Nyengkuyung Thoriqot Akademis Filologis
Sang Kavi, orang suci yang menuliskan kakavin pasti tidak mungkin lepas dari budaya dan resonansi alam sekitarnya. Di situlah letak pentingya kita belajar dan menelusuri teks. Itulah ilmu filologi. Begitu urai Ibu Prof Alef. Sesepuh berusia 77 tahun yang masih nampak bugar dan tampaknya sangat banyak hal ihwal keilmuan yang perlu kita kontinuasi dari beliau. Beliau juga, menurut ceritanya, adalah seorang ibu sekaligus Mbah, sekaligus Mbak bagi Romo Manu selama berkuliah di Leiden.
Romo Manu tampak tenang bersahaja, dengan busana sorjan, jarik dan blangkon plus aksesorisnya yang pas pantas sesuai pakem Mataram-Yogya. Tipikal busana yang sederhana tapi membawa pada wibawa, ini dilengkapi dengan sorot mata teduh minim ekspresi. Benarlah, malam itu Pak Manu sedang berposisi sebagai sang kavi itu sendiri, tapi juga mengemongi alam pikir akademis modern. Malam itu memang kita dihempas ke masa lalu dan masa kini, Eropa dan Jawa, darat dan laut, timur-barat dan utara-selatan. Menjangkau cakrawala, atau leyeh-leyeh.
Saya katakan tadi, kita mulai dari tengah. Maka dari sini kita mulai bahasan soal pertanyaan yang diajukan tadi itu. Mbah Nun memberi jawaban singkat dan menurut saya, itu sangat pas mengena. Bahwa Mbah Nun tidak merasa ada masalah sama sekali dengan kritik terhadap budaya Jawa karena posisinya, “Apapaun yang selain Allah dan Muhammad, karena saya orang Islam maka boleh dikritik.” Itu pun juga dilengkapi oleh Mbah Nun, konsep dan pesan tentang (mengenai) Allah dan Muhammad sendiri bila masih melalui cara-cara penyampaian ala manusia, tetap bisa dikritik.
Di tengah kita mengalami gejala kitab-kitab carangan manusia naik kelas seperti yang diidap agamawan di Judea pada zaman Yesus atau Isa as, jawaban semacam ini saya rasa sangat penting. Sebelum terlanjur kita mengulangi sejarah kebodohan yang sama lagi kembali. Kitab suci ummat Islam hanya Al-Qur`an. Selainnya, bahkan kitab hadits paling shahih sekalipun adalah usaha dari manusia pasca Muhammad menjangkau Islam, jangan terlalu disepelekan jangan juga terlalu disucikan.
“Orang sekarang lebih ke NU-nya dan Muhammadiyah-nya daripada Islamnya,” ungkap Mbah Nun, ini tentu bentuk impresi bukan pemastian. Tapi ada gejala semacam itu sekarang ini. Teman-teman yang non NU dan non Muhammadiyah mulai merasakannya. Konteks kalimat ini adalah Mbah Nun sedang membabarkan perputaran sejarah di mana apa yang dulunya pakem bisa “turun pangkat” dalam pandangan manusia menjadi carangan, lantas yang carangan menjadi pakem.
Seperti bahasan Hegellian: Pembacaan pola, kemudian menjadi pola baru yang dianut. Marxisme adalah pembacaan pola dari Karl Marx dengan kacamata pandang Hegel, lantas–sayangnya Karl Marx sendiri mendukung–dia menjadi bentuk pola baru bernama ideologi Marxisme. Islam membaca Nusantara, menemukan pola tertentu lantas belakangan ada gejala “Islam Nusantara”.
Ketika dia jadi pola baru dan dilabeli, diidentitaskan dan apalagi diideologiskan, maka ada ruang untuk dianut dan tidak dianut. Padahal ketika dia masih cair, orang bisa saja menjalani praktiknya tanpa punya kebakuan atau merasa menganutnya. Itu persoalan kebanyakan kita belakangan ini. “Kita sampai pada puncak pragmatisme, dan ultra-materialisme yang sangat menjijikkan,” tegas Mbah Nun.
Kewaspadaan pikiran perlu dibangun dan kewaspadaan ini memang adalah kerjaannya orang filologi. Mirisnya, bangsa dengan harta karun bahasa beribu-ribu begini, justru ilmu filologi tidak menjadi pilihan utama dalam konsentrasi studi para pelaku akademisi. Kalau dalam majelis-majelis obrolan kere-kere awam kita, bolehlah kita sedikit mempede-pedekan dan meyakin-yakinkan diri bahwa Jawa-Nusantara adalah bangsa besar, pernah jadi pusat peradaban dunia dan sejenis itu, karena memang penting untuk membangun harga diri.
Boleh saja meyakin-yakinkan diri bahwa aslinya Mahabarata adalah produk Jawa dan atau Kediri adalah pusat peradaban miturut Jayabaya yang tampaknya hasil karya Ronggowarsito. Tapi kita perlu lengkapi diri untuk siap dengan pertanyaan “gek-gek karena istrinya Ronggowarsito orang Kediri?” atau apa karena percetakan Tan Khoen Swie yang banyak menerbitkan serat-serat Jawa kuno itu adanya di Kediri?