Ngayogyakarta Ngemong, Menusantarakan Bocah NKRI
Rasanya kita sekarang ini adalah manusia-manusia produk negeri dua musim yang dipaksa menerima pola pikir, cita rasa, ideologi, selera, HAM, demokrasi, sosialisme-komunisme, pluralisme, feminisme bahkan spiritualitas serta segala hal yang dianggap baik oleh orang-orang produk kelahiran negeri empat musim.
Mungkin semua itu baik, kita husnudhon saja dulu. Semua itu berasal dari respons manusia sana terhadap kondisi yang mereka alami. Tapi yang mereka alami kan belum tentu kita alami dan kalaupun kita mengalami hal yang sama, kita kan juga perlu (dan boleh dong) merumuskan cara kita merespons kondisi dan persoalan sesuai cara kita; cara-cara manusia tropis-khatulistiwa dengan ratusan gunung berapi mengelilingi.
Mungkin semua yang mereka hasilkan itu baik, minimal pernah baik. Tapi kebaikan pun bila dipaksakan, tetap menimbulkan benturan hawa di dalam diri penerimanya. Pesan cinta kasih sekalipun bila diteriakkan terlalu kencang toh tetap akan memekakkan telinga.
Seorang warga NKRI yang baik melayangkan gugatan terhadap pergub yang membatasi kepemilikan hak milik bangunan terhadap warga keturunan Tionghoa di Yogya. Sang penggugat memanglah sungguh mulia dan terpuji, miturut ukuran dan standar NKRI.
Dalam sebuah novel silat karya Ghu Long ada istilah cau-hwe-jip-mo atau disebut juga ‘sesat latihan‘. Dia yang tertimpa hal ini akan mengalami kekacauan hawa tenaga dalam, gangguan syaraf, orientasi gerak tak tentu, luka dalam, lumpuh sampai hilang ingatan. Tak jarang, orang yang mengalaminya kemudian tidak bisa membedakan mana kawan mana lawan. Dikira kawan ternyata lawan, dikira lawan ternyata bosnya lawan.
Ini bisa diakibatkan karena seseorang menerima hawa tenaga jurus yang asing sementara tubuhnya tidak (atau belum) cocok dengan hawa dari luar itu atau bisa juga karena salah membaca kitab jurus seperti yang dialami oleh Aw Yang Hong dalam trilogi Pemanah Rajawali karya Jin Yong.
NKRI mungkin sedang mengalami cau-hwe-jip-mo ini. Dia masih muda, tapi menggebu-gebu meng-install hawa jurus HAM, anti diskriminasi, pluralisme, demokrasi dan segala macam jurus sakti olahan pendekar negeri lain. Akhirnya sesat arah, orientasi pembangunan dan ideologinya kacau balau, kacamata pandang sejarahnya lupa ingatan dan kerap salah menilai mana baik dan mana yang buruk. Kembali ke si penggugat tadi. Betullah dia orang baik, mulia dan terpuji menurut ukuran NKRI yang sedang sesat tenaga dalam seperti sekarang ini. Yogyakarta terpaksa sekali lagi mesti ngemong bocah petakilan bernama NKRI.
Bisakah keluar dari kondisi sesat latihan seperti itu? Bisa, asal sang pendekar berproses mengolah diri. Mengkhalifahi hawa asing yang datang dari luar, memperjodohkan dan menikahkan benturan-benturan hawa di dalam dirinya. Untuk itu diperlukan bekal aji. Kalau lulus, bukan tidak mungkin pendekar muda akan menjadi sosok yang menggemparkan jagad kang-ouw (dunia persilatan)
“Yogya ini adalah ajinya Republik Indonesia yang masih tersisa”, kata Mbah Nun. Tapi apakah NKRI masih mengerti dan setidaknya mau mengerti apa itu aji? Apa itu kasepuhan? Malam itu, Ngayogyakarta meneguhkan kasepuhan diri, nasionalis-anarkisnya, kesejatian Nusantaranya agar mugo-mugo kapan-kapan NKRI mau belajar dari sesepuhnya untuk menjadi dirinya sendiri.
Bukan Oknum, Tapi Mainstream yang Asing pada Kewajaran
“Si penggugat ini bukan oknum, tapi alam pikir Republik Indonesia memang sudah seperti begitu sekarang ini”. Mbah Nun mengumandangkan hal tersebut setelah pembicara-pembicara sebelumnya dalam acara bertajuk “Merawat Sejarah Keistimewaan Yogyakarta Untuk Kedaulatan NKRI” yang diadakan pada tanggal 1 Maret 2018 M di Ndalem Notoprajan mengutarakan pemikiran dan pendapat mengenai persoalan gugatan terhadap hak milik bangunan untuk warga keturunan Tionghoa di Yogyakarta.
