dan disiplin lelaku pencarian. Toh bila ditelusuri lagi, pola pikir akademis itu sendiri juga hasil dari perkawinan budaya spiritualitas tasawwuf dengan pencarian kebenaran materialis, bukan?

Akademis itu juga adalah thoriqot pada sudut pandang tertentu. Dan orang Maiyah adalah pejalan tasawwuf dengan jumlah thoriqot tak berhingga.

Lainnya

Exit mobile version