Ngerti Karep
“Wahai jiwa-jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati ridla lagi diridlai.” (Al–Fajr: 27-28)
Siapa pula yang tak ingin menjadi bagian dari orang-orang yang mendapatkan seruan itu. Disapa sebagai jiwa-jiwa yang tenang, dipersilakan pulang dengan hati yang ridla lagi diridlai. Akan sangat indah rasanya jika kita bisa kembali pada Yang Sejati sesuka hati, kapanpun dan di manapun, dengan hati ridla lagi diridlai. Setiap saat kita bisa menyapa Tuhan dengan penuh ketenangan. Dengan jiwa merdeka karena terbebas dari angan-angan yang tak sejalan dengan kehendak Tuhan. Merdeka karena terbebas dari murka dan laknat Tuhan, karena ridla Tuhan tak lagi hanya sekadar dalam bayangan.
Tak mudah memang menuju ke sana, bukan suatu hal yang mudah untuk mendapatkan predikat jiwa tenang yang senantiasa ridla dan diridlai Tuhan. Apa bentuk ridla itu sendiri? Bagaimana kita mengupayakannya hadir dalam diri? Di mana kita mencari? Semuanya membutuhkan langkah-langkah kecil yang berpuasa dari lelah dan keputusasaan untuk mencari.
Meminjam bahasa Mbah Nun, ridlalah, maka kita pun akan diridlai. Kita belajar ridla terhadap apapun saja yang dikehendakkan Tuhan, yang diperjalankan Tuhan terhadap hidup kita, maka ridla Tuhan pun akan datang menghampiri kita.
Lagi-lagi sekelumit tanya itu hadir kembali. Apa ridla itu sebenarnya? Di mana dan bagaimana kita bisa menemukannya? Bagaimana dan apa yang harusnya kita lakukan untuk bisa mengupayakan menjadi sosok yang ridla itu sendiri?
Kalau boleh menarik benang merah, ridla dan diridlai ini sangat sejalan dengan apa yang sering disinggung Mbah Nun akhir-akhir ini. Bahwa untuk menuju ridla, kita pun harus belajar mengenali diri kita sendiri. ‘Jagungkah’ kita, ‘kedelai’, ‘ayam’, atau apakah kita itu sebenarnya. Bagaimana kita bisa menemukan jawabnya? Masih meminjam bahasa Mbah Nun, kita pun perlu mempertanyakannya dan mencarinya di kedalaman diri kita masing-masing. Apa kecenderungan kita. Apa fadhilah yang dititipkan Tuhan kepada kita. Dan jika kita sudah menemukannya, bersungguh-sungguhlah kita akannya.
“Temukan thariqah-mu sendiri dan jadilah ahli”. Begitulah kurang lebih yang sempat disinggung Mbah Nun beberapa waktu yang lalu. Setiap kita berbeda. Dan berbeda pula kelebihan yang dititipkan Tuhan kepada kita.
Akan tetapi, di lain sisi, menurut Mbah Nun kita lahir dan hidup di ladang Indonesia yang masih belum siap untuk menampung segala bentuk kita yang beraneka. Indonesia masih belum siap menampung segala kecenderungan, fadhilah setiap kita yang tak sama. Lantas, apa yang seharusnya dan sebaiknya kita lakukan? Agar kita bisa ridla dengan pemberian Tuhan, juga dengan kehendak Tuhan yang telah memutuskan kita lahir dan hidup di Indonesia tanah air kita. Bukankah tak akan pernah ada yang sia-sia dari segala penciptaan dan keputusan-Nya?
Untuk sama-sama belajar mengerti dan memahami segala kekarepan itu, untuk sama-sama belajar menemukan karep yang sejalan dengan yang sejatinya karep itu, Majelis Maiyah Balitar mengajak kita semua untu bersama belajar Ngerti Karep. Bertempatkan di rumah Kang Maksum, Jalan Kolonel Soegiono No. 1, Sabtu, 10 Maret 2018.