Pembicara-pembicara sebelumnya, baik yang berasal dari kalangan Keraton Ngayogyakartahadiningrat seperti KRT Purbokusumo maupun dari warga-warga keturunan Tionghoa, atau juga perwakilan warga pribumi seperti Pak Sukardi menyampaikan bahwa Mr H yang melayangkan gugatan itu adalah oknum yang tidak mewakili siapa-siapa selain dirinya. Benarnya adalah apa yang dia anggap benar sendiri.
Koh Mbing, salah satu dari beberapa loh-cianpwe warga keturunan Tionghoa (selainnya ada Bung Chan dan Pak Hans Purwanto) mengingatkan, si oknum ini mungkin sekadar pengacara yang sedang cari panggung dan cari muka. Memanglah manusia modern NKRI selalu, muka dicari dan dipertontonkan ke mana-mana. Dua tahun ke depan, tahun politik ini kita juga akan menyaksikan wajah-wajah politisi kembali dipajang di mana-mana. Agak menjijikkan, tapi sudahlah.
Penyebutan “oknum” agak diberi pertimbangan ulang oleh Mbah Nun. “Mainstream pola pikir yang berlangsung di Indonesia sudah seperti itu. Jadi ini bukan oknum. Karena sejak awal bikin negara juga sudah salah langkah, cita-citanya tidak meneruskan leluhurnya, konsep-konsepnya import. Negara Indonesia ini adalah hasil budaya adopsi, bukan kontinuasi”, lanjut Mbah Nun. Jangan-jangan, mimpi saja kita tidak otentik.
Ndan Brotoseno juga tampil sebagai ‘perwakilan warga Yogya’, “Saya berat mewakili warga Yogya ini, soalnya warga Yogya itu sabar-sabar”. Ndan Brotoseno memang bukan tipe manusia seperti aktivis priyayi diskursus dengan bermacam-macam wacana langit-langit meja diskusi atau istilah-istilah ngideologis membahana. Walau dalam dunia aktivisme, Brotoseno sendiri adalah nama pendekar legendaris juga, mungkin hanya satu tingkat di bawah Begawan aktivisme, Pak Toto Rahardjo.
Tegas mantap saja keluar dari mulut pria yang akrab disapa Ndan BS ini. Lontaran-lontaran yang mungkin apabila aktivis-aktivis pluralis modern bermental followers NKRI — dengan agenda-agenda pesanan ndoro funding dari negara-negara pemuja keteraturan — membacanya tanpa seksama akan berakibat mereka mual, migrain dan mungkin serangan jantung, stroke sampai kejang-kejang.
“Pokoknya malam ini saya posisinya siap. Mau perang ayo, damai juga siap”, Dan “il comandante” ini pun mendapuk diri sebagai “Brotocino”. Rasiskah? Diskriminatifkah? Apakah ini adalah kekuasaan mayoritas pada minoritas?
Tapi tidak! Semua lontaran itu, yang disaksikan perwakilan keluarga Tionghoa Yogya — dan di antara para hadirin pun mudah dikenali saudara-saudara kita dari etnis Tionghoa tak berhitung jumlahnya pada malam itu- justru memancing gelak-gelak tawa.
Kemesraan hanya bisa didapat dari kewajaran. Sementara ideologisasi, sebaik apapun pesannya selalu justru mengikis kewajaran. Ada semacam kesepakatan di pergaulan kaum kéré-sudra grass root seperti kita ini, bahwa kalau dalam bergaul kita belum bisa saling écé-écénan, berarti belum akrab. Dan memang akrablah malam itu dengan guyon kéré tanpa banyak unggah-ungguh kaum ningrat terpelajar.
Karena kata-kata dan pernyataan bukanlah segalanya. Di balik kata ada pancaran emosi, tone ekspresi, nada, ada aura, hawa dan segala variabel lain yang menyertainya. Siapapun yang berada di Ndalem Notoprajan malam itu akan tahu bahwa sekasar-kasar lontaran il comandante, kandungan hawa dan auranya adalah ajakan yang istiqamah pada kebersaman dan kemesraan. Kata selalu netral, manusia yang memilih akan menjadikannya alat perekat atau senjata pemusnah.
NKRI Jangan Durhaka, Nanti Jadi Batu
“Orang modern ini pintar macam-macam, bacaannya banyak, bisa bikin ini-itu. Tapi kalau diajak berpikir yang substansial, apa itu aji, aji ning diri, pusaka, kasepuhan, deso mowo coro negoro mowo toto dan sak piturute langsung macet gak bisa mikir. Dari presiden sampai ke tingkat lurah, sudah seperti itu cara berpikirnya”, ungkap Mbah Nun.
Mbah Nun memang selalu serius ketika menghidangkan sajian ilmu dan kemesraan yang luas dan mendalam. Tapi malam itu tampak berlipat ganda keseriusan tersebut, bahkan sebelumnya Mbah Nun menyiapkan tulisan sepanjang tiga halaman dan kemudian dibacakan oleh Mbah Nun sendiri.
Ketika Mbah Nun membacakan tulisan dengan judul yang sama dengan tajuk acara ini “Merawat Keistimewaan Sejarah Yogyakarta untuk Kedaulatan NKRI (Jangan Lukai Hati Ibunda)” para hadirin sontak senyap sejak kalimat pertama: “Saudara-saudara saya Cina di seluruh dunia, di sini maupun di sana, para pengurus NKRI”.
Rata, semua yang hadir khusyuk menyimak butir-butir yang indah tanpa dibuat-buat indahnya itu. Ketika pada akhir acara kopian tulisan tersebut dibagikan pada para peserta dan hadirin, dalam sekejap kopian tulisan itu ludes des, habis diperebutkan oleh para hadirin.
Karena bagi Mbah Nun ini bukan sekadar persoalan Yogya sedang diusik. Tapi ini adalah persoalan kekurangjangkepan pikir, kedangkalan, kegagalan melihat lipatan persoalan dan itu sekarang sedang merata di mana-mana. Setiap wilayah punya pengalaman sejarah dan kultur yang berbeda-beda, hasil dan cara mengolah persoalan pun beda, tak bisa diseragamkan apalagi distandardisasi.
Yogya mungkin bukan kerajaan yang betul-betul perfect dalam segala lini apalagi belakangan ini. Tapi dia adalah pusaka terakhir yang masih kita miliki.
“Yogya itu seperti kulkas yang dulunya dipakai nyimpan sayur-mayur, hasil panen, supaya tidak bau. Tapi sekarang dipakai nyimpan cawet, gombalan dlsb”, lanjut Mbah Nun. Tetap ada auto-kritik untuk Yogya sendiri. Jadi, ini bukan sekadar pertemuan kaum purifikasi budaya yang seolah mau jadi fasis “Yogya uber alles” tidak, justru dengan mengenal diri, perjalanan sejarah sendiri kita tahu koordinat maqam kita.
Kraton Ngayogyakarta adalah ‘dukun bayi’ yang membantu persalinan kelahiran jabang baby Republik Indonesia. Bisa ditambahkan di sini, itu bayi lahir ndak tahu bapaknya siapa karena pernah hadir maskulinitas kolonial Eropa dan imperialis Nippon. HPL-nya maju tanpa diduga, posisinya sungsang, tali pusarnya mbelit. Lahirnya sulit, dan pas makceprot lahir nyusu sama makannya banyak, lahap. Yogya ada di situ, sebagai sesepuh yang membimbing pelan-pelan bocah merepotkan bernama NKRI. Eladalah wolowolo kuwoto, kok begitu puber si bocah malah mau memperkosa pengasuhnya sendiri?
Bukankah kita akrab dengan kisah seorang anak yang durhaka lantas terlaknat jadi batu? Kenapa jadi batu? Kenapa tidak dimatikan saja? Batu, mandek mengeras kesadarannya. Dia dikutuk jadi peradaban kemewahan batu-batu, infrastruktur, semen dan aspal dan ideologi-ideologi beku. Jangan durhaka NKRI, kamu tidak akan kuat hati ibunda pun perih.
Kacamata pandang sejarah kita banyak terburamkan. Diadopsinya declaration of human right juga bukan perdebatan yang selesai pada masanya bahkan sejak era BPUPKI antara kubu Soekarno-Soepomo vs Hatta dkk. Tapi perkembangannya, kalau tidak diadopsi memang ada potensi daya kuasa berlebih ketika Soekarno jadi presiden pertama yang memang mulai tampak mengerikan juga. Jadi bagaimana? Para founding fathers kita yang mayoritas adalah lulusan angkatan pergerakan 1920-an, memang terlanjur sulit berpikir keluar dari bingkai dan jalur modernitas. Itu perlu diakui juga.
Konsep Identitas yang Mengalir
Kalau mau lebih substansial, bahkan konsep identitas kita terlanjur mengadopsi identitas kumpulan “jong-jong” Sumpah Pemuda. Sehingga sejak era itu, orang Bugis merasa dirinya bukan Jawa, Jawa merasa dirinya bukan Minang, Sunda tidak lagi merasa Madura. Padahal, Nusantara adalah “nusa” yang meng-“antara” adalah kumpulan lingkar-lingkar, simpul-simpul dengan identitas cair. Kalau orang Maiyah mungkin lebih mudah mengerti hal ini. Bahwa kalaupun anda seringnya di Mocopat Syafaat, tapi ketika ke Kenduri Cinta anda jadi jamaah Kenduri Cinta, ketika ke Relegi jadi jamaah Relegi dan seterusnya tapi tetap “tunggal ika” dalam satuan Maiyah. Nusantara seperti itu. Maiyah begitu.
Konsep identitas yang mengalir ini sulit dipahami oleh rumusan akademisi Eropa dan itu wajar karena pengalaman budayanya beda. Yang celaka adalah ketika sejak era 1920-an (kemungkinan prosesnya bermula pada dekade akhir 1800-an) kita total mengadopsi pola pandang itu dan memakainya untuk mengidentifikasi diri sendiri. Baiknya ini akan penulis elaborasi dalam tulisan sendiri saja pada waktu lain.
Penutup, Urgensi Nasionalis-Anarkis Ngayogyakarta Hadiningrat di Tengah Zaman Keterlanjuran
Sempat il comandante Ndan BS menyatakan, “Saya ini orang anarkis. Orang anarkis adalah orang yang tidak bisa diperintah kecuali oleh hati nuraninya sendiri”.
Manusia Jawa-Nusantara memang punya dua wajah yang tersembunyi di balik kesehariannya. Satu sisi bisa sangat ramah ngemong, komunal dan penuh kasih. Tapi juga ada daya amuk hantaman ombak, atau raung gemuruh para gunung api. Dalam pergaulan keseharian, senyum sapa kesantunan dan ketenangan petapa begawan yang mereka tampakkan tapi kalau soal harga diri, sirri’ (istilah Bugis-Makassar) jangan diganggu, biar berkalang tanah bersimbah darah, istilah-istilah penuh darah bersebaran kalau perihal semacam ini. Harga diri dipersonifikasi kepada ibu. Ibu itu bumi, tanah yang melahirkan dan menyusui. Jangan main-main dengan ibu tanahnya manusia Nusantara. Lebih baik berputih tulang daripada berputih mata.
Satu sisi ada unggah-ungguh, tepo sliro tapi juga bisa menjelma sadumuk bathuk sanyari bumi. Di satu sisi bisa membuat tata kelola pemerintahan negeri adidaya, tapi di satu sisi masyarakatnya tetap tak pernah bergantung pada negara, kerajaan atau pemerintah manapun.
Sampai pada akhir acara, tak ada komando dari Mbah Nun untuk maju ke medan laga walau aura para hadirin ini sudah aura ksatria siap tempur. Mbah Nun mengademkan suasana, namun sekaligus membarakan gairah pencarian para hadirin. “Malam ini kita bisa tijitibeh, bisa gègèr pecinan. Kita siap. Tapi kita memilih untuk tidak, dengan cara mengelaborasi sejarah”, tegas Mbah Nun.
Pemahaman sejarah dengan pola pandang yang otentik terhadap diri sendiri dibangun malam itu. Kita memang hidup di era keterlanjuran. Segalanya serba terlanjur. Terlanjur demokrasi. Terlanjur NKRI. Terlanjur memakai huruf latin dalam menulis reportase ini juga, bukan aksara Jawa atau Lontara Bugis. Padahal kalau pada kisaran abad 16 di Eropa ada yang ketahuan bisa membaca huruf latin seperti ini, niscaya orang itu dibakar karena dituduh sebagai penyihir.
Tapi terlanjur, sudah. Ngayogyakarta sekali lagi oleh Mbah Nun diajak untuk tetap bersikap selayaknya sesepuhnya NKRI. Momong, ngemong dengan sabar. Yogya meneguhkan nasionalismenya dengan sedikit bumbu anarkis, biar bocah NKRI belajar bahwa begini ini yang namanya Jawa, yang Nusantara. Bahwa hidup bebrayan, tepo sliro bisa dibangun tanpa terlalu menggantungkan diri pada konsep-konsep HAM, demokrasi, pluralisme ala negeri-negeri mantan penjajah. Semoga kelak, bocah NKRI bisa mengerti dan memulai perjalanan untuk kembali me-Nusantara-kan dirinya. (MZ Fadil